COP-26 yang baru berakhir sebulan yang lalu menegaskan kembali perlunya menjaga agar kenaikan temperatur bumi tidak melebihi 1,50 Celcius dibandingkan suhu bumi rata-rata sebelum revolusi industri abad 18. Untuk pertama kalinya dalam sejarah COP, hasil riset ilmiah dijadikan patokan utama dalam mengambil keputusan Para Pihak.
Menurut laporan resmi komunitas pakar perubahan iklim yang tergabung dalam Inter-govermental Panel on Climate Change (IPCC), lambat atau cepat bencana iklim yang lebih hebat akan terjadi di berbagai belahan dunia bila kita tidak bisa menahan laju kenaikan suhu bumi di atas 1,50 celcius.
Untuk menjaga agar target 1,5°C tetap hidup, separuh emisi global pada tahun 2030 harus dipangkas untuk mencapai emisi nol bersih pada pertengahan abad ini (2050). Kunci untuk mencapai target ini adalah Agenda Terobosan, yang diinisiasi Inggris (tuan rumah COP26) dan diamini oleh 42 pemimpin dunia, yang secara kolektif mewakili 70% dari PDB global.
Agenda Terobosan yang disebut The Glasgow Breakthrough adalah rencana teknologi bersih global yang belum pernah ada sebelumnya untuk membantu menjaga agar 1,5° celcius tetap berada dalam jangkauan semua pihak. Kunci utamanya adalah keberhasilan pelaksanaan transfer teknologi dari negara maju kepada negara berkembang.
baca : COP26 dan Urusan yang Belum Rampung untuk Masa Depan Bumi
Transfer Teknologi
Pengembangkan transfer teknologi untuk mendukung aksi nasional terhadap perubahan iklim telah menjadi elemen penting sejak awal proses pembentukan Konvensi PBB Tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change –UNFCCC) pada tahun 1992. Konvensi yang mengandung 26 pasal itu layaknya dipandang sebagai ‘undang-undang’ yang harus diikuti dan menjadi batu pijakan dalam setiap perundingan perubahan iklim global, dimana masalah transfer teknologi tercantum dalam Pasal 4 paragraf 1 dan paragraf 5 UNFCCC.
Pasal 4 paragraf 1 dan 5 UNFCCC menyatakan bahwa semua Pihak harus memperkenalkan dan mempromosikan serta bekerja sama dalam pengembangan dan alih teknologi pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kemudian dinyatakan bahwa Konvensi mendesak negara maju untuk mengambil semua langkah praktis untuk mempromosikan, memfasilitasi dan membiayai transfer, atau akses ke teknologi iklim kepada Pihak lain, terutama ke negara berkembang. Lebih lanjut, Konvensi menyatakan bahwa efektifitas transfer teknologi akan sangat bergantung pada komitmen negara maju dalam hal pendanaan untuk transfer teknologi.
Dalam kenyataannya, teknologi transfer banyak mengalami hambatan. Salah satu penghalangnya adalah seberapa besar keinginan negara-negara kaya untuk mentransfer teknologi bersihnya kepada negara-negara berkembang? Keraguan mereka diduga karena adanya kompetisi dan kekhawatiran untuk mengembangkan dan mendominasi teknologi utama di abad ke-21 ini.
Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah industri panel surya Jerman. Dengan bantuan subsidi negara, pabrikan Jerman pernah menguasai 20% pasar panel tenaga surya dunia. Akan tetapi setelah China meningkatkan produksi panel suryanya, dan harga panel jatuh, solar Jerman mengalami gelombang kebangkrutan di awal tahun 2010-an.
baca juga : Kesepakatan Article 6 Perjanjian Paris pada COP26: Gembira Tapi Tidak Bahagia
The Glasgow Breakthrough
COP-26 telah menghasilkan apa yang disebut dengan “Glasgow Breakthroughs”, yaitu serangkaian kesepakatan antar negara maju dan negara berkembang untuk secara cepat meningkatkan teknologi bersih di lima sektor yang secara kolektif mencakup lebih dari 50% emisi global. Yang pertama disebut “Daya”. Yang dimaksud di sini adalah alternatif sumber daya energi yang bersih dan menjadi pilihan paling terjangkau dan menjadi andalan bagi semua negara untuk memenuhi kebutuhan energi dunia secara efisien pada tahun 2030.
Yang kedua adalah “Transportasi Darat”. Kendaraan tanpa emisi adalah hal yang akan menjadi keniscayaan di masa depan. Kendaraan semacam ini harus dapat diakses, terjangkau, dan berkelanjutan di semua negara pada tahun 2030. Yang ketiga adalah “Baja”. Industri baja tanpa emisi atau mendekati nol emisi adalah pilihan yang lebih diminati di pasar global melalui penggunaan produk baja yang lebih efisien di setiap negara pada tahun 2030.
Yang ke empat adalah “Hidrogen”. Gas Hidrogen yang dimaksudkan adalah yang bisa terbarukan, yang terjangkau dan rendah karbon. Diharapkan gas hidrogen semacam ini tersedia secara global pada tahun 2030. Yang ke lima adalah “Pertanian”. Praktek praktek pertanian yang cerdas, tahan iklim dan berkelanjutan adalah pilihan yang paling menarik dan diadopsi secara luas oleh para petani di mana pun pada tahun 2030.
Bagaimanapun bagusnya rumusan lima agenda ini, Terobosan Glasgow hanyalah harapan Para Pihak untuk bisa terwujud pada tahun 2030, dan untuk mewujudkannya diperlukan antara lain investasi teknologi dan inovasi. Para Pihak mengharapkan terjalinnya kerjasama yang lebih kuat antara pemerintah dan pelaku bisnis melalui berbagai inisiatif nasional dan internasional untuk memacu proses transfer teknologi dan inovasi serta meningkatkan industri hijau. Ini termasuk, misalnya, merangsang investasi hijau melalui kebijakan insentif dan sinyal kuat kepada industri tentang ekonomi masa depan, menyelaraskan kebijakan dan standar, meningkatkan upaya R&D, mengoordinasikan investasi publik dan memobilisasi keuangan non APBN, khususnya di negara-negara berkembang.
baca juga : Catatan Pasca COP26: Membaca Arah Skema Energi Nasional Indonesia
Apa yang bisa kita lakukan?
Dari perspektif perubahan iklim, Indonesia dengan luas wilayah dan letaknya yang strategis, dinilai sangat penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Dengan kekayaan sumberdaya alam berupa hutan, energi dan mineral, laut, gambut dan mangrove, potensi serapan dan simpanan karbon Indonesia amat luar biasa. Kontribusi Indonesia sangat diharapkan untuk turut serta menyelesaikan solusi perubahan iklim global, khususnya dalam mengejar target Paris Agreement.
Namun demikian harapan ini hanya akan terwujud dengan komitmen yang kuat, dukungan pendanaan dan SDM yang memadai. Peran negara maju untuk melaksanakan transfer teknologi yang efisien, murah dan berkelanjutan seperti yang dibingkai dalam Artikel 4 UNFCCC amatlah diperlukan untuk melaksanakan Agenda Terobosan ini.
Tahun 2030 sudah di depan mata, dan pekerjaan rumah dari Glasgow perlu segera diselesaikan. Indonesia National Determined Contribution (NDC) perlu dikaji ulang, bukan hanya untuk meningkatkan ambisi reduksi emisi gas rumah kaca, tapi juga untuk disinkronkan dengan lima agenda terobosan Glasgow. Secara simultan agenda terobosan ini perlu diintegrasikan dan disinkronisasikan dengan rencana pembangunan yang sudah/sedang berjalan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Karena terobosan Glasgow ini menekankan kerjasama teknologi antara pemerintah dan pelaku bisnis, maka dibutuhkan strategic road map sampai tahun 2030 dan setelahnya. Diperlukan komitmen yang tinggi paling tidak dalam rencana pembangunan nasional jangka pendek, menengah dan jangka panjang dengan memperhitungkan aspek aspek sosial, politik dan ekonomi. Dukungan infra struktur, sumberdaya manusia dan finansial sudah pasti diperlukan, namun lagi-lagi dituntut dua hal penting sebagai prakondisi untuk mewujudkan harapan ini, yaitu kepemimpinan (leadership) dan tata kelola yang baik (good governance). Semoga …
*Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau, Pengamat Perubahan Iklim, UNITAR Climate Change Ambassador