- Seekor dugong (Dugong dugon) tersangkut pukat hanyut milik nelayan Desa Waijarang, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, NTT bernama Zainal Abidin. Setelah sempat dibwa ke pesisir pantaim dugong tersebut akhirnya kembali dilepas ke laut setelah sebelumnya warga menggelar seremonial adat
- Lektor Kepala Bidang Keahlian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang memaparkan, di Kabupaten Sabu Raijua, terdapat kearifan lokal yang terkenal yakni “Peluru Ruju” yang merupakan salah satu ritual perburuan dugong yang dilakukan setiap tahunnya pada bulan Maret sampai April oleh penduduk lokal
- Dugong adalah hewan herbivora dan menghabiskan waktu untuk makan di padang lamun. Mamalia laut ini juga dapat dijadikan sebagai bio indikator kondisi padang lamun, karena spesies ini hanya tinggal di wilayah padang lamun yang berkondisi baik
- Kerusakan lingkungan, perburuan dan proses reproduksi yang lambat menyebabkan dugong menjadi langka. Indonesia melindungi dugong lewat UU No7 Tahun 1999 dan Permen LHK Nomor 20 Tahun 2018. Oleh IUCN dugong digolongkan ke dalam spesies vulnerable to extinction atau rentan punah. Dugong juga tergolong kedalam Appendix I CITES yang berarti spesies ini dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apapun
Warga Kota Lewoleba, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) heboh setelah mendengar kabar ada seekor Duyung (Dugong dugon) ditangkap nelayan. Mamalia laut ini tersangkut pukat hanyut milik nelayan Desa Waijarang, Kecamatan Nubatukan bernama Zainal Abidin.
Dalam sekejap berita dan video tentang penemuan Dugong ini menyebar dan warga berbondong-bondong ke lokasi demi melihat dari dekat mamalia laut yang digambarkan di film memiliki kepala seperti seorang putri dan ekor layaknya ikan.
“Banyak orang penasaran ingin melihat dari dekat seperti apa rupa mamalia laut ini. Kami ke lokasi namun katanya sudah dilepas oleh pemiliknya,” kata Benediktus Bedil, pendiri LSM Barakat saat dikonfimasi Mongabay Indonesia, Senin (1/11/2021).
Kepada awak media, Zainal menyebutkan, Minggu (31/10/2021) dirinya melepas pukat di perairan desanya lalu kembali ke rumah. Paginya, Senin (1/11/2021) dirinya kembali ke laut hendak menarik pukatnya.
Zainal mengaku terkejut karena terdapat seekor Duyung berukuran agak besar tersangkut di pukatnya. Dia pun bergegas meminta bantuan sang kakak dan keduanya pun membawa dugong tersebut ke pesisir pantai.
baca : Bangkai Dugong Diambil untuk Obat Tradisional, Ini Penjelasan PSPL Sorong
Ia mengaku mengikat dugong tersebut menggunakan tali pada bagian sirip dan ekor. Ujung tali ditambatkan pada tiang jembatan apung sehingga dugong tersebut bisa berenang.
Polres Lembata yang dipimpin Kanit SPKT II Aipda M Sinaga pun turun ke lokasi kejadian. Personil polisi pun menghimbau kepada nelayan agar duyung tersebut dilepas kembali ke laut karena merupakan mamalia laut yang dilindungi.
“Duyungnya sudah kita lepas ke laut sekitar pukul 13.25 WITA atas arahan dari personil polisi Polres Lembata. Sebelum dilepas,kita membuat seremonial adat terlebih dahulu,” sebut Zainal.
Proses Penanganan
Lektor Kepala Bidang Keahlian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Chaterina Agusta Paulus, M.Si kepada Mongabay Indonesia, Selasa (2/11/2021) mengatakan, dalam Bahasa Inggris, duyung dikenal dengan sebutan sea cow atau dugong.
Chaterina menyebutkan, menurut Ped-Soede (2002) dan Kahn (2005) Dugong yang ditemukan di perairan Laut Sawu memiliki satu spesies dugong dengan nama ilmiahnya Dugong dugong.
Dia menerangkan, di perairan NTT dugong terdapat di perairan Kabupaten Sabu Raijua, beberapa perairan di lokasi Desa Bolua dan Desa Menia.
“Di Kabupaten Sabu Raijua, terdapat kearifan lokal yang terkenal yakni “Peluru Ruju” yang merupakan salah satu ritual perburuan dugong yang dilakukan setiap tahunnya pada bulan Maret sampai April oleh penduduk lokal,” paparnya.
baca juga : Kisah Pilu Dugong di Perairan Pulau Bangka
Chaterina menambahkan, dugong juga ditemukan pada perairan Kabupaten Rote Ndao: perairan bagian selatan dari Pulau Nuse.
Untuk perairan Pulau Sumba, dugong di temukan pada beberapa perairan di sekitar Desa Wendewa Barat, Desa Lokory, Desa Bondoboghila, Desa Weelonda, dan Desa Lenang.
Untuk perairan Kabupaten Kupang, ditemukan dugong pada beberapa perairan di sekitar Desa Nunuanah, Desa Kifu, dan Desa Netemnanu Selatan.
“Kalau ditemukan terjaring bagaimana penanganannya? Sebenarnya penanganan dugong sama dengan penanganan mamalia laut lainnya,” tuturnya.
Chaterina menjelaskan, penanganan untuk dugong by-catch, nelayan atau masyarakat dapat melakukan beberapa langkah dari Buku Pedoman Penanganan Mamalia Laut Terdampar Edisi Kedua.
Ia paparkan, langkah yang dilakukan yakni pelaporan dengan menghubungi petugas pemerintah seperti DKP/KKP, kepala pemerintah setempat, Polair, atau dokter hewan jika ada maupun posting ke media sosial.
“Harus dilakukan dokumentasi dan pencatatan (foto/video), persiapan alat, menstabilkan dugong, mengamankan bangkai dugong jika ditemukan dalam keadaan mati serta konsultasi ke petugas,” sarannya.
perlu dibaca : Dugong yang Mati di Sabu Raijua Dikuburkan dengan Ritual Adat
Konsumsi Lamun
Dalam website resmi KKP RI dijelaskan, Dugong atau yang lebih dikenal dengan nama duyung adalah salah satu mamalia laut langka yang hidup diperairan tropis yang tersebar diberbagai penjuru dunia seperti Indo Pasifik, Afrika Timur hingga Kepulauan Solomon. Spesies ini memiliki nama ilmiah Dugong dugon.
Dugong memiliki panjang sekitar 2,4 sampai 3 meter dengan berat 230 hingga 930 kg. Hewan ini terlahir dengan warna krem pucat, seiring bertambahnya usia warnanya akan menjadi lebih gelap hingga abu-abu gelap di bagian punggung.
Seluruh bagian tubuhnya ditumbuhi oleh rambut-rambut pendek dan memiliki kulit tebal, keras dengan permukaan halus. Dibagian dada dugong memiliki sirip yang panjangnya 35-45 cm.
Seekor dugong dapat hidup selama 40-70 tahun. Bagi dugong muda sirip ini berfungsi sebagai pendorong sedangkan pada dugong dewasa berperan sebagai kemudi. Ekor dugong berbentuk homo cercal yang berfungsi sebagai pendorong.
Dugong adalah hewan herbivora dan menghabiskan waktu untuk makan di padang lamun. Mamalia laut ini juga dapat dijadikan sebagai bio indikator kondisi padang lamun, karena spesies ini hanya tinggal di wilayah padang lamun yang berkondisi baik.
Jenis lamun yang dikonsumi oleh dugong berasal dari genus halodule, halophila, dan cymodecea. Tumbuhan air tersebut memiliki tekstur lunak dan sesuai dengan tipe pencernaan dugong yang sangat lambat.
Berdasarkan cara pencernaannya dugong tergolong sebagai hindgut fermenter, atau hewan yang pencernaan makanannya dilakukan secara anaerobik oleh mikroba yang terjadi di caecum atau bagian belakang usus besar.
baca juga : Seekor Dugong Terjaring di Flores Timur dan Hendak Dikonsumsi. Kok Bisa?
Lanyon dan Marsh (1995) menemukan bahwa waktu retensi dari mulut hingga anus dapat berkisar antara 146 hingga 166 jam. Sehari seekor duyung dapat menghabiskan lamun sebanyak 25 – 30 Kg, sedangkan yang dipelihara di gelanggang samudera ancol mampu menghabiskan 30 – 40 Kg.
Menurut Anderson et al., (1978), duyung dapat makan pada waktu malam ataupun siang hari. Saat makan, duyung cendrerung menggunakan lubang hidung dan bibirnya untuk menggali lumpur atau mencabut lamun. Lumpur yang melekat pada lamun dibersihkan dengan menyemburkan tanaman kemudian ditelan.
Dugong betina dan jantan memiliki bentuk luar yang sama sama (monomorphic). Salah satu petunjuk untuk membedakan jenis kelaminnya adalah posisi celah kelaminnya (genital aperture) terhadap anus dan pusar (umbilicus) sedangkan betina, celah kelaminnya (vagina) terletak lebih dekat ke anus.
Dugong akan siap bereproduksi ketika berusia 9-10 tahun dengan usia kandungan selama 12 – 14 bulan dan pada umumnya hanya melahirkan seekor anak dalam satu kali proses reproduksi.
Seekor duyung umumnya memiliki jarak kehamilan selama 2,5 – 7 tahun. Guna menghindari pemangsa dugong akan melahirkan anaknya diperairan dangkal dengan kedalaman 2- 2,5 meter. Induk dugong akan menyusi anaknya selama 1-2 tahun.
Dugong tersebar di beberapa wilayah Indonesia seperti Papua, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera, Timor Timur, Maluku, barat laut dan tenggara Jawa, pantai selatan Jawa Timur dan pantai selatan Kalimantan (Budiono, 2003).
Kampung Sawatut, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat merupakan salah satu daerah yang dihidupi oleh dugong.
Kerusakan lingkungan, perburuan dan proses reproduksi yang lambat menyebabkan dugong menjadi langka. Indonesia melindungi dugong lewat UU No7 Tahun 1999 dan Permen LHK Nomor 20 Tahun 2018.
Oleh IUCN dugong digolongkan kedalam spesies vulnerable to extinction atau retan punah. Dugong juga tergolong kedalam Appendix I CITES yang berarti spesies ini dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apapun.