- Perubahan iklim tidak hanya berdampak pada kehidupan manusia tetapi juga berpengaruh pada kehidupan satwa berdarah dingin seperti reptil, amfibi, dan ikan.
- Hewan berdarah dingin adalah hewan yang mengatur suhu tubuhnya sesuai dengan suhu lingkungan sekitar. Jadi suhu tubuh hewan berdarah dingin kurang lebih sama dengan suhu lingkungannya.
- Suhu ini mempengaruhi proses reproduksi hewan berdarah dingin. Ketika suhu tinggi, menyebabkan embrio berkembang menjadi individu jantan, sedangkan bila dingin berkembang menjadi betina. Bila cuaca semakin panas, kelahiran semua individu jantan dikhawatirkan terjadi.
- Penelitian terhadap kadal hutan bergaris [Kentropyx calcarata] menunjukkan, spesies ini sensitif terhadap terjadinya pemanasan global. Hal yang memicu terjadinya kepunahan lokal akibat meningkatnya suhu bumi dikarenakan hidup kadal ini bergantung pada lestarinya hutan.
Dampak perubahan iklim bukan hanya berpengaruh pada manusia, tetapi juga dirasakan satwa berdarah dingin, seperti reptil, amfibi, dan ikan.
Hewan berdarah dingin adalah hewan yang mengatur suhu tubuhnya sesuai dengan suhu lingkungan sekitar. Istilah lainnya adalah poikiloterm. Hewan reptil itu misalnya kadal dan ular. Sementara amfibi, yaitu katak, buaya, dan kura-kura.
Peneliti dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati [OR IPH] Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN] Amir Hamidy menjelaskan, cara mengatur suhu itu sebagai upaya hewan-hewan beradaptasi dengan lingkungannya.
“Jadi suhu tubuh hewan berdarah dingin kurang lebih sama dengan suhu lingkungannya,” terang Amir kepada Mongabay Indonesia, Rabu [27/10/2021].
Nah, masalahnya aktivitas makhluk-makhluk ini sangat dipengaruhi suhu di sekitar, terutama laju metabolisme yang tergantung langsung pada suhu tubuh. “Bila suhu meningkat maka aktivitas mereka berkurang, begitu juga ketika suhu di sekitarnya menurun.”
Suhu ini juga mempengaruhi proses reproduksi hewan berdarah dingin. Ketika suhu tinggi, menyebabkan embrio berkembang menjadi individu jantan, sedangkan bila dingin berkembang menjadi betina.
“Bila cuaca semakin panas, kelahiran semua individu jantan yang kita khawatirkan,” ujar Amir.
Baca: Dampak Perubahan Iklim, Risiko Penularan Penyakit oleh Nyamuk Meningkat
Ancaman kepunahan
Dalam Journal of Thermal Biology, Volume 73, April 2018, berjudul Extinction Risks Forced by Climatic Change and Intraspecific Variation in The Thermal Physiology of a Tropical Lizard karya Emerson Pontes-da-Silva, William E. Magnusson, Barry Sinervo, dan kolega diketahui hewan berdarah dingin sangat terancam bila terjadi perubahan iklim global. Terutama kadal.
“Kadal sensitif terhadap perubahan suhu,” tulis para peneliti.
Mereka bahkan memprediksi spesies tropis ini sangat rentan terhadap pemanasan global. Hal yang menjadi risiko kepunahan lokal.
“Kami memodelkan risiko kepunahan pada kadal hutan bergaris [Kentropyx calcarata].”
Baca: Akibat Perubahan Iklim, Bentuk Tubuh Hewan Bisa Berubah
Hasilnya, dari model iklim mereka memperkirakan risiko kepunahan berkisar antara 26,1 persen dan 70,8 persen untuk tahun 2050. Untuk tahun 2070, risiko kepunahan berkisar antara 52,8 persen hingga 92,8 persen.
“Hasil kami mendukung hipotesis bahwa striped forest whiptail berada pada risiko tinggi kepunahan lokal yang disebabkan peningkatan suhu.”
Mereka menjelaskan, keberadaan kadal bergantung pada pelestarian hutan. Namun hal ini mengkhawatiran, sebab tingkat deforestasi terjadi sangat tinggi.
“Kami berpendapat bahwa prioritas konservasi yang lebih tinggi diperlukan agar hutan hujan dapat memenuhi kapasitasnya untuk menyerap dampak kenaikan suhu selama perubahan iklim,” ungkap riset itu.
Baca: Katak Kecil Bermulut Sempit, Jenis Baru yang Sensitif pada Perubahan Iklim
Penyebab perubahan iklim
Pemanasan global yang membuat terjadinya perubahan iklim tentu tidak datang tiba-tiba. Rosbintarti Kartika Lestari, Peneliti Independen Ronin Institute [US/Japan] – IDGORE, saat Bincang Alam Mongabay Indonesia bertema Dampak Antropogenik: Bisakah Manusia Beradaptasi Dari Bencana Iklim? menuturkan ada dua faktor penyebab pemanasan global.
Pertama, secara natural yang disebabkan intensitas matahari, letusan gunung berapi, dan perubahan alami dari gas rumah kaca. Kedua, terjadi karena aktivitas manusia [antropogenik], misalnya oleh energi tak ramah lingkungan, industri, transportasi, penggunaan lahan, kebakaran hutan, dan pembuangan sampah.
“Sinar matahari yang mencapai permukaan bumi saat ini tidak meningkat, bahkan sebenarnya menurun saat temperatur global meningkat. Artinya, sinar matahari bukan alasan kuat pemanasan global,” katanya.
Baca juga: Bukan Hanya Komodo, Hiu dan Pari Juga Terancam Dampak Perubahan Iklim
Dia menjelaskan, kenaikan temperatur global sejalan aktivitas manusia. Artinya, perubahan iklim sangat berkaitan erat dengan aktivitas manusia yang mulai berdampak pada peningkatan temperatur sejak 1970.
“Sebab, tahun itulah industrialisasi mulai berkembang pesat.”
Rosbinarti merincikan, pemicu pemasan global sebanyak 15 persen oleh proses industri dan produk industrinya, terutama bidang listrik yang menggunakan bahan tak ramah lingkungan dari fosil. Selanjutnya, aktivitas transportasi [13,2 persen], pemakaian lahan dan penebangan hutan [12 persen], produksi pertanian [11,4 persen], hingga pemukiman dan pembuangan sampah [7 persen].
Guna mengurangi cepatnya perubahan iklim, masyarakat umum bisa memulainya dengan mengurangi kosumsi hewani, terutama daging merah dan produknya.
“Sebab hewan ini berkontribusi meningkatkan emisi gas rumah kaca, terutama sapi. Perternakan sapi harus menggunakan lahan luas. Ini yang kita hindari.”
Selanjutnya, membeli barang sesuai yang kita butuhkan. Jangan berlebihan, tak perlu menumpuk barang-barang tersebut. Lalu, jangan membuang sisa makanan. Kalaupun tidak bisa dihindari, usahakan sampah makanan itu menjadi pupuk kompos.
“Cara penting lainnya adalah biasakan menanam tumbuhan, bisa di pot atau di lahan,” paparnya.