- Seorang anak perempuan, 12 tahun, meninggal karena diterkam harimau sumatera, di konsesi PT. Mutiara Sabuk Khatulistiwa [MSK], pada Minggu [31/10/2021].
- Berdasarkan keterangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Riau, lokasi kejadian di tengah areal tanam perusahaan, di Desa Teluk Kabung, Kecamatan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir.
- Korban, merupakaan anak seorang pekerja tanam di bawah tanggung jawab PT. Usaha Berkat Fangarato [UBF], rekanan MSK. Malam nahas itu, ibu dan sang anak tidur di pondok kerja yang hanya berdinding terpal plastik.
- BBKSDA Riau mendorong perusahaan untuk meningkatkan peran satgas penanganan konflik satwa liar. Semua pihak yang memiliki izin dalam wilayah jelajah harimau sumatera, harus menciptakan kondisi bersahabat dan lebih antisipatif.
Seorang anak perempuan, 12 tahun, meninggal karena diterkam harimau sumatera, di konsesi PT. Mutiara Sabuk Khatulistiwa [MSK], pada Minggu [31/10/2021]. Korban, merupakaan anak seorang pekerja tanam di bawah tanggung jawab PT. Usaha Berkat Fangarato [UBF], rekanan MSK. Malam nahas itu, ibu dan sang anak tidur di pondok kerja yang hanya berdinding terpal plastik.
MSK merupakan perusahaan pemasok kayu bagi Asia Pulp and Paper [APP], Sinar Mas. Kementerian Kehutanan saat itu, pada 2013, menetapkan areal kerjanya seluas 44.434 ha, berupa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam [IUPHHK HA]. Terbentang di kelompok hutan Sungai Gaung.
APP Sinar Mas telah mengonfirmasi insiden tersebut, beberapa hari lalu itu. Jasmine NP Doloksaribu, Head of Landscape Conservation, Healt, Safety and Environment, menyampaikan belasungkawa. Mereka memastikan, keluarga korban akan dapat perhatian penuh.
“PT. MSK dengan dukungan APP Sinar Mas bekerja sama dengan pihak berwenang dan lembaga konservasi satwa liar berusaha mendapatkan informasi kejadian itu,” kata Jasmine, melalui Emmy Kuswandari, Global Communications APP Sinar Mas.
Baca: Nasib Gajah dan Harimau di Riau Makin Terdesak
Berdasarkan keterangan pers Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Riau, lokasi kejadian di tengah areal tanam perusahaan, di Desa Teluk Kabung, Kecamatan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir. Tengah malam buta, ibu korban mendengar jeritan minta tolong dari anaknya. Sang ibu samar-samar melihat anaknya seperti diseret, hingga keluar pondok.
Sekitar 60 meter dari pondok, sang ibu mendapati anaknya dalam kondisi tak bernyawa. Ada bekas cakaran dan gigitan di bagian kepala serta tengkuk anaknya. Malam itu, ayah korban tengah belanja keperluan harian.
Pihak keamanan perusahaan yang tiba di lokasi, pukul 01.05 malam, langsung mengevakuasi korban. Hasil diagnosis awal, berdasarkan keterangan kepolisian yang melakukan visum dan medis, menunjukkan kematian itu disebabkan serangan binatang buas.
Penelusuran tim BBKSDA Riau menunjukkan, ada bekas cakaran pada dinding plastik pondok kerja, berikut jejak harimau di sekitarnya. Tim mengimbau karyawan di sekitar lokasi, untuk waspada dan tidak beraktivitas pada pagi dan sore hari.
Baca: Pekerja HTI di Riau Tewas Kena Terkam Harimau
Awal November, BBKSDA Riau kembali merumuskan rencana tindak lanjut penanganan konflik. Mereka menambah 10 unit kamera jebak, setelah memasang tiga kamera pertama di konsesi dan sekitarnya. Untuk menarik pergerakan satwa, tim juga mengikat umpan pada titik-titik tertentu, yang terpantau kamera.
Langkah siaga lainnya diterapkan, berupa operasi jerat di sekitar jalur jelajah satwa, serta meningkatkan patroli dan pengawasan pada pusat-pusat aktivitas kerja perusahaan. BBKSDA Riau juga mendorong perusahaan untuk meningkatkan peran satgas penanganan konflik satwa liar.
“Semua pihak yang memiliki izin dalam wilayah jelajah harimau sumatera harus menciptakan kondisi bersahabat dan lebih antisipatif,” himbau Kepala Bidang Teknis BBKSDA Riau, M. Mahfud, dalam keterangan tertulis ke awak media, Rabu [3/11/2021].
Baca juga: Bikin Jerat Babi Tewaskan Harimau Hamil, Warga Riau Divonis 3 Tahun, Denda Rp100 Juta
Bukan pertama
Konsesi PT. MSK merupakan habitat harimau sumatera di lanskap Kerumutan. Peristiwa ini sekaligus menambah deretan jumlah korban akibat konflik manusia dengan harimau.
Sebelumnya, harimau pernah memangsa korban bernama Darmawan, Kamis [30/1/2020]. Saat itu, dia tengah mencari kayu di bekas areal PT. Bhara Induk -juga bagian dari APP Grup- di Desa Tanjung Simpang, Pelangiran, Indragiri Hilir.
Pada 2019, Wahyu Kurniadi asal Aceh, yang bekerja di perusahaan kontraktor PT. Kencholin Jaya, rekanan PT. Riau Indo Agropalma [RIA], diterkam di areal kerja RIA petak RIAE 021301, Kecamatan Pelangiran, Indragiri Hilir. Selanjutnya, M Amri, yang juga bekerja di RIA, diterkam harimau di kanal sekunder 41, Desa Tanjung Simpang, Pelangiran, Indragiri Hilir.
Tahun 2018, ada Sumiati yang diterkam saat memanen sawit di area PT. Tabung Haji Indo Plantation [THIP]. Setelah itu, Yusri Effendi, diterkam harimau ketika hendak meningglkan bangunan rumah walet yang dikerjakannya di Dusun Sinar Danau. Dua kejadian itu juga di Desa Tanjung Simpang, Pelangiran, Indragiri Hilir.
Bahkan, sepanjang September 2011, empat harimau pernah mengamuk di konsesi MSK. Tujuh pekerja diserang ketika bekerja maupun istirahat siang dan malam hari. Satu orang meninggal di rumah sakit setelah mengalami cakaran dan gigitan harimau.
Dalam keterangan ringkasan publik yang diterbitkan Juni 2021, PT. MSK memiliki dua rencana kerja 2020-2029. Sekitar 99 % atau 42.821 ha lahan akan dikelola dengan sistem tebang habis permudaan buatan [THPB]. Sisanya sekitar 600 ha melalui tebang pilih tanam indonesia [TPTI]. Saat ini, bukaan hutan dan hutan tanaman dalam konsesi mencapai 19.500 ha.
Konsesi MSK, berada di hutan produksi dan berjarak sekitar 10 km dari kawasan konservasi. Menurut Direktur Hutan Auriga Nusantara, Supintri Yohar, harimau sumatera yang menerkam anak pekerja tersebut, bisa saja dari kawasan konservasi atau harimau yang ada di hutan produksi tersebut.
“Pembukaan hutan dengan sistem tebang habis di sekitar habitat harimau tentu berpotensi konfik. Itu, mengakibatkan mangsa menjauh bahkan hilang. Dampaknya, hewan ternak maupun manusia dapat dijadikan harimau sebagai mangsa. Intinya, kerusakan habitat alami akan meningkatkan potensi konflik satwa dengan manusia,” ucapnya.