- Pekarangan rumah Siti Ruqayyah, di Pamekasan, Madura, tampak hijau, penuh beragam sayur mayur, bumbu dan buah-buahan. Beragam tanaman berjejer dan bertingkat, seperti etalase. Rapi dan tumbuh sehat. Sawi, bawang merah tumbuh segar di dalam pot botol bekas. Di bawahnya, kangkung dengan pucuk baru bermunculan karena baru saja dipetik tumbuh segar dalam botol bekas.
- Media tanam, pakai kotoran sapi yang sudah kering. Kotoran sapi itu dia dapat dari tetangga yang punya ternak sapi. Sedang pot botol bekas dan bak bekas dia kumpulkan ketika ada acara atau hajatan di tetangga. Karung juga bekas di dapur.
- Hayu Dyah Patria, ahli teknologi pangan dan pegiat tanaman liar menilai, cara tanam dan kreativitas mandiri pangan Ibu Kang cukup unik dan kreatif. Aksi Bu Kang berkontribusi dalam menekan krisis iklim. Inisiatif-inisiatif seperti itu, kalau banyak yang melakukan akan jadi aksi besar.
- Fajar Bambang Hirawan, peneliti Ketahanan Pangan dari Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan, ketahanan ekonomi perlu mulai dari lingkungan keluarga. Apa yang dilakukan Bu Kang, katanya, contoh konkret ketahanan ekonomi keluarga, terutama sektor pangan.
Hujan belum reda di Dusun Jinangka, Desa Teja Timur, Kecamatan Pamekasan, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, penghujung November lalu. Di pekarangan rumah Siti Ruqayyah, tampak hijau, penuh beragam sayur mayur, bumbu dan buah-buahan.
Beragam tanaman berjejer dan bertingkat, seperti etalase. Rapi dan tumbuh sehat. Sawi, bawang merah tumbuh segar di dalam pot botol bekas. Di bawahnya, kangkung dengan pucuk baru bermunculan karena baru saja dipetik tumbuh segar dalam botol bekas.
Sayur mayur itu menempel di rumah belakang tetangga yang tepat di halaman depan rumah Ibu Kang, begitu sapaan akrabnya. Rumah Ibu Kang sengaja dibangun menghadap gedung rumah tetangga, karena lahan terbatas. Beragam tanaman itu dia tempelkan persis di belakang rumah tetangga, tentu seizin pemilik.
Ada jahe dan kunyit segar dalam pot dari bak bekas. Di sebelahnya, terong setinggi lutut tumbuh segar dalam karung bekas. Di bagian lain, dua pohon lemon rimbun dan batang tegak dengan tinggi nyaris sama, sekitar 1,5 meter. Di bawahnya, tomat dan bayam baru tumbuh dalam pot bak bekas.
Pada bagian lain, nampak serai subur dan cabai dengan daun keriting, sebagian ranting patah. Puluhan kacang panjang nampak menjalar sambung menyambung satu sama lain dan melilit di tiang pembantu terbuat dari bilahan bambu. Beberapa nampak berbunga dan muncul bakal buah. Sedang di pojok kanan teras rumahnya, tanaman mentimun baru tumbuh di dalam karung bekas.
“Sebenarnya hanya ingin punya tanaman buat dimakan keluarga. Misal, butuh sayur seperti sawi, bayam, tomat dan lain-lain bisa ambil di depan rumah. Lumayan kan, gak harus selalu ke pasar,” kata Kang, kala itu.
Ibu dua anak itu cerita, bibit terong, jahe, jambu, kunyit, lemon, tomat, cabai, kacang panjang, bawang merah hasil semai sendiri. Dia ambil biji dari sisa konsumsi di dapur. Begitu juga, dia ambil batang sisa konsumsi. Sawi, dia minta biji ke saudaranya.
Media tanam, katanya, pakai kotoran sapi yang sudah kering. Kotoran sapi itu dia dapat dari tetangga yang punya ternak sapi. Sedang pot botol bekas dan bak bekas dia kumpulkan ketika ada acara atau hajatan di tetangga. Karung juga bekas di dapur.
Ide menanam sayur dan buah ini muncul beberapa bulan lalu setelah menonton di YouTube. “Saya ibu rumah tangga biasa. Kerjaan saya menjahit. Di sela-sela istirahat ada waktu senggang, saya nonton YouTube buat hiburan. Eh, ketemu akun yang ada video cara tanam di halaman rumah terbatas dan media tanam bukan tanah tetapi kotoran sapi. Saya coba. Itu hasilnya.”
Untuk lemon, katanya sengaja tidak tanam di dalam pot karena khawatir tak kuat menahan akar. Apalagi, tanaman itu perlu waktu lebih lama berbuah daripada sayur dan bumbu.
“Lumayan, kalau hanya untuk masak sayur buat makan keluarga, gak perlu ke pasar lagi untuk beli sayur. Kalau butuh sayur selain apa yang saya tanam ini, ya beli. Untuk beras, saya beli,” katanya.
Tanaman hasil Kang tidak hanya dinikmati sendiri. Dia juga memberikan pada keluarga dan tetanggan untuk mengambilnya sendiri secukupnya.
“Alhamdulillah, kangkung dan sawi ini sudah beberapa kali panen. Tetangga dan saudara dekat sini sudah ada yang ambil secukupnya di sini,” katanya.
Rodhifah, saudara Kang beberapa kali panen sawi dan kangkung di kebun mini Kang. “Senang bisa dapat sayur pas main. Lumayan enak juga karena organik.”
Menurut dia, cara tanam Kang cukup unik. Biasa orang tanam ke tanah atau setidaknya media tanam pakai tanah, meski dalam pot. Dia akan mencoba meniru Kang. Tanam sayur sendiri di pekarangan rumah, meski media tanam tidak harus pakai kotoran sapi seperti Kang.
Lailatul Ainiyah, tetangga Kang merasa terinspirasi setelah tahu apa yang dilakukan Kang. “Ini bagus, rapi juga lihatnya. Enak ya, bisa ambil sayur secukupnya untuk sekali masak. Jadi, tak akan ada sayur menginap di dapur.”
Ikut menjaga iklim
Hayu Dyah Patria, ahli teknologi pangan dan pegiat tanaman liar menilai, cara tanam dan kreativitas mandiri pangan Ibu Kang cukup unik dan kreatif. “Ini ide luar biasa dan unik. Kang kreatif dalam memanfaatkan sampah di dapur dan di rumah. Sampah baginya bukan serta-merta menjadi barang tidak berguna yang dibuang begitu saja. Kang membuktikan, sampah itu berguna,” katanya, November lalu.
Dalam skala kecil di rumah tangga, kata Hayu, Kang sudah menerapkan konsep circular economy atau ekonomi sirkular. Tak ada sesuatu yang terbuang sia-sia, semua memiliki nilai bahkan untuk sampah. Yang dilakukan Ibu Kang ini, katanya, juga model praktik kemandirian pangan dan kedaulatan pangan skala terkecil, yakni, rumah tangga.
Hayu bisa membayangkan Kang tak bingung mau bikin sayur apa karena sebagian sudah terpenuhi dari pekarangan. Dia juga sekaligus merestorasi tanah dengan memanfaatkan kotoran sapi untuk tanaman.
Kalau mengaitkan dengan isu iklim, katanya, yang dilakukan Kang merupakan aksi nyata mengatasi perubahan iklim dengan merawat keragaman hayati, memanfaatkan sampah dan menekan polusi.
Mungkin Bu Kang tak menyadari kalau aksinya berkontribusi dalam menekan krisis iklim. Inisiatif-inisiatif seperti itu, kalau banyak yang melakukan akan jadi aksi besar.
Fajar Bambang Hirawan, peneliti Ketahanan Pangan dari Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan, ketahanan ekonomi perlu mulai dari lingkungan keluarga. Apa yang dilakukan Bu Kang, katanya, contoh konkret ketahanan ekonomi keluarga, terutama sektor pangan.
“Bu Kang dapat dikategorikan mandiri pangan karena memiliki kemampuan dalam memproduksi pangan bervariasi dan menjamin pemenuhan kebutuhan pangan bagi diri dan keluarga,” katanya.
Penggunaan media tanam dengan kotoran sapi, katanya, menunjukkan Kang berupaya meminimalisir atau tak pakai bahan kimia dalam menghasilkan produk tanaman atau bahan pangan hingga ramah alam atau organik.
Penggunaan botol bekas, bak bekas dan karung, katanya, sejalan dengan upaya mengembangkan ekonomi sirkuler dengan memanfaatkan barang bekas di lingkungan sekitar, khusus rumah tangga.
Menurut dia, kemandirian pangan harus mulai dari lingkungan keluarga. “Jika memungkinkan saya justru mendorong semua orang mandiri pangan. Informasi dan pengetahuan yang cukup terkait kemandirian pangan sangat diperlukan.”
Sosialisasi terkait pentingnya mandiri pangan dan ekonomi sirkuler, katanya, perlu massif oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah. Kolaborasi antara komunitas masyarakat dan pemerintah daerah perlu untuk merealisasikan kemandirian pangan.
*****
Foto utama: Bu Kang, memetik sawi di tepi rumahnya. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia