- Hampir dua tahun terakhir, banyak sektor kehidupan yang terkena dampak akibat pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia. Dampak tersebut dirasakan Indonesia, salah satunya pada sektor kelautan dan perikanan
- Pelaku usaha kelautan dan perikanan, para nelayan skala kecil dan tradisional, pembudi daya ikan skala kecil dan tradisional, serta petambak garam menjadi pihak-pihak yang terkena dampak langsung pandemi
- Akibatnya, perputaran roda ekonomi dari kelautan dan perikanan cukup terganggu dalam dua tahun ini. Meskipun, pemulihan secara bertahap juga terus dilakukan secara mandiri oleh Indonesia dan mulai bisa menggerakkan roda perekonomian lagi
- Salah satu solusi yang diterapkan untuk memulihkan ekonomi sektor kelautan dan perikanan, adalah melalui penerapan ekonomi dengan landasan prinsip berkelanjutan. Upaya tersebut diyakini akan bisa menggerakkan roda ekonomi dan sekaligus ekologi yang bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem
Pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung sejak awal 2020 telah berdampak signifikan pada sektor kelautan dan perikanan di dalam dan luar negeri. Kondisi tersebut harus segera dipulihkan, jika ingin roda perekonomian dari sektor tersebut bisa tetap berjalan sesuai harapan.
Di Indonesia, dampak tersebut sudah dirasakan sejak pertengahan 2020 lalu, atau sekitar tiga bulan setelah pandemi mulai melanda seluruh provinsi. Sejak saat itu, silih berganti kabar menyedihkan datang dari para pelaku usaha, nelayan skala kecil dan tradisional, serta masyarakat pesisir.
Meski tak lama lagi 2022 akan segera datang, namun pandemi diperkirakan masih akan terus ada pada tahun tersebut. Kondisi tersebut, dikhawatirkan akan berdampak semakin panjang pada sektor kelautan dan perikanan di Nusantara.
Mengantisipasi dampak buruk yang akan muncul, Pemerintah Indonesia berjanji akan berusaha memulihkan kondisi tersebut dengan berbagai cara. Termasuk, melalui implementasi pemulihan ekonomi berbasis laut yang berkelanjutan.
Janji tersebut diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo saat menghadiri pertemuan Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan ke-12 (High Level Panel on Sustainable Ocean Economy/HLP SOE) yang berlangsung pekan lalu di Glasgow, Inggris Raya.
Pada pertemuan yang berlangsung di sela konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26 (COP26) tersebut, Indonesia mendeklarasikan komitmennya kepada dunia untuk melaksanakan program pemulihan ekonomi dengan mengadopsi prinsip laut berkelanjutan.
Menurut dia, pemulihan dengan prinsip tersebut bisa dilaksanakan, karena juga sesuai dengan rencana jangka panjang yang tertuang dalam Sustainable Ocean Plans. Merujuk pada rencana tersebut, pemulihan ekonomi ditargetkan bisa selesai pada 2025 mendatang.
“Perlu langkah strategis pemulihan yang konkrit untuk menangani dampak sosial ekonomi akibat pandemi COVID-19. Kedua hal tersebut menjadi dua tantangan utama yang harus dihadapi saat ini,” ungkap dia.
baca : Berbagai Pengalaman dari Indonesia kepada Dunia
Tantangan tersebut diakuinya tidak akan mudah untuk dilaksanakan oleh negara-negara di dunia, salah satunya Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan perkiraan lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa pertumbuhan ekonomi dunia turun dari minus 3 persen menjadi minus 4,9 persen pada 2020.
Fakta tersebut harus bisa dijawab oleh negara-negara di dunia melalui kerja ekstra keras dan penguatan kerja sama ekonomi antar negara panel laut. Jika itu bisa berjalan baik, diharapkan perekonomian bisa segera pulih kembali seperti sebelumnya.
Melalui penguatan kerja sama antar negara juga, Basilio Dias Araujo berharap itu bisa menjadi proses penyampaian pesan kepada dunia bahwa Indonesia siap menjadi negara yang memimpin pelaksanaan agenda strategis ekonomi laut berkelanjutan.
Komitmen tersebut juga akan dibawa pada dua agenda besar di level dunia dan regional, yakni Konferensi Tingkat Tinggi Group of Twenty (G20) yang akan berlangsung di Bali pada 2022 mendatang, dan ASEAN Summit 2023 yang akan berlangsung di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
“Kita harus perkuat kerjasama regional dan internasional,” tegas dia.
Selain di laut, komitmen untuk mewujudkan ekonomi yang berkelanjutan juga dilakukan di daratan. Caranya, adalah dengan melakukan transisi ke ekonomi rendah karbon melalui pendanaan untuk membangun pembangkit energi bersih.
Pelaksanaan transisi tersebut, akan dilakukan dengan sangat hati-hati, terukur, dan secara bertahap. Proses tersebut akan melibatkan Pemerintah Daerah dan sektor swasta, dengan tujuan untuk mengurangi penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Basilio Dias Araujo meyakini, serangkaian tindakan prioritas untuk segera mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akan berkontribusi signifikan bagi kesehatan laut, dan ekonomi masyarakat pesisir. Selain itu, juga akan berdampak positif bagi nelayan yang bergantung pada sumber daya laut.
Dengan melaksanakan pemulihan ekonomi melalui prinsip berkelanjutan, diharapkan itu bisa menjadi momentum strategis dan peran penting untuk menguatkan kerja sama antar negara dan memperbaiki pemulihan ekonomi.
“Serta menjaga keberlanjutan laut sesuai target Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya target nomor 14,” jelas dia.
Diketahui, HLP SOE merupakan forum yang beranggotakan 14 negara, yaitu Norwegia, Palau, Australia, Kanada, Chili, Fiji, Ghana, Jamaika, Jepang, Kenya, Meksiko, Namibia, Portugal, dan Indonesia. Forum tersebut ada berkat inisiasi dari Norwegia pada 2018.
Program Prioritas
Membangun ekonomi kelautan dengan prinsip berkelanjutan, sejak beberapa tahun terakhir juga digaungkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Bahkan, sudah disiapkan tiga program prioritas yang diharapkan bisa mendorong pemulihan ekonomi, sekaligus pelestarian ekosistem.
Ketiga program yang dimaksud, adalah meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari subsektor perikanan tangkap, dan meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui perikanan tangkap terukur.
Kemudian, yang kedua adalah menggerakkan perikanan budi daya untuk peningkatan ekonomi masyarakat yang didukung oleh riset kelautan dan perikanan untuk keberlangsungan sumber daya laut dan perikanan darat.
“Ketiga, mengembangkan kampung-kampung perikanan budidaya berbasis kearifan lokal,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) KKP Kusdiantoro, belum lama ini di Jakarta.
perlu dibaca : Penangkapan Ikan Terukur, Bisa Tekan Laju Perubahan Iklim
Menurut dia, implementasi ketiga program tersebut dilakukan dengan pendekatan keberlanjutan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SDKP) melalui penerapan ekonomi biru. Harapannya, SDKP mampu menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi, meningkatkan pendapatan masyarakat, menyerap lapangan kerja, dan memberikan peluang untuk bisnis ke depan.
Program prioritas pertama, yakni penangkapan terukur dengan basis kuota, adalah program yang sejalan dengan forum negara HLP SOE dan sudah disahkan ke dalam dokumen Transformation SOE yang di dalamnya ditetapkan lima bidang prioritas.
Kelimanya yaitu, kekayaan laut (ocean wealth), kesehatan laut (ocean health), manfaat sumber daya yang adil (ocean equity), ketersediaan pengetahuan laut (ocean knowledge), dan pembiayaan upaya kesehatan dan pengelolaan sumber daya laut (ocean finance).
Kusdiantoro menerangkan, penerapan kebijakan penangkapan terukur dengan basis kuota menjadi arah yang baik menuju pembangunan ekonomi kelautan yang berkelanjutan. Pasalnya, filosofi kebijakan tersebut adalah untuk jumlah stok ikan di laut.
Dengan kata lain, kebijakan penangkapan terukur dibuat dengan mempertimbangkan ekologi dan ekonomi bisa berjalan secara beriringan dan seimbang. Untuk itu, kebijakan tersebut menerapkan perubahan dari pengendalian penangkapan konvensional yang tidak memperhatikan ekologi.
baca juga : Penangkapan Terukur, Masa Depan Perikanan Nusantara
Peniadaan cara menangkap dengan tidak terukur tersebut, digantikan dengan cara terukur melalui perizinan dan pemberlakuan kuota tangkapan. Dari sana, diharapkan akan berubah dari kegiatan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai aturan (IUUF), menjadi Legal, Dilaporkan, dan Sesuai Aturan (LRR).
Untuk program kedua, dilaksanakan melalui strategi pengembangan budi daya tambak udang untuk target produksi udang sebesar dua juta ton pada 2024. Program ketiga, dilakukan melalui pembangunan kampung-kampung perikanan budi daya air tawar, payau, dan laut berbasis kearifan lokal.
“Tujuannya untuk pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan pembudi daya ikan serta menghindari kepunahan komoditas yang bernilai ekonomis tinggi,” tegas dia.
Kusdiantor berharap, para diplomat Indonesia yang ada di luar negeri bisa membantu untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja migran Indonesia sektor kelautan dan perikanan yang bekerja di luar negeri.
“Serta memastikan mereka mendapatkan hak-haknya secara penuh,” pungkas dia.