- Suaka Margasatwa Rawa Singkil, hutan rawa gambut yang menjadi bagian Kawasan Ekositem Leuser, berada di Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
- Perambahan di Suaka Margasatwa Rawa Singkil untuk dijadikan kebun sawit ilegal terus terjadi. Kebun sawit ilegal di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, tidak hanya terdapat di Desa Lhok Raya, Kecamatan Trumon Tengah, tetapi ada juga di Desa Ie Meudama, Kecamatan Trumon.
- Pemilik kebun sawit ilegal itu, sebagian besar bukan warga setempat, tapi para pe Untuk membuka lahan, harus ada dana membersihkan lahan, menggali kanal dengan alat berat, serta membeli bibit.
- Rusaknya hutan gambut akan menimbulkan masalah pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Gambut kering akibat terbakar akan menjadi sulit untuk diperbaiki kembali karena sifatnya irreversible.
Suaka Margasatwa Rawa Singkil merupakan hutan rawa gambut yang menjadi bagian Kawasan Ekosistem Leuser.
Minggu siang, 24 Oktober 2021, saya bersama sejumlah jurnalis melihat langsung hutan yang terletak di Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, ini.
Tampak dua pekerja tengah memanen buah sawit, sementara dua pekerja lainnya mengangkutnya menggunakan gerobak sorong. “Kami hanya bekerja sebagai pemanen saja. Selain di kebun ini, kami juga bekerja di kebun orang lain,” ujar Imran, seorang pekerja.
Imran mengaku, dia dan kawannya dibayar Rp200 per kilogram buah sawit yang dipetik dan diangkut ke pinggir jalan. Dia tidak tahu siapa pemilik kebun ini, bahkan lokasinya yang berada di kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil.
“Kami hanya pekerja, kalau masalah ilegal, itu urusan pemilik,” katanya.
Baca: Laporan RAN: Sawit Ilegal di Rawa Singkil, Diindikasikan Digunakan Perusahaan Makanan Ringan Dunia

Sekitar seratus meter dari kebun yang ini, terlihat ada pembukaan lahan baru. Beberapa pekerja tengah melakukan pembersihan lahan, salah satu caranya dengan dibakar.
“Kebun itu baru beberapa bulan dibuka, kabarnya akan ditanami sawit. Kami tidak tahu siapa pemiliknya, sementara pekerjanya memang orang kampung sini,” ungkap Imran.
Meski ada papan pengumuman bahwa kawasan tersebut masuk Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan ada garis polisi, para pekerja tampak tidak peduli.
“Pengumuman itu belum seminggu dipasang, ada beberapa lagi di lokasi berbeda,” lanjutnya.
Baca: Sisi Menawan Rawa Singkil yang Luput Perhatian

Kebun sawit ilegal di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, tidak hanya terdapat di Desa Lhok Raya, Kecamatan Trumon Tengah, tetapi ada juga di Desa Ie Meudama, Kecamatan Trumon. Pemiliknya, sebagian besar bukan warga setempat, tapi para pemodal. Untuk membuka lahan, harus ada dana membersihkan lahan, menggali kanal dengan alat berat, serta membeli bibit.
“Kami warga kecil, tidak mungkin mampu membersihkan lahan yang luasnya puluhan hektar. Kami juga tidak sanggup menyewa alat berat untuk membuat kanal yang dalam dan lebar,” ujar Hamdan, tokoh masyarakat di Kecamatan Trumon.
Hutan gambut Rawa Singkil yang luasnya mencapai 82.000 hektar, merupakan hutan terpadat populasi orangutan sumatera di Aceh, selain hutan gambut Suaq Belimbing di Kecamatan Kluet Selatan dan Kluet Timur, Kabupaten Aceh Selatan.
Baca: Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Gambut yang Terus Dirambah

Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh menunjukkan, di Rawa Singkil terdapat 157 jenis burung, 20 jenis mamalia, 17 jenis biota air, dan 15 jenis herpetofauna. Selain itu juga terdapat 134 jenis tumbuhan bawah, 130 jenis tumbuhan berkayu, dan 40 jenis tumbuhan air. Ekosistem hutan rawa gambut, air tawar, hutan mangrove, dan rivarian menjadi penopang utama seluruh kehidupan di kawasan ini.
Kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil ditetapkan pada 1997, dengan Surat Keputusan Menteri kehutanan Nomor 166/kpts-II/1997 yang luasnya mencapai 102.500 hektar.
Dalam perkembangannya, luas kawasan ini berkurang. Kementerian kehutanan kembali mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 103/MenLHK-II/2015, dengan luas 81.338 hektar.
Baca juga: Perambahan di SM Rawa Singkil untuk Dijadikan Kebun Sawit Masih Terjadi

Hentikan perambahan
Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan [HAkA] menyatakan, perambahan di Suaka Margasatwa Rawa Singkil terus terjadi. Ancaman alih fungsi hutan menjadi kebus sawit sangat nyata.
“Kepolisian dan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] harus segera melakukan penegakan hukum,” ujar Nurul Ikhsan, Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi Yayasan HAkA.
Areal yang telah dirambah harus dikembalikan pula fungsinya, melalui restorasi atau menebang sawit dan menggantinya dengan tumbuhan hutan.
“Suaka Margasatwa Rawa Singkil sangat penting untuk kehidupan masyarakat Aceh Selatan dan Aceh Singkil. Bila hutan ini hancur, bencana alam akan meningkat,” ungkapnya, akhir Oktober 2021.
Ketua Divisi Hutan Forum Jurnalis Lingkungan [FJL] Aceh, Muhammad Saifullah, menyatakan hal senada. Penegakkan hukum terhadap kegiatan ilegal harus segera dilakukan.
“Padahal telah ada plang larangan menebang pohon dan membuka lahan yang dipasang BKSDA Aceh. Tindakkan tegas terhadap orang yang membiayai perambahan harus dilakukan, guna menyelamatkan kawasan konservasi tersebut.”

Peringatan
Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto, Selasa [26/10/2021] mengatakan, begitu mendapat informasi adanya perambahan, pihaknya bersama Polres Aceh Selatan, dan Balai Gakkum Wilayah Sumatera langsung mendatangi lokasi.
“Kami telah memasang plang larangan melakukan perambahan di Suaka Margasatwa Rawa Singkil.”
Agus mengatakan, pendataan kawasan yang dirusak, termasuk mencari cara menghentikan kegiatan itu, terus dilakukan.
“Kami tidak pernah berhenti mencari solusi agar Rawa Singkil bebas dari segala kegiatan ilegal.”

Masalah lingkungan
Koordinator Divisi Riset dan Pengembangan Pusat Riset Perubahan Iklim (ACCI) Universitas Syiah Kuala, Monalisa mengatakan, rusaknya hutan gambut akan menimbulkan masalah pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial.
Dari sifat biofisik, gambut tidak lagi dengan mudah menyerap air atau fungsi hidrologis bila berubah.
“Gambut kering akibat terbakar akan menjadi sulit untuk diperbaiki kembali karena sifatnya irreversible.”
Biodiversitas di lahan gambut yang rusak akan berkurang, baik flora maupun faunanya. “Emisi Gas Rumah Kaca [GRK] terjadi karena gambut menyimpan karbon cukup besar, sehingga saat terbakar akan melepaskan karbon ke udara dan mempercepat pemanasan global,” katanya.

Rusaknya gambut akan merubah mata pencaharian masyarakat, khususnya yang berdiam di wilayah tersebut.
“Selain itu, perekonomian masyarakat akan terdampak dari meningkatnya bencana alam. Ini akan menciptakan kantong kemiskinan baru.”
Sementara dampak sosial, kesehatan warga terganggu akibat kebakaran dan asap, seperti penyakit ISPA.
“Relasi sosial masyarakat di lahan gambut juga terganggu ketika terjadi perebutan lahan, atau kawasan dijadikan perkebunan sawit. Konflik horizontal pun bakal terjadi,” ungkap Monalisa, yang juga Ketua Dewan Pakar Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera [JMG-Sumatera].