Bicara soal penanganan perubahan iklim berarti pula penanganan terhadap ketidaksetaraan atas akses dan manfaat dari pengelolaan sumber daya. Untuk tu, perlu pendekatan inklusif multi-dimensi yang terpadu dalam satu paket.
Indonesia sebagai negeri kepulauan rentan terhadap dampak perubahan iklim. Indonesia juga salah satu negara pelepas emisi gas rumah kaca terbesar, terutama bersumber dari penggunaan lahan, maupun pemanfaatan energi (Carbonbrief,2019) .
Sebagai bagian dari komitmen, Indonesia menetapkan target penurunan emisi tak bersyarat hingga 29% dan bersyarat 41% terhadap business as usual pada 2030. Guna percepatan pencapaian target ini, Indonesia baru-baru ini meluncurkan strategi jangka panjang pembangunan rendah karbon 2050.
Dokumen ini memuat sejumlah jalan mitigasi dan adaptasi dengan ambisi lebih besar untuk mengoptimalkan segala daya upaya pada 2030. Juga menjajaki berbagai peluang untuk bebas emisi pada 2060 atau lebih cepat.
Resiliensi ekonomi, sosial, penghidupan dan ekosistem serta lansekap diharapkan bisa tercapai dengan mengalamatkan strategi pada empat kebutuhan utama yakni, pangan, air, energi dan kesehatan lingkungan.
Strategi pembangunan rendah karbon ini mengidentifikasi sejumlah isu pendukung untuk transisi yang berkeadilan, keadilan gender, pemberdayaan perempuan, kebijakan dan regulasi keadilan antar generasi dan kebutuhan kelompok khusus dalam situasi yang rentan.
Dalam rancangan ini secara khusus, menyebut anak, lansia, disabilitas, masyarakat hukum adat dan penduduk lokal, dimana penerapan strategi melalui pendekatan berbasis kebutuhan. Terdapat sejumlah perangkat kebijakan dan rencana yang jadi rujukan, termasuk UU Perlindungan anak, Perlindungan Sosial, Sistem Pendidikan Nasional, Kehutanan, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ada juga persyaratan bersilangan dalam strategi sektoral yang mengamanahkan pelibatan masyarakat untuk aksi adaptasi lokal, berbasis kelompok rentan, gender, pengetahuan dan kebijakan lokal. Kehadiran strategi kewilayahan merefleksikan semangat inklusi ruang dengan berfokus pada wilayah yang menerima dampak perubahan iklim. Juga penetapan prioritas wilayah berbeda untuk penerapan strategi yang berbeda pula.
Strategi jangka panjang ini menampakkan semangat inklusi kuat dan jadi terobosan dalam penanganan perubahan iklim. Hingga sebagai rujukan nasional, tak saja memberi arah tempuh, juga prinsip penyertaan secara lugas. Tak terbatas dengan mempertimbangkan keperluan spesifik dari kelompok rentan juga menjangkau dimensi inklusi lebih luas.
Baca juga: Bila Inpres Moratorium Sawit Setop Bisa Ancam Komitmen Iklim Indonesia
Rasionalisasi strategi penanganan perubahan iklim inklusif
Perubahan iklim tak berlaku sama bagi semua. Seringkali, pihak yang paling sedikit berkontribusi atas perubahan iklim jadi pihak yang paling tidak diuntungkan. Baik dari skala dampak maupun implikasi berbagai upaya mitigasi dan adaptasi. Ketidaksetaraan akses sumber daya jadi faktor yang memungkinkan pilihan strategi penanganan perubahan membawa implikasi menciptakan ketidaksetaraan baru. Sebagai contoh, data rasio elektrifikasi menyebutkan ada 433 desa belum teraliri listrik. Data BPS 2018, jumlah desa atau kelurahan pemukiman di bantaran sungai ada 50.096.
Umumnya, warga di bantaran sungai menerima paparan terbesar dari banjir dan target utama penataan ulang. Pada 2019, persentase rumah tangga yang memiliki akses layanan sumber air minum layak dan berkelanjutan sekitar 84,91%.
Dari sisi distribusi, data BPS 2021 memperlihatkan, beberapa wilayah menampakkan cakupan rendah seperti Bengkulu (44,99%), Kepulauan Bangka Belitung (66,72%) , Lampung (65,76%) dan Papua Barat (55,49%).
Pendekatan inklusi mensyaratkan, berlangsungnya penyertaan berbagai kelompok dalam proses, inklusif dalam kebijakan dan inklusif dari sisi dampak. Inklusif dari sisi proses berkaitan dengan penyertaan, partisipasi dan keterlibatan kelompok yang beragam. Inklusif dari sisi proses memastikan keadilan dan aksesibilitas dari program, kegiatan dan kebijakan.
Inklusif dari sisi dampak mensyaratkan distribusi yang berkeadilan atas manfaat dari program, kegiatan dan kebijakan dimana pengukuran dampak menyertakan evaluasi atas manfaat itu bagi kelompok berbeda. Strategi inklusif memberikan ruang terbuka bagi individu atau kelompok untuk terlibat dan bertanggung jawab atas kegiatan yang langsung terkait dengan kehidupan mereka. Juga memperkecil potensi implikasi negatif atas penanganan perubahan iklim.
Baca juga: Perlu Aksi Segera dan Serius Atasi Krisis Iklim
Rekomendasi
Jadi, rekomendasi penyiapan strategi inklusif yang multi-dimensi pertama, dengan mengindentifikasi kelompok dan sub-kelompok rentan yang lebih spesifik di tingkat nasional dan sub-nasional dengan menggunakan parameter inklusi sosial yakni akses, tingkat pemahaman dan partisipasi.
Inklusi ruang gunakan paremeter akses fasilitas seperti perumahan, jangkauan layanan listrik, transportasi layanan publik dan lain-lain. Sementara inklusi ekonomi menyoroti parameter kemanfaatan dari sisi mata pencarian dan kesejahteraan.
Sub-kelompok spesifik bisa mencakup masyarakat di kawasan sempadan sungai, penduduk pesisir, masyarakat di kawasan kumuh, berpenghasilan rendah, perempuan pengguna air , pekerja sektor informal dan konsumen energi, petani, buruh tani, dan nelayan tradisional. Juga, penduduk di kawasan yang tak terjangkau layanan listrik, masyarakat di lokasi geografis sulit terjangkau seperti pulau -pulau kecil dan pegunungan, dan masyarakat di perbatasan. Kemudian, rumah tangga tak ada akses air minum layak, tak punya jaminan sosial, juga sebagian dari sub-kelompok yang memiliki kerentanan dan kepentingan spesifik.
Kedua, pemetaan potensi dampak dan manfaat. Strategi adaptasi dan mitigasi, baik sektoral dan kewilayahan perlu menyodorkan pendekatan analitik untuk memahami pihak yang menerima manfaat dan akses dari strategi yang dipilih. Telaah memetakan kemungkinan pihak yang tidak mendapatkan akses dan manfaat. Pendekatan analitik semacam ini memudahkan untuk memahami kelompok mana yang mendapat manfaat terbesar dan kelompok yang mungkin paling sedikit menerima manfaat, atau bisa jadi dirugikan. Parameter mengukur dampak dan manfaat seperti keterjangkauan, ketersediaan, akses dan penerimaan. Dengan begitu, bisa menjelaskan konsekuensi mengenai siapa, bagaimana sebuah kelompok terdampak dan tingkat penerimaan atas suatu tindakan.
Semisal untuk strategi sektor energi, investasi pembangkit energi terbarukan seperti angin, matahari, hujan, dan bagaimana menangkap peluang menciptakan green jobs perlu mengidentifikasi beberapa hal. Antara lain, apakah strategi ini memiliki implikasi pada akses dan keterjangkauan harga bagi konsumen energi dari keluarga berpenghasilan rendah, mendorong distribusi merata dengan prioritas wilayah tak terlayani listrik dan penyiapan strategi transisi pekerja di sektor energi konvensional.
Dari kondisi itu, strategi zonasi eco-climate untuk pengelolaan fungsi ekosistem perlu memetakan penerima manfaat dan kelompok terdampak dari intervensi.
Ketiga, telaah kebijakan. Ini dilakukan dengan menilai kebijakan saat ini, kesenjangan dan kebijakan yang akan dihasilkan dari penerapan strategi dan kemungkinan menimbuilkan implikasi pada menciptakan ketidakadilan baru.
Keempat, pemantauan, kaji ulang dan pembaruan strategi agar menyertakan parameter serupa mengenai manfaat dan dampak sosial,ekonomi dan keruangan terhadap berbagai kelompok. Dengan begitu, dasar pembaruan strategi tak hanya menilai efektivitas strategi terhadap penurunan emisi dan peningkatan ketahanan iklim juga proses, dampak dan kebijakan. Dengan demikian, keluaran strategi yang diperbarui merupakan strategi inklusif.
*****
Foto utama: Masyarakat adat Kinipan, terdampak atas ‘pembangunan’ yang masuk ke wilayah adat mereka dalam bentuk investasi yang disebut-sebut bisa mensejahterakan rakyat, benarkah? Foto: Save Our Borneo.
Penulis adalah Suryani Amin, dari Local Governments for Sustainability (ICLEI). Tulisan ini adalah opini penulis.