- Persoalan pengelolaan lahan antara masyarakat di Kecamatan Koto Gasib, Siak, Riau, dengan perusahaan sawit, PT Wana Subur Sawit Indah (WSSI) belum juga tuntas. Meski begitu, pemerintah tetap memberikan kesempatan kepada perusahaan.
- Pemerintah kabupaten maupun pusat akan membina PT WSSI untuk melengkapi dan menjalankan kewajiban. Perusahaan sawit dengan lahan beberapa kali terbakar itu diberi waktu enam bulan.
- Dalam nutulen rapat pemerintah dinyatakan, PT WSSI belum dapat memenuhi beberapa kewajiban berdasarkan IUP yang diperoleh sejak 2001. Alasannya, kondisi kebun inti sekitar 3.800 hektar belum memenuhi baku teknis. Pembangunan kebun masyarakat 1.716 hektar atau 29,79% yang pernah disepakati bersama koperasi empat kampung pun belum berjalan.
- Di lapangan, kesepakatan baru dibikin antara perusahaan dan penghulu kampung. Sebagian tak setuju. Di level tapak pun kini muncul masalah baru.
Masalah pengelolaan lahan antara masyarakat di Kecamatan Koto Gasib, Siak dengan PT Wana Subur Sawit Indah (WSSI) belum usai, tetapi sikap pemerintah masih terus memberi kesempatan pada perusahaan sawit ini.
Surat Bupati Siak No: 590/BPT/IV/2021/140.0, perihal peninjauan ulang izin usaha perkebunan (IUP) PT Wana Subur Sawit Indah (WSSI), mendapat respon Kementerian Pertanian. Tim Direktorat Perkebunan turun, 15 September 2021. Pagi itu, rombongan terlebih dahulu meninjau areal WSSI memastikan perkembangan pembangunan kebun inti maupun plasma di lahan perusahaan itu.
Siangnya, Asisten 1 Setdakab Siak, L Budhi Yuwono, memimpin rapat yang dihadiri Sri Ambar Kusumawati, Kabid Pengembangan Usaha dan Penyuluhan, Dinas Perkebunan Riau. Termasuk sejumlah kepala dinas terkait di Siak maupun perwakilan pemerintahan kampung dan koperasi. Peserta rapat juga membahas hasil penilaian usaha perkebunan (PUP) WSSI 24 Agustus lalu.
Informasi mengenai rencana kunjungan kementerian sudah disampaikan Budhi ke Mongabay, empat hari sebelumnya, saat wawancara via telpon. Semula dia bilang, tim kementerian turun Selasa. Hanya dia tidak ingin masalah WSSI ini diberitakan lagi dengan pertimbangan konflik di masyarakat.
Untuk menanyakan rencana kunjungan itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perkebunan, Ali Jamil, tidak menjawab pertanyaan yang dikirim Mongabay ke WhatsAppnya. Dia juga tak merespon panggilan ke ponsel sebanyak empat kali pada 13 September 2021. Begitu juga dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono. Dia hanya membaca permintaan wawancara yang dikirim ke WhatsApp tanpa membalas.
Dalam notulen rapat yang diperoleh Mongabay, WSSI dinyatakan belum dapat memenuhi beberapa kewajiban berdasarkan IUP yang diperoleh sejak 2001. Alasannya, kondisi kebun inti sekitar 3.800 hektar belum memenuhi baku teknis. Lalu, pembangunan kebun masyarakat 1.716 hektar atau 29,79% yang pernah disepakati bersama koperasi empat kampung belum berjalan.
Pada areal WSSI juga ada akasia tumbuh alami. Karena itu, Dinas Pertanian Siak menetapkan WSSI sebagai kebun kelas V, kluster paling buncit untuk perkebunan dalam tahap operasional. Meski begitu, izin WSSI tidak langsung dicabut.
Pemerintah kabupaten maupun pusat akan membina WSSI untuk melengkapi dan menjalankan kewajiban. Perusahaan sawit dengan lahan beberapa kali terbakar itu diberi waktu enam bulan.
Dalam rapat itu, WSSI berjanji mematuhi perintah yang tertuang dalam IUP. Mereka pun, akan menyesuaikan kembali luas izin setelah dikurangi untuk pembangunan kebun masyarakat.
Soal sebagian lahan telah tumbuh akasia, WSSI akan membersihkan karena sudah dapat izin pemanfaatan kayu (IPK) dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Riau.
Seorang dari Dinas Pertanian Siak mengatakan, PUP baru bulan lalu itu untuk penilaian tiga tahun ke belakang, 2020-2018. Penilaian tiga tahun ke depan baru akan pada 2024.
Nyatanya, WSSI memang tidak bisa memenuhi dan melengkapi bukti-bukti kegiatan perkebunan seperti yang diminta dalam kuisioner.
Sri Ambar Kusumawati, Kabid Pengembangan Usaha dan Penyuluhan Dinas Perkebunan Riau mengatakan, pada 2010, atau setahun setelah Permentan 7/2009 tentang pedoman PUP terbit, Dinas Perkebunan Riau telah menempatkan WSSI pada kebun kelas IV. Sayangnya, dia belum bisa menjelaskan lebih rinci mengenai rekomendasi atau saran tindak lanjut dari hasil penilaian kala itu. Alasannya belum menemukan dokumen terkait.
Baca juga: Menyoal Perusahaan Sawit Bermasalah di Koto Gasib, dari Protes Warga sampai Jeratan Kasus Karhutla
Merujuk Pasal 21 dalam Permentan itu, perusahaan perkebunan yang ditetapkan dalam kelas IV wajib segera melaksanakan saran dan tindak lanjut dari pemerintah. Pasal selanjutnya menjelaskan, bila perusahaan tidak melaksanakan perintah diberi peringatan tiga kali dalam selang waktu enam bulan. Pasal 26 Ayat 3, bahkan menegaskan, IUP dicabut bila perusahaan perkebunan tidak juga menjalankan perintah selama jangka waktu peringatan.
Bupati Siak Alfedri, jauh hari mengusulkan sebagian konsesi WSSI untuk tanah obyek reforma agraria (Tora). Dia sampaikan itu ke Surya Tjandra, saat Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang berkunjung, 23 Juni lalu.
Informasi dari Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Siak, Budi Satria, luas lahan WSSI untuk Tora tersebar pada empat kampung, Buatan I 283 gektar, Buatan II 1.100 hektar, Sri Gemilang 160 hektar dan Rantau Panjang 373 hektar. Lahan ini bersumber dari areal plasma engan total 1.916 hektar.
Budhi menyebut, sebenarnya target dari Kementerian ATR/BPN 1.750 hektar tetapi tergantung lahan tersedia. Sepanjang komunikasi dengan perusahaan, WSSI akan mengakomodir selagi lahan masih ada.
Saat ini, Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dalam proses pendataan lapangan. Mereka juga sosialisasi ke masing-masing kampung. Termasuk verifikasi calon petani calon lahan (CPCL) yang mengacu pada ketetapan bupati yang pernah ada sebelumnya. Kemungkinan, kata Budi Satria, akan ada penambahan sedikit lagi.
Sementara itu, meski ada lobi-lobi agar kegiatan perusahaan terus berjalan, masyarakat yang bersinggungan dengan WSSI tetap menolak dan menginginkan izin dicabut.
Kesepakatan baru?
Medio Agustus lalu, Kuasa Direktur WSSI Julio Sembiring menjamu Penghulu Buatan I Ali Permidi dan Penghulu Buatan II Junaidi Chandra di sebuah hotel bintang empat, Pekanbaru. Bersama mereka turut serta sejumlah tokoh masyarakat. Mereka menandatangani kesepakatan bersama, tak ada keterlibatan masyarakat.
Ali, menyepakati pembangunan kebun plasma yang semula 270 hektar jadi 283 hektar. Oyon, panggilan sehari-hari Junaidi Chandra—menyetujui, pembangunan plasma semula 793 hektar jadi 900 hektar. Plus 200 hektar lahan di Dusun Lingkar Naga akan di-enclave karena terlanjur dikelola masyarakat. Perihal kontribusi penebangan akasia, keduanya sama-sama setuju dengan nominal Rp30.000 per ton untuk tiap kampung.
Klausul itu, mencuat pasca DPMPTSP Riau menerbitkan IPK buat WSSI pada 23 Maret 2021. Perusahaan sawit yang pernah kena denda Rp3 miliar plus pidana tambahan Rp40,8 miliar karena kasus kebakaran lahan itu harus mendapatkan warkah karena pada areal yang belum sempat ditanami ditumbuhi akasia liar.
Saat Ali dan Oyon menyampaikan butir-butir kesepakatan itu, masih ada yang tidak satu suara. Sebagian masyarakat Buatan I, minta pembangunan kebun plasma lebih luas, yakni 500 hektar. Alasannya, masyarakat di kampung itu makin bertambah.
Adapun masyarakat Buatan II, tetap mengutamakan tuntutan awal, cabut IPK WSSI atau opsi lain, pembagian dua hektar lahan untuk masing-masing keluarga serta fee penebangan akasia naik jadi Rp100.000 per ton.
Ali, memaklumi penolakan masyarakat. Dia yakin, mayoritas lebih banyak setuju. Dia menyerahkan sepenuhnya pada masyarakat yang tergabung dalam Koperasi Modang Bersatu. Bila kesepakatan tetap lanjut, koperasi itu akan mewakili masyarakat mengelola kebun sawit dengan WSSI.
“Sebenarnya wajar saja ada masyarakat kesal dan menolak, karena sudah terlalu lama menunggu realisasi kebun plasma sampai saat ini,” katanya, via telepon, 27 Agustus 2021.
Oyon agak berbeda menanggapi keberatan masyarakat. Dia lebih condong pada suara-suara yang setuju dengan kesepakatan yang dibuatnya. Pasca musyawarah di MDTA Islamiyah, 25 Agustus lalu, dia meminta masyarakat mengisi dan menandatangani surat pernyataan di atas materai Rp10.000. Berikut dengan penyerahan kertu keluarga dan KTP. Oyon beri waktu satu minggu, terhitung mulai awal September.
Selembar pernyataan yang diperlihatkan warga ke Mongabay, itu memuat: tidak menuntut hasil verifikasi calon petani dan calon lahan (CPCL) oleh tim verifikasi Kampung Buatan II. Kemudian, mengakui hasil verifikasi tim sebagai keputusan mutlak.
“Sekarang, tidak ada masalah lagi. Hanya riak-riak sedikit. Paling 15 orang menolak. Cuma suara saja besar,” kata Oyon, 2 September, pagi, via telepon. Dia menjamin dan mengawasi langsung agar WSSI betul-betul membangun kebun plasma masyarakat tak seperti kesepakatan pada 2013.
Menurut Kuasa Hukum WSSI, Yudi Krismen, perusahaan sudah mengakomodir permintaan masyarakat perihal luasan kebun plasma termasuk, persentase fee atau kontribusi hasil penebangan akasia liar di areal perusahaan. Cuma dua informasi itu yang dia berikan. Yudi belum bisa beri penjelasan rinci karena data masih dipegang Hasri, selaku wakil manajemen.
Hasri enggan beri keterangan pada sejumlah awak media. Dia mengatakan, WSSI sudah menunjuk Yudi Krismen, mewakili perusahaan untuk menjawab segala pertanyaan. Yudi minim informasi. Dia hanya menambahkan, WSSI akan sungguh-sungguh mengelola lahan karena juga kebun sawit ada di Kalimantan. Biaya atau modal bangun sawit di Koto Gasib akan subsidi dari sana.
Berebut kelola kebun plasma
Di Buatan II, sejumlah masyarakat yang menolak kesepakatan antara penghulu bersama kuasa direktur WSSI, galang dukungan dengan bentuk koperasi. Namanya, Koperasi Suak Keramat Bersatu. Hari pembentukan, 24 Agustus lalu, dihadiri Kepala Bidang Koperasi UMKM Siak, sekretaris camat dan sejumlah kepala dusun dan RT.
Masyarakat menunjuk Thamrin Basri sebagai ketua. Dia mantan penghulu. Pernah terikat dengan WSSI ketika ditunjuk sebagai pimpinan kebun. Dia menjalani empat tahun penjara karena kasus kebakaran hutan dan lahan di perusahaan pada 2015. Kini, dia di barisan yang menuntut perusahaan sawit itu hengkang dari Koto Gasib.
Masyarakat hendak menggantikan Koperasi Buatan Makmur yang dinyatakan tidak aktif oleh Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Siak. Koperasi ini juga diusulkan badan hukum dibubarkan di Kementerian Koperasi dan UMKM. Juga tidak masuk lagi dalam online data system (ODS).
Dalam surat yang ditandatangani Kepala Dinas Koperasi UMKM Siak, Wan Fazri Auli, yang diperoleh Mongabay, Buatan Makmur disebut tidak pernah menyelenggarakan rapat anggota tahunan (RAT) lagi. Bahkan tidak melaksanakan usahanya termasuk melaporkan kegiatan kepada dinas terkait. Oleh karena itu, koperasi ini resmi dilarang berkegiatan. Jika itu dilakukan, dinas tidak bertanggungjawab bila muncul masalah hukum. Keputusan itu ditetapkan pada 18 Agustus 2021.
Sebelum warkah itu dikeluarkan, Buatan Makmur memang sempat terlibat dalam perundingan-perundingan WSSI dan penghulu setempat. Misal, Ketua Koperasi, Robi Cahyadi, ikut dalam penyusunan kesepakatan antara WSSI dengan penghulu Buatan I dan II, 11 Agustus lalu. Dia juga hadir saat kesepakatan itu disosialisasikan.
Robi Cahyadi, Ketua Komisi IV DPRD Siak, Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Sumberdaya . Dia warga Buatan, Koto Gasib. Rencananya, koperasi akan mewakili masyarakat Buatan II dalam pengelolaan kebun plasma seperti janji WSSI. Dihubungi, 6 September, dia bilang, tidak terlibat lagi dalam urusan kerjasama kebun plasma. Setelah koperasi diusulkan bubar, hanya satu minggu pasca kesepakatan dengan WSSI ditandatangani.
Rupanya, Penghulu Oyon, buru-buru membentuk koperasi baru setelah mengetahui Buatan Makmur nonaktif. Namanya tidak jauh beda dengan koperasi sebelumnya atau masih mengaitkan dengan nama kampung, Koperasi Buatan Dua Makmur. Ia mulai dibahas pada 4 September. Saat ini, mereka melengkapi administrasi dan dokumen untuk pembuatan akta notaris.
Oyon, tidak mengakui Koperasi Suak Keramat Bersatu yang dibentuk masyarakat. Gara-gara tak ada koordinasi dengan pemerintahan kampung. Soal ini berujung pemberhentian empat ketua RT, dengan alasan melanggar kode etik. Salah satunya, karena mereka menggalang tanda tangan masyarakat untuk pembentukan koperasi.
Dalam surat pemberhentian yang diterima Mongabay, Ketua RT 014, Khairul Anwar, dituding tidak bisa mengontrol diri karena menunjuk-nunjuk penghulu saat menyampaikan pendapat dalam rapat. Kemudian, gara-gara ikut menandatangani petisi yang dianggap bertentangan dengan pemerintahan kampung, hingga terkesan memprovokasi masyarakat.
Suardi, Ketua RT 008, dan Ridwan, Ketua RT 015, juga diberhentikan karena ikut menandatangani petisi dan memprovokasi masyarakat tanpa pertimbangan jabatan. Adapun Ketua RT005, Isnaini, diberhentikan hanya karena menyampaikan pendapat, sebelum penghulu maupun Kepala Badan Permusyawaratan Kampung (Bappekam) memulai rapat. Isnaini juga dituduh merobek daftar hadir pasca musyawarah, akhir Agustus lalu.
Suardi, kaget ketika diberitahu istrinya telah diberhentikan. Istrinya mendapati surat itu di depan pintu saat menyapu, 1 September malam. Dia baru pulang nongkrong dengan kawan-kawannya.
Saat keluar rumah, lepas magrib, dia tak melihat kertas apapun saat melangkahi pintu. Sebelum diberhentikan, tak ada pemanggilan atau klarifikasi terlebih dahulu dari penghulu.
Isnaini, juga dapat surat pada malam sama lewat anaknya. Malam itu, dia baru pulang membesuk tetangga yang sakit. Dia langsung mengirim pesan ke akun Whatsapp kerani kampung yang antar surat dan mempersoalkan waktu pengantaran. Katanya, seolah tak ada waktu lain seperti siang hari. Dia menyanggah alasan pemberhentian yang dinilai mengada-ada.
Isnaini bilang, bukan dia yang mengoyak daftar hadir. Dia memang mengambil ketika musyawarah usai setelah itu disobek sekelompok orang yang tidak setuju dengan hasil rapat. Dia enggan menyebut nama orangnya.
Jauh hari, Isnaini sebenarnya sudah mendengar desas-desus akan diberhentikan namun tak kunjung dipanggil maupun diberi surat peringatan terlebih dahulu oleh penghulu. Dia menerima saja pemberhentian itu. Meski sempat hendak menemui penghulu ketika menyambangi kantornya. Kebetulan, saat itu Penghulu Oyon ada urusan di Siak.
Warga tidak terima Isnaini diberhentikan. Dia dipilih langsung bukan ditunjuk. Bahkan warga mengajak untuk demonstrasi di kantor penghulu. Dia menahan ajakan itu karena menganggap akan sia-sia.
Lain hal dengan Khairul Amri. Dia terima surat langsung dari staf penghulu yang datang ke rumahnya, 30 Agustus 2021, sore. Dia tanya maksud dan tujuan kedatangan orang itu, tetapi tak dijawab. Setelah beranjak, dia baru membaca suratnya.
Khairul Amri memilih diam. Seperti Isnaini, warga ikut bereaksi atas pemberhentian itu. Warga menuding penghulu semena-mena. Dia akan berembuk dengan kawan-kawan yang juga diberhentikan.
Menurut dia, harus ada SK pemberhentian seperti mereka diangkat jadi RT. “Jangan seenaknya saja main berhentikan,” kata Amri yang baru lima bulan jadi RT.
Pemberhentian Amri seperti sudah terencana, sejak dia ikut aksi di lahan WSSI bersama sejumlah masyarakat Koto Gasib dan beberapa anggota DPRD Siak. Waktu itu, mereka memaksa alat berat berhenti menebang akasia setelah WSSI mendapatkan IPK.
Ridwan, RT terakhir yang diberhentikan, terima surat sehari setelah Amri. Sore itu, dia juga tak terima langsung dari staf penghulu yang mengantar surat. Istrinya yang terima surat, tengah di bawah pohon rambutan. Dia berada di warung.
Dia sempat kesal terlebih karena dituduh menghasut warga dengan meminta tanda tangan.
Ridwan, langsung menghubungi penghulu saat itu juga. Dia lapang dada dan tak akan menaruh dendam, sekaligus menyampaikan permintaan maaf bila ada salah selama 11 tahun mengemban tugas. Di ujung telepon, dia sekaligus mengundang Oyon dalam hajatan akikah anaknya. Penghulu tak datang. Rumah keduanya hanya berjarak sekitar satu kilometer.
Ridwan bilang, warga kecewa dan terkejut mendapat kabar pemberhentian itu hanya gara-gara membubuhkan tandatangan sebagai dukungan pembentukan koperasi. Padahal, itu diminta tanpa paksaan melainkan dijelaskan dengan transparan. Tak ada keberatan sama sekali. “Tapi, ya sudah. Saya terima saja. Saya juga mau istirahat.”
Oyon membela diri. Dia bilang, pemberhentian empat pembantunya itu karena merusak etika atau marwah kampung.
****
Foto utama: Aksi warga Koto Gasib di kebun perusahaan sawit, PT WSSI. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia