Buku : Merebut Laut: Kontestasi Wacana Lingkungan dan Tambang di Belitung Timur Penulis : Eko Bagus Sholihin Tebal : xl + 288 hlm; 15 x 21 cm Tahun Terbit : 1 Desember 2021 Penerbit : PolGov ISBN : 978-602-53626-3-7
**
Setelah daratan di Kepulauan Bangka Belitung dikeruk pasir timahnya selama ratusan tahun, kini giliran pasir timah di perairan sekitar dua pulau tersebut digarap. Bagaimana sikap masyarakat di Pulau Belitung?
Eko Bagus Sholihin coba menjelaskannya dalam buku “Merebut Laut: Kontestasi Wacana Lingkungan dan Tambang di Belitung Timur” yang diluncurkan pada Selasa [14/12/2021].
Buku ini memaparkan wacana tentang lingkungan hidup yang berhasil memunculkan dan memperkuat solidaritas sosial masyarakat di Pulau Belitung, dalam menjaga laut dari rencana penambangan timah offshore.
“Sampai hari ini, laut di Pulau Belitung belum tersentuh penambangan timah berskala besar. Meskipun, di wilayah daratan terjadi penambangan timah liar,” kata Eko Bagus Sholihin, yang tercatat sebagai pengajar di UIN Raden Fatah Palembang, kepada Mongabay Indonesia.
Baca: Lampung dan Masa Depan Sumatera: Catatan Menjaga “Kemerdekaan” Alam Indonesia
Timah untuk siapa?
Diuraikan Eko dalam bukunya, pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Di Pulau Belitung, eksploitasi pertama secara resmi dimulai pada 1852 oleh perusahaan swasta Belanda. Eksploitasi ini menyusul di Pulau Bangka.
Sejarah panjang pertambangan timah, membuat kedua pulau tersebut dikenal sebagai “pulau timah”. Dibandingkan sejarah peradaban baharinya. Disebutkan, Pulau Bangka dan Belitung merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia. Rata-rata, produksi timah Bangka Belitung adalah 70-90 ribu metrik ton per tahun yang berkontribusi sekitar 30 persen dari total produksi timah dunia.
International Tin Research Institute menyebutkan, total produksi timah Indonesia pada 2008-2013 mencapai 593 ribu ton. Pada 2018, Indonesia telah mengekspor timah ke 26 negara tujuan dengan total transaksi mencapai USD 1,5 miliar.
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat ekspor timah pada Juni 2020 meningkat hingga 51,96 persen. Permintaan atas timah masih berpotensi untuk meningkat seiring dengan meningkatnya industri elektronik dunia.
Lalu, timah tersebut untuk siapa? Rezim tata kelola pertambangan di bawah pemerintah kolonial Belanda hingga pemerintahan Orde Baru bersifat esklusif dan sentralistis, serta tidak pernah benar-benar memberikan akses langsung kepada masyarakat untuk melakukan penambangan timah.
Tin reglement di bawah pemerintah kolonial Belanda mengatur bahwa timah adalah komoditas strategis sehingga pengelolaannya secara esklusif dilakukan negara. Ini sama seperti UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan [Orde Baru], juga menempatkan timah sebagai komoditas timah hanya bisa diekstraksi negara melalui BUMN dan perusahaan swasta melalui skema kontrak karya.
Di bawah rezim tata kelola yang sentralistis, timah menjadi penggerak utama perekonomian di Kepulauan Bangka Belitung. Misalnya, pada era Orde Baru, PT. Timah memiliki kedigdayaan ekonomi dan kekuasaan politik yang besar setelah mereka mampu membuat “negara di dalam negara”. Artinya, perusahaan mampu menyediakan fasilitas publik yang biasanya disediakan negara, seperti jalan raya, pemukiman, fasilitas pendidikan, rumah sakit, hingga berbagai bentuk jaminan sosial dan kesejahteraan bagi para warga pekerja timah.
Baca: Ekosofi, Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia
Pada 1994, diinformasikan produksi timah di Pulau Belitung tidak lagi ekonomis untuk ditambang dalam skala perusahaan. PT. Timah kemudian melakukan restrukturisasi besar-besaran. Sekitar 50% pekerja lokal [Belitung] menganggur. Perekonomian di Belitung menurun signifikan.
Selama masa kolonial Belanda hingga Orde Baru, pertambangan timah tidak pernah [benar-benar] membawa manfaat bagi warga lokal di sekitar wilayah produksi timah. Seperti di Manggar, Gantung, Kelapa Kampit, Tanjungpandan, dan Sijuk. Selama penambangan berlangsung, masyarakat hidup bergantung pada lada dan laut. Baru setelah reformasi 1998, mereka turut menambang timah atau tambang ilegal.
“Model penambangan timah yang tidak ramah lingkungan juga menempatkan Kepulauan Bangka Belitung menempati urutan tertinggi dengan kondisi lahan rusak dan kondisi kritis atau sangat kritis, yakni mencapai 1.053.253 hektar atau mencapai 62 persen dari luas daratan Bangka Belitung. Secara lebih spesifik, data BPS menunjukkan lahan kritis [agak kritis, kritis dan sangat kritis] mencapai 242 ribu hektar di Belitung Timur dan 179 ribu hektar di Kabupaten Belitung,” tulis Eko dalam bukunya.
Baca juga: Buku: Doni dan Catatan Kisahnya buat Jaga Alam Indonesia
Menolak penambangan di laut
Bagi masyarakat Belitung, laut memiliki dua nilai, yakni ekonomi dan identitas sosio-kultural. Nilai-nilai ini yang membuat mereka menolak adanya penambangan timah di luat.
Dituliskan Eko, berdasarkan data BPS tahun 2018, laut Belitung menyumbang mayoritas produisi ikan di Kepulauan Bangka Belitung. Produksi ikan di Belitung, dari 2001- 2016 menghasilkan 1,2 juta ton atau 55 persen produisi ikan Kepulauan Bangka Belitung sebesar 2,2 juta ton. Pada 2015, Stasiun Karantina Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan potensi hasil laut di Beltung mencapai Rp600 miliar per tahun.
Sejak booming film “Laskar Pelangi” pada 2008, perkembangan pariwisata meningkat di Pulau Belitung. Pada 2017, PAD [Pendapatan Asli Daerah] Kabupaten Belitung mencapai Rp193 miliar, mengalami kenaikan 41 persen dari tahun 2016, sebesar Rp136 miliar. Kenaikan tersebut sejalan naiknya kunjungan wisatawan yang meningkat hingga 500 persen dalam kurun waktu 10 tahun [2008-2018].
Sebagai identitas sosio kultural, laut sejak lama menjadi ruang publik [interaksi sosial]. Sebelum dikomodifikasi, setiap desa memiliki pantai, sebagai ruang interaksi sosial. Relasi sosial terbentuk karena laut bagi masyarakat Belitung harus dijaga karena terkait dengan tradisi maupun kepercayaan. Misalnya upacara Buang Jong. Riitual adat yang bertujuan memohon perlindungan dari dewa laut [Tuhan] agar mendapat dilimpahkan rezeki dari laut, dan terhindar dari bencana selama di laut.
Secara kultural, pemimpin informal dalam urusan laut dipegang seorang dukun laut, yang memegang posisi sebagai medium antara wara lokal dengan makhluk supranatural yang menjaga laut. Peran dukun laut memiliki legitimasi sosial yang kuat di kalangan masyarakat. Bahkan, masyarakat lebih patuh larangan melaut yang disampaikan dukun dibandingkan pemerintah.
“Hubungan ekonomi-sosio-kultural yang kuat inilah yang membuat kuatnya solidaritas sosial masyarakat Belitung dalam menolak tambang laut, hal yang tidak terjadi pada era pertambangan darat,” kata Eko.
Selain itu, perairan atau laut di sekitar Pulau Bangka sudah banyak yang rusak akibat penambangan timah di laut. Dampaknya bukan hanya lingkungan, juga kehidupan masyarakatnya. Contoh tersebut kian menguatkan masyarakat di Pulau Belitung untuk menolak penambangan timah di laut.
Penambangan laut di Pulau Bangka menggunakan tiga metode; kapal keruk, kapal isap produksi, dan penambangan inkonvensional milik masyarakat lokal yang disebut tambang apung. Ketiga metode tersebut mengeruk dasar air laut guna mengangkat pasir dan timah di dasar laut ke atas kapal untuk dimurnikan.
Dampaknya, terjadi kerusakan biota di dasar laut. Kemudian pembuangan limbah menurunkan atau merusak kualitas air laut.
Menurut data KLHS [Kajian Lingkungan Hidup Strategis] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2013, terdapat 68 kapal isap produksi [KIP] milik PT. Timah dan 6 milik swasta, serta ribuan tambang apung yang mengelilingi Pulau Bangka.
Apa yang harus dilakukan?
Eko menuliskan, tata kelola kekayaan alam di Kepulauan Bangka Belitung yang bercorak liberal, tidak berkelanjutan, dan eksploitatif terbukti membawa “kutukan sumber daya alam”.
Kutukan pertama, dalam bentuk kerusakan lingkungan yang sangat memprihatinkan. Jika kita menjadi penumpang pesawat terbang tujuan Jakarta-Pangkal Pinang atau Jakarta-Tanjungpandan, sesaat sebelum mendarat kita akan melihat lubang-lubang bekas lubang tambang, yang dibiarkan menganga di hampir seantero pulau. Bekas tambang tersebut merupakan lahan kritis yang telah kehilangan fungsi ekologisnya.
Kutukan kedua, yakni kemiskinan serta konflik vertikal dan horizontal. Masyarakat tambang mampu menghasilkan banyak uang dalam waktu yang singkat, menyebabkan mereka menjadi konsumtif. Selanjutnya mereka kembali miskin karena tambang tidak berkelanjutan.
Tambang juga menimbulkan konflik horizontal dan vertikal, seperti yang lazim dan umum terjadi di daerah-daerah tambang lainnya di Indonesia.
Apa yang harus dilakukan?
“Perlu jalan tengah, yaitu tata kelola kekayaan alam yang inklusif dan berkelanjutan. Inklusif artinya pengelolaan melibatkan masukan dan partisipasi masyarakat dari akar rumput disertai dengan perangkat regulasi, serta tidak mengorbankan nilai-nilai keberlanjutan lingkungan. Sedangkan berkelanjutan artinya pengelolaan kekayaan alam tidak boleh mengorbankan keberlanjutan lingkungan, yang menjadi modal penting bagi kehidupan generasi mendatang di Kepulauan Bangka Belitung,”ujar Eko.
Nanang Indra Kurniawan, Pengajar pada Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL, UGM, dalam pengantar buku menuturkan, bagi dunia elektronik, timah merupakan barang vital yang memiliki beragam fungsi, salah satunya untuk merangkai berbagai komponen perangkat elektronik.
“Tidak heran, jika pengimpor timah Indonesia kebanyakan berasal dari negara-negara besar dengan tingkat perkembangan teknologi elektronik yang sangat maju, seperti Jepang dan Amerika.”
Kegunaan lain dari komoditas ini adalah dapat membentuk baja lebih fleksibel dan ringan, sehingga dapat lebih mudah digunakan di berbagai industri, seperti kesehatan, peralatan rumah tangga, dan otomotif.
Salah satu wilayah penghasil timah terbesar di Indonesia, terletak di bagian timur Pulau Sumatera dan secara geografis bersebelahan langsung dengan Provinsi Sumatera Selatan, tepatnya berada di Kepulauan Bangka Belitung.
“Hampir 95 persen, timah yang ditambang dan diproses di Indonesia berasal dari provinsi ini dengan pengusahaan penambangan paling besar dipegang oleh PT. Tambang Timah, Tbk,” jelasnya.
Dengan potensi kandungan timah yang luar biasa tersebut, pulau ini diyakini sebagai satu-satunya daerah penghasil timah di Indonesia dengan kapasitas produksi mencapai 120 ribu ton per tahun.
“Bagi masyarakat Belitung, timah sudah menjadi bagian penting dari identitas dan kultur masyarakat. Hal ini kemudian memengaruhi cara pandang mereka dalam melihat pekerjaan, sebagai sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari area tambang,” jelas Nanang.