- Film dokumenter pendek berjudul “Purun Terakhir” karya Yudi Semai menarasikan lebak purun tersisa di Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI]. Tradisi tikar purun bukan sebatas sumber ekonomi, tetapi juga identitas budaya masyarakat Pedamaran.
- “Purun Terakhir” yang meraih juara pertama dalam Festival Film Dokumenter Pendek Rentak Batanghari Sembilan 2021 yang diselenggarakan Taman Budaya Sriwijaya, menggambarkan harapan masyarakat adanya perlindungan lebak purun oleh OKI.
- Lebak purun yang hilang dan terancam di Kabupaten OKI, bukan hanya di Pedamaran. Juga di Pampangan, Air Sugihan, Pangkalan Lampan, Tulungselapan, dan Cengal. Hal ini dikarenakan rusaknya rawa gambut akibat ekspansi perkebunan skala besar.
- Rusak dan hilangnya rawa gambut di Sumsel, khususnya di Kabupaten OKI, dimulai aktivitas penebangan kayu [HPH], dilanjutkan kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hebat terjadi pada 1997-1998, 2006, 2007, dan 2008. Selanjutnya lahan tersebut dimanfaatkan HTI dan perkebunan sawit.
Purun danau [Lepironia articulate] merupakan sejenis rumput yang tumbuh di rawa gambut di Sumatera Selatan, yang selama ratusan tahun dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan kerajinan anyaman, seperti tikar purun. Namun karena ekspansi perkebunan skala besar, pertambakan udang, dan infrastruktur, banyak rawa gambut yang hilang, lalu mengancam habitat purun. Apa yang terjadi jika purun hilang?
Yudi Semai, videographer dari Rajawali Visual, mencoba menarasikan persoalan purun di Sumatera Selatan. Didukung Jeje Dije, seorang pekerja musik, Yudi membuat karya film dokumenter mengenai tradisi tikar purun di Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan.
Film berjudul “Purun Terakhir” ini memenangkan [juara pertama] Festival Film Dokumenter Pendek Rentak Batanghari Sembilan 2021, yang diselenggarakan Taman Budaya Sriwijaya.
“Purun Terakhir” menggambarkan bagaimana proses pembuatan tikar purun. Dimulai dari pengambilan purun di rawa gambut di Pedamaran, yang dilakukan perempuan dan laki-laki. Setelah mencabut atau memotong, purun diikat dan diangkut menggunakan perahu menuju permukiman.
Purun-purun ini kemudian dijual kepada pengrajin [perempuan] seharga Rp10 ribu per ikat atau sebidas. Sebidas purun dapat menjadi tiga tikar purun, yang dijual ke pengepul, harga per tikar Rp8 ribu. Para pengepul kemudian menjual tikar purun ke Palembang, Lampung, hingga Pulau Jawa.
Baca: Perempuan, Purun dan Relasi Gender di Lahan Gambut
Para pengrajin yang mengelola purun menjadi tikar membutuhkan waktu sekitar satu pekan. Dari memipih, mewarnai, mengeringkan, serta menganyam. Pendapatan ditentukan dari banyaknya purun yang diolah menjadi tikar.
“Secara ekonomi purun tidak menjamin kesejahteraan masyarakat Pedamaran yang kini terbagi dalam dua kecamatan, yakni Pedamaran dan Pedamaran Timur. Tapi, tradisi tikar purun merupakan sarana komunikasi masyarakat Pedamaran, khususnya perempuan, baik tua maupun muda,” kata Yudi Semai, usai pengumuman pemenang, Kamis [28/10/2021].
Selama proses pembuatan tikar purun, kata Yudi, para perempuan membangunnya sebagai ruang komunikasi atau silahturahmi. Termasuk, menjadi ruang ekspresi dengan menembangkan “incang-incang”, tradisi lisan masyarakat Pedamaran.
“Incang-incang berisi pantun pesan moral dengan cara bercanda. Incang-incang juga menjadi hiburan bagi masyarakat,” kata Yudi.
Intinya, tradisi tikar purun, bukan hanya sebagai sumber ekonomi, juga sebagai sarana komunikasi dan ekspresi, perempuan masyarakat Pedamaran. “Tikar purun merupakan identitas masyarakat Pedamaran,” ujarnya.
Baca: Anyaman Purun Itu Seni Rupa Masyarakat Gambut, Bukan Industri Kerajinan
Sebagai informasi, luas rawa gambut di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, sekitar 769 hektar. Kawasan rawa gambut di Sumatera Selatan, luasnya mencapai 1,4 juta hektar.
Sementara rawa gambut di lanskap Pedamaran mencapai 120 hektar. Termasuk, kawasan rawa gambut Sepucuk yang menjadi langganan kebakaran hampir setiap tahun.
Dari luasan tersebut, sejak tahun 2000-an, sekitar 80 ribu hektar menjadi perkebunan sawit. Kemudian menjadi lokasi infrastruktur seperti permukiman baru dan jalan tol Palembang-Lampung.
Baca juga: Penanganan Gambut di Sumatera Selatan Butuh Komitmen Para Pihak
Purun terakhir
Saat ini di Pedamaran, rawa gambut yang ditumbuhi purun danau tersebar pada lokasi Lebak Purun Arang Setambun, Purun Guoh, dan Purun Gambalan. Di tiga lokasi tersebut, masyarakat mencari purun sebagai bahan baku tikar.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat tidak dapat sepenuhnya mengakses lebak purun ini. Dikarenakan, masuk kawasan HGU perusahaan perkebunan sawit.
Mereka kemudian memperjuangkan akses kawasan lebak purun tersebut melalui skema peraturan daerah oleh Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI].
“Saat ini mereka terus memperjuangkan lebak purun terakhir tersebut, dan berharap perda segera diwujudkan,” kata Yudi.
“Dari persoalan tersebut, saya berinisiatif membuat film ini. Semoga, rawa gambut ersisa terselamatkan, serta identitas budaya masyarakat Pedamaran tetap lestari,” lanjut Yudi.
Bukan hanya pedamaran
Terancamnya lebak purun di Kabupaten OKI, bukan hanya di Pedamaran, juga di Pampangan, Air Sugihan, Pangkalan Lampan, Tulungselapan, dan Cengal.
“Dulu, lebak purun terluas di Kabupaten OKI ada di desa kami. Tapi sejak maraknya perkebunan sawit, lebak purun hilang. Para pengrajin dari daerah lain dulu banyak membeli purun dari sini, tapi sekarang pengrajin dari desa kami yang membeli dari luar, seperti dari Pedamaran. Jika purun dari Pedamaran habis, hilang pula tradisi tikar purun kami,” kata Edi Saputra, tokoh masyarakat Desa Perigi Talangnangka, Pangkalan Lampan, Kabupaten OKI.
Kerusakan rawa gambut ini, kata Edi, menyebabkan hilangnya sumber ekonomi masyarakat. “Kemiskinan bisa saja membuat kami melakukan apa saja untuk mendapatkan pendapatan ekonomi, termasuk merambah ke berbagai hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Bangka, serta menjadi penambang timah ilegal di Bangka dan Belitung.”
“Sungguh luar biasa dampak rusak dan hilangnya rawa gambut ini,” kata Edi.
Dr. Najib Asmani, mantan staf khusus Gubernur Sumsel bidang perubahan iklim, sebelumnya menjelaskan, akibat kebakaran gambut pada 1997-1998, 2006, 2007, dan 2008, sekitar satu juta hektar gambut di Sumsel rusak. Tersisa, 170 ribu hektar gambut yang masih baik.
Sebelum terbakar, selama puluhan tahun lahan gambut tersebut mengalami degradasi akibat penebangan kayu, baik legal maupun ilegal, serta aktivitas pertanian dan perkebunan rakyat.