- Pasar perikanan dunia makin menuntut produk dari laut ke meja makan yang mudah ditelusuri
- Ketelusuran ini meliputi banyak aspek seperti alat tangkap, jumlah yang ditangkap, tangkapan sampingan, dan lainnya.
- Indonesia adalah salah satu produsen tuna, cakalang, dan tongkol terbesar di dunia, namun belum jadi eksportir utama.
- Salah satu wacana pengelolaan perikanan adalah terukur. Hal ini jadi bahasan Pertemuan Regional Komite Pengelola Bersama Perikanan (KPBP) Tuna ke-3 di Jakarta. Bagaimana ini diimplementasikan?
Indonesia menjadi produsen tuna terbesar, namun belum menjadi eksportir utama. Sejumlah pihak memastikan pasar global makin mewajibkan syarat penangkapan tuna yang ekologis. Bisa ditelusuri dan tidak mengorbankan satwa laut dilindungi.
Hal ini menjadi salah satu bahasan utama dalam Pertemuan Regional Komite Pengelola Bersama Perikanan (KPBP) Tuna ke-3 di Jakarta pada 15 Desember 2021 oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) dan Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI).
Direktur Eksekutif Yayasan MDPI Saut Tampubolon mengingatkan alasan terbentuknya KPBP. Jaringan ini mengelola wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 713, 714, dan 715 yang memegang peranan penting perikanan tuna Indonesia. Rata-rata produksi 3 jenis Cakalang, Yellow Fin Tuna, 2000-2010 sebanyak 425 ribu ton, 75% di antaranya diperoleh di 3 WPP itu. Sisanya di 716 dan 717. Pada 2020 produksi bertumbuh, jumlahnya menjadi 515 ribu ton, meningkat sampai 82%.
Menurut Saut, walau produksi naik tapi juga ancaman karena orientasi perikanan tuna ke dalam. Karena itu ia menilai pentingnya pengelolaan di WPP ini untuk keberlanjutan perikanan. Komite ini jadi platform stakeholder di tingkat provinsi Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat untuk mendiskusikan isu dan berbagi informasi.
“Misalnya isu tren ukuran hasil tangkapan, BBM bersubsidi, dan lainnya,” lanjut Saut. Pertemuan komite dihelat reguler dua kali setahun dengan pencapaian akselerasi Pas kecil untuk nelayan kecil, registrasi e-Kusuka sekitar 1023 nelayan, dan pendataan tuna. “Data yang paling baik adalah tentang tuna,” imbuhnya. Hal lain yang dibahas adalah sertifikasi MSC, dan lainnya.
baca : Dilema Nelayan Jambula : Tangkapan Ikan Tuna Makin Kecil dan Menjauh
Tantangan persyaratan pasar ekspor produk tuna adalah isu lingkungan seperti ketelusurannya. Hal ini dibahas sejumlah pihak termasuk unit pengolahan ikan atau eksportir tuna. Koordinator Pemetaan dan Akses Pasar Luar Negeri Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Jaya Wijaya memaparkan potensi Indonesia dalam perikanan tuna saat ini. Produksi tuna, cakalang, tongkol (TCT) global 2010-2019 menurut Badan Pangan Dunia FAO mencatat Indonesia adalah produsen utama TCT dunia dengan kontribusi 15% disusul Filipina 7%, Vietnam 6,6%, dan Ekuador 6%.
Produksi Indonesia naik rata-rata 3,6% lebih tinggi dari rerata global 3,4%. Total produksi TCT dunia pada 2019 sebesar 6,6 juta ton. Produksi tuna terbesar dari Indonesia adalah yellow fin tuna. Permintaan tuna dunia 2020 senilai 14,4 milyar USD.
Pada 2020 terjadi penurunan ekspor produk perikanan sekitar 7% dibanding 2019. Indonesia peringkat 8 negara eksportir produk perikanan global pada 2020 setelah China. “Ini adalah salah satu komoditas pangan yang paling banyak diperdagangkan,” kata Jaya.
Eksportir terbesar tuna adalah Thailand, China, Spanyol, Ekuador. Walau produsen tuna terbesar tapi Indonesia belum jadi eksportir terbesar. “Pentingnya hulu hilir agar daya saingnya terjaga dan originiting goods-nya dari Indonesia,” ujarnya. Importir terbesar Amerika Serikat.
Ekspor Indonesia didominasi tuna kaleng dan beku, sisanya tuna segar dan dingin. Nilai tambahnya cukup besar. Unit pengolahan ikan dan eksportir di Indonesia lebih 300 untuk tuna, tongkol, cakalang.
Tantangan pertama dalam pasar ekspor saat ini adalah pengenaan tarif tinggi di atas 15% dan tarif produk olahan di atas tarif bahan baku di negara tujuan ekspor. Persyaratan pun semakin ketat, meliputi standar mutu, sustainablitity, traceabiity, non illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing, etik, termasuk penggunaan rumpon dengan bahan tidak membahayakan mamalia laut. Ada juga disrupsi perputaran kontainer berpendingin, penggunaan jadwal pelayaran dan jumlah armada Main Line Operator (MLO), dan ketidakpastian kuota space kontainer. “Biaya kontainer makin tinggi,” sebut Jaya.
baca juga : Bisakah Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol Dikelola dengan Berkelanjutan?
Kebanyakan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, lalu Jepang, dan kawasan Uni Eropa. Tantangannya berbeda-beda tergantung tujuan ekspor. Hambatan beberapa tarif bea masuk tuna-cakalang ke ke beberapa tujuan ekspor menurutnya masih tinggi. “Ada juga sayarat maksimal konten kontaminan, mutu dan tarif sangat berperan di Uni Eropa. Perundingan tarif masih dilakukan, semoga tarif nol agar meningkat daya saingnya,” harapnya.
Tarif tuna kaleng ke Jepang sampai 9% juga termasuk tinggi, masih dirundingkan. Tarif Amerika Serikat secara uni literal nol, kecuali tuna olahan 6-35% dan tuna in oil 35%. Kebanyakan bentuknya tuna beku. Persyaratan untuk non tarif ini menurutnya sangat tinggi, misalnya seafood monitoring program harus dipenuhi. Juga aspek marine and mamalia sustainability. Negara-negara eksportir diharapkan punya regulasi efektif untuk mengurangi kematian mamalia laut per 2023.
Isu baru yang harus dipatuhi adalah green deal, pengurangan emisi green house di bawah 5%, termasuk isu perubahan iklim. Jaya mengingatkan bisa jadi syarat turunannya memunculkan hambatan. Ketelusuran juga bagian penting, dibuktikan dengan sertifikasi. Selain kewajiban mengurangi dampak tangkapan sampingan atau by-catch.
Kendala peningkatan ekspor
Sarah Hutapea, perwakilan PT Harta Samudera, perusahaan pengolahan ikan dan eksportir yang berlokasi di Ambon mengatakan sudah kerjasama dengan MDPI untuk mengusahakan tuna fair trade. Perusahaan ini ekspor ke Amerika Serikat dan memiliki 4 pengolahan ikan di Ambon, Pulau Buru, Banda, dan Morotai. Memiliki mitra nelayan lebih dari 1000, dan tujuan ekspor ke Vietnam (diproses) dan Amerika.
“Aspek penting adalah kualitas, legalitas, dan tanggung jawab,” katanya. Ikan yang dijual harus memiliki sertifikat mutu Sertifikat Kelayakan Pengolahan, Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), dan British Retail Consortium (BRC). Karena itu ada pelatihan penanganan ikan mulai dari nelayan sampai ke pekerja pabrik.
Terkait aspek legalitas, sesuai ketentuan UU, dan bisa ditelusuri dengan indikator Seafood Import Monitoring Program (SIMP) berisi data nelayan dan ikan. Berikutnya detail data ikan didaratkan di suatu pulau per hari, nama suplier, daerah penangkapan ikan, dan berat hasil (Seagate), serta Surat Keterangan Pendaratan Ikan (SKPI) berisi data ikan, alat tangkap, dan lainnya.
baca juga : Potensi Besar Ekspor Tuna dari Sumatera Barat
Berikutnya aspek tanggungjawab. Sarah mengatakan perusahaan tak bisa lagi hanya memikirkan keuntungan tapi menjaga kelestarian laut sebagai sumber bahan baku. Dibuktikan dengan syarat sertifikasi ecolabel antara lain tidak menangkap lumba-lumba atau Dolphin Safe, sertifikasi Fair Trade USA, dan Marine Steward Council (MSC). Pada 2014, pihaknya mendapat sertifikat fair trade tuna pertama di dunia dan MSC bekerjasama dengan Yayasan MDPI.
“Konsumen ingin konsumsi dari penanganan yang benar. Aspek sosialnya meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pekerja,” tambahnya. Hal lain adalah keselamatan dan kesehatan dalam bekerja, dan tidak mempekerjakan anak. Karena itu setiap tahun ada audit sosial SMETA. “Jika ketiga syarat tidak dipenuhi, tak bisa menjual ikan ke Amerika,” sebut Sarah.
Untuk memenuhi keseluruhan syarat ketat itu, ia berharap pemerintah mendampingi nelayan kecil yang kesulitan memenuhi administrasi. Ia mencontohkan kapal nelayan harus berizin tapi peraturan sering berubah. Misal harus dilengkapi NPWP dan Nomor Induk Berusaha (NIB). Menurutnya pemerintah harus turun membantu karena jumlah nelayan banyak. Demikian juga di tingkat suplier untuk penanganan ikan yang baik dan membutuhkan NPWP dan NIB.
Yulius dari PT Pahala Bahari Nusantara menyampaikan tantangan ekspor ke Uni Eropa. Perusahaan ini berlokasi di Cikarang, Jawa Barat. Kapasitas produksi 200 MT/hari. Produk utamanya cooked loin. Pabrik ini juga mengolah bagian ikan tak terpakai jadi fish oil, ekstrak, dan lainnya yang digunakan pabrik.
“Kebutuhan pasar Uni Eropa lebih memilih produk setengah jadi karena tenaga kerja mahal. Permintaan ikan standar kualitas tinggi,” kata Yulius. Tantangan pasar di antaranya kebutuhan sertifikasi dan keberlanjutan seperti Kosher, BRC, HAACP, FMP, Fair trade, dan lainnya. Ketelusuran yang banyak diminta datanya seperti data ikan dan dokumen pendukungnya. Data kapal perikanan juga ditelusuri legalitasnya, mulai menangkap ikan, bongkar, sampai masuk cold storage, dan dikirim ke pabrik Pahala, sampai ekspor.
Kendala yang dihadapi adalah EU Number, beberapa perusahaan belum diberikan otoritas Eropa. Berikutnya import duty, harus bayar, dan perusahaan Indonesia masih sulit bersaing dengan free duty seperti Filipina. Kendala lain adalah tingginya harga freight, dulu biaya satu kontainer 3000 USD, sekarang 15.000 USD. Ini belum menjamin space kontainer.
baca juga : Pengelolaan Stok Tuna Berkelanjutan Berbuah Sertifikat MSC
Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono yang membuka pertemuan ini mengatakan pentingnya ekonomi biru dalam pengelolaan laut. Salah satu program penangkapan ikan terukur adalah ingin membawa perikanan ke era baru yang lebih berkelanjutan. Saat ini pengaturan perizinan kapal. Menurutnya pengelolaan belum optimal, karena harus mengubah input ke output control dengan sistem kuota agar sesuai daya dukungnya. Diharapkan angka produksi terukur, mengakibatkan efek multiplier, serta ada batasan penangkapan sebagai ketahanan ekosistem dan kesejahteraan nelayan.
Indonesia disebut memasok lebih dari 20% cakalang, tongkol, dan tuna dunia, karena itu harus memajukan nelayan dan memastikan laut sehat. “Komite ini harus berkolaborasi mengawal kebijakan perikanan terukur. Mewujudkan Indonesia sebagai produsen utama dunia,” harapnya.
Keterangan foto utama : Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia