- Perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Selatan [Sumsel] memiliki potensi besar, seiring target pemerintah menjadikan tanaman ini sebagai bahan baku utama Bahan Bakar Nabati (BBN).
- Hingga 2021, Kementerian Pertanian mencatat sekitar 1,2 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit di Sumsel, dengan pertumbuhan luas rata-rata diatas empat persen setiap tahun. Berdasarkan angka tersebut, Sumsel berada pada urutan ketiga provinsi di Sumatera yang memiliki luasan kebun kelapa sawit terbesar, sekaligus urutan keenam secara nasional.
- Musi Banyuasin (Muba) merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luasan wilayah perkebunan kelapa sawit terbesar di Sumsel. Pemkab Musi Banyuasin beberapa waktu lalu sempat menjadi sorotan setelah menjalin kerja sama dan nota kesepahaman dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) terkait rencana pembangunan pabrik biofuel. Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan petani agar mendapatkan manfaat dari proses hilirisasi yang dilakukan. Hanya saja, proses ini belum bisa berjalan.
- Ketimpangan terlihat jelas antara petani plasma dan petani swadaya (mandiri). Sebelum pandemi, Pemkab Musi Banyuasin berencana membuat kelompok tani yang diharapkan bisa menaungi mereka yang bertani mandiri. Hanya saja, rencana itu tidak berjalan.
Perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Selatan [Sumsel] memiliki potensi besar, seiring target pemerintah menjadikan tanaman ini sebagai bahan baku utama Bahan Bakar Nabati (BBN).
Hingga 2021, Kementerian Pertanian RI mencatat sekitar 1,2 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit di Sumsel, dengan pertumbuhan luas rata-rata diatas empat persen setiap tahun.
Berdasarkan angka tersebut, Sumsel berada pada urutan ketiga provinsi di Sumatera yang memiliki luasan kebun kelapa sawit terbesar, sekaligus urutan keenam secara nasional.
Hal tersebut seperti diungkapkan Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil (P2HP) Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian yang dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel, pertengahan Desember 2021.
“Peningkatan lahan maupun produksi belum terhitung, satu juta hektar lagi lahan kosong yang belum dimanfaatkan masyarakat,” jelasnya.
Sebab dalam beberapa tahun mendatang, Sumsel akan memiliki sekitar 3 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit, yang saat ini menurutnya sudah menyerap lebih dari 224 ribu petani (tenaga kerja).
Hanya saja, kontribusi perkebunan kelapa sawit terhadap PAD Sumsel secara keseluruhan belum bisa dianggap maksimal.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan kontribusi ini melalui berbagai upaya. Selain terus mendorong adanya Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan, Pemprov Sumsel juga menggencarkan program kemitraan antara pemda dan petani.
Apalagi saat ini, permintaan terhadap CPO sebagai hasil olahan sawit Sumsel mengalami peningkatan, sejalan aktivitas masyarakat yang mulai kembali pulih setelah dihantam pandemi.
“Dari sisi produktivitas, produksi Tandan Buah Segar (TBS) dan CPO Sumatera Selatan juga mulai meningkat, sejalan kemarau basah yang meningkatkan produktivitas serta bertambahnya luasan tanaman mature setelah replanting,” jelas Rudi.
Begitu juga dengan program kebijakan pengembangan BBN yang saat ini berlanjut, diperkirakan juga akan mendorong peningkatan kinerja industri pengolahan produk turunan kelapa sawit Sumsel. Meski, belum sepenuhnya bisa mencukupi kebutuhan akan permintaan BBN.
Sebab menurut Rudi, dari luas perkebunan kelapa sawit di Sumsel, baru sekitar 3,3 juta ton Crude Palm Oil (CPO), yang dianggap masih belum bisa memenuhi kebutuhan bahan baku B30.
“Saat ini saja belum mampu memenuhi kebutuhan hilirisasi produk kelapa sawit. Mulai kebutuhan rumah tangga, bahan baku make up, apalagi untuk bahan bakar B30,” kata Rudi.
Sehingga, salah satu cara yang dilakukan Dinas Perkebunan Sumsel adalah mendorong hilirisasi yang potensial, seperti rencana pembangunan pabrik biofuel yang dilakukan oleh Pemkab Musi Banyuasin.
Baca: Sekolah Kelapa Sawit Didirikan di Musi Banyuasin. Kenapa Bukan Pendidikan Konservasi Diutamakan?
Musi Banyuasin (Muba) merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luasan wilayah perkebunan kelapa sawit terbesar di Sumsel. Pemkab Musi Banyuasin beberapa waktu lalu sempat menjadi sorotan setelah menjalin kerja sama dan nota kesepahaman dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) terkait rencana pembangunan pabrik biofuel.
Dalam skenario pembangunan pabrik, sempat akan dimulai di kawasan Kecamatan Sungai Lilin. Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan petani agar mendapatkan manfaat dari proses hilirisasi yang dilakukan.
Hanya saja, proses ini belum bisa berjalan. Sejumlah kendala sosial ekonomi dan politik yang terjadi di Musi Banyuasin menjadi alasan.
Meskipun demikian, Pemkab Musi Banyuasin mengklaim sudah bisa memproduksi Industry Vegetable Oil (IVO) yang memenuhi standar untuk bahan bakar bensin sawit (bensat) dan avtur.
“Kabupaten Muba berkeinginan menjadikan pekebun sawit sejahtera, mandiri, berdaulat, dan berkelanjutan,” kata Sekda Kabupaten Musi Banyuasin, Apriadi mengutip statement Bupati Dodi Reza, awal Februari 2021 lalu.
Apriadi menjelaskan, Pemerintah Kabupaten Muba juga berupaya mendukung Program Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dengan mendeklarasikan Muba Sustainable Palm Oil Initiatif (MSPOI), melalui sejumlah rencana aksi.
Saat ini dikatakannya, Pemkab Muba berupaya mencegah deforestasi melalui moratorium izin baru dan peningkatan produktivitas dengan replanting. Ini merupakan perspektif lanskap melalui pendekatan satu kesatuan kawasan yang saling mempengaruhi dan memperhatikan area-area dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV).
Sehingga, petani sawit diharapkan tidak menggarap lahan gambut melalui moratorium izin kebun di lahan gambut dan restorasi lahan gambut dengan rewetting, revegetation, revitalization bersama BRG dan KLHK.
“Target kita tetap, untuk bagaimana pabrik mendekati rantai pasok, dengan berbagai keuntungan positif lain seperti meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi ongkos transportasi,” jelasnya.
Di sisi lain, lewat upaya ini, Pemkab Muba berupaya mengurangi risiko (mitigasi) kebakaran hutan dan lahan yang kerap terjadi di wilayah Sumsel.
“Terakhir, kami ingin pabrik mendekati rantai pasok sehingga meningkatkan pendapatan petani dengan pengurangan biaya transportasi dan mengurangi emisi kendaraan dengan jarak tempuh yang pendek,” ungkapnya.
Baca: Setelah Dirikan Sekolah Kelapa Sawit, Begini Rencana Pemerintah Musi Banyuasin Selanjutnya
Butuh peran aktif dan komitmen pemerintah
Tim Kantor Berita RMOLSumsel berkesempatan berbincang langsung dengan seorang petani sawit di Kabupaten Muba.
Mulyono, pria 31 tahun, yang telah tujuh tahun kembali ke kampung halamannya, Desa Bumi Kencana, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, memilih membantu orangtuanya mengurus kebun kelapa sawit seluas sekitar 5 hektar.
Diceritakannya, sebagian besar warga dan keluarganya merupakan transmigran era 70 dan 80-an, yang memulai kehidupan sebagai petani dan pekebun palawija di kawasan tersebut.
“Kalau sawit, baru masuk diatas tahun 2000-an. Semua mengalami pasang surut, sampai akhirnya masuk perusahaan dan mulai menghasilkan,” katanya.
Desa Bumi Kencana, dihuni sekitar 1.250 kepala keluarga. Sekitar 60 persen berprofesi sebagai petani sawit, sementara 40 persen merupakan petani karet dan berbagai tanaman produktif lain.
“Dari jumlah petani sawit itu, sebanyak 70 persen merupakan petani plasma yang tergabung dalam Koperasi Mukti Jaya yang terikat kontrak dengan PT. Berkah Sawit Sukamaju (BSS),” ungkapnya.
Mereka sedikit lebih beruntung dibandingkan petani mandiri. Sebab, proses yang dijalani selama sekitar 10 tahun kebelakang, menurut Mulyono, telah memberi manfaat signifikan.
Dulu, mereka yang tergabung dalam koperasi tersebut terikat kontrak dengan PT. Hindoli, salah satu perusahan besar di kawasan Musi Banyuasin.
Namun, pada 2017 kontrak itu habis, seiring menurunnya usia produktif sawit di kawasan tersebut. Sehingga pada 2018, dilakukan replanting melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang diresmikan langsung Presiden Joko Widodo.
Sejak saat itulah, lanjut Mulyono, petani mulai mendapat manfaat dan bisa mandiri. “Kalau dirunut, setelah penumbangan pada 2017, penanaman pada 2018, sebagian besar sudah mandiri dan menghasilkan,” katanya.
Beruntungnya Mulyono dan petani kelapa sawit lain yang tergabung dalam koperasi, mereka kerap mendapatkan pelatihan, bantuan subsidi pupuk, dan beragam program lain baik dari pemerintah daerah maupun perusahaan.
Dengan usia sekitar 42 bulan sampai saat ini, Mulyono sudah merasakan bagaimana tanaman sawit menghasilkan. Untuk tandan buah segar, rata-rata dalam satu hektar menghasilkan 200 kilogram di tahun 2020.
“Sekarang, dalam satu hektar sudah menghasilkan sekitar 1.200 hingga 1.300 kilogram dengan harga jual Rp2.900 perkilogram,” terang Mulyono.
Jumlah produksi dan harga jual ini tentu bisa bertambah seiring usia produktif sawit yang mencapai 25 tahun. Sementara ini, Mulyono cukup tenang untuk urusan ekonomi keluarganya.
Baca: Berbenah, Musi Banyuasin Ingin Jadi Laboratorium Ekologi, Ekonomi dan Budaya
Ketimpangan terlihat jelas antara petani plasma dan petani swadaya (mandiri) seperti yang diceritakan Mulyono. Padahal, sebelum pandemi, Pemkab Musi Banyuasin berencana membuat kelompok tani yang diharapkan bisa menaungi mereka yang bertani mandiri. Hanya saja, rencana itu tidak berjalan.
Mengutip salah satu penelitian yang dilakukan Ratnawati Nurkhoiry dan diterbitkan dalam International Journal of Oil Palm pada 2020 lalu, permasalahan yang dihadapi para petani saat pandemi adalah turunnya permintaan dan berimbas pada nilai jual.
Dalam penelitian itu juga disebutkan, turunnya permintaan dan harga jual membuat terjadinya perubahan dalam aktivitas para petani. Akibatnya, mereka melakukan efisiensi di berbagai sisi kehidupan dan cenderung tidak memprioritaskan kualitas produksi.
Hal ini juga dirasakan petani mandiri di kawasan Desa Bumi Kencana. Mereka yang tidak tergabung dalam kelompok tani, lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di masa pandemi ketimbang memprioritaskan produksi.
“Misalnya, kalau petani plasma melakukan pemupukan satu kali dalam tiga bulan, di masa pandemi ini mungkin mereka hanya satu kali setahun, sehingga produksinya tidak maksimal,” lanjut Mulyono.
Satu hal yang diharapkan adalah komitmen pemerintah menghadirkan pabrik sawit untuk masyarakat. Termasuk, pabrik biofuel yang digadang jadi yang pertama di Sumsel. Adanya pabrik, petani sawit di kawasan Desa Bumi Kencana akan ikut merasakan manfaatnya.
Selama ini, mereka menyebutnya dengan istilah ‘beli putus’. Petani hanya menjual TBS kepada perusahaan, atau tengkulak bagi petani mandiri. Hadirnya pabrik, petani berharap bisa mendapat nilai dan manfaat lebih dari sawit sebagai hasil proses hilirisasi.
“Selama ini yang kita tahu sawit hanya bisa jadi minyak goreng. Kalau dibuat bahan bakar, tentu kita berharap bisa dilibatkan agar semakin sejahtera,” ungkapnya.
Baca: Bukan Hanya Karet dan Sawit, Kabupaten Muba Juga Kembangkan Gambir
Kolaborasi menyejahterakan petani sawit
Pada 2020 lalu, kebun sawit rakyat berkontribusi sekitar 33 persen dari total produksi nasional sebanyak 48 juta ton. Melansir databoks.katadata.id, dengan produksi sawit sebesar 2,7 juta ton, Sumsel berada pada peringkat kedua setelah Riau dan masuk lima besar provinsi penyumbang produksi sawit kebun rakyat secara nasional, bersama Sumatera Utara, Jambi, dan Kalimantan Barat.
Perkebunan sawit dianggap memberi dampak positif pula bagi daerah. Mulai dari memberikan lapangan kerja, berkontribusi dalam perbaikan infrastruktur, meningkatkan produktivitas dan daya saing daerah, sekaligus memenuhi kebutuhan bahan baku dalam dan luar negeri.
Namun, beberapa hal masih harus menjadi perhatian dalam mengelola kebun sawit rakyat ini. Sebut saja, emisi gas rumah kaca dan limbah produksi yang dihasilkan, deforestasi serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla), hingga penyelesaian konflik pertanahan dengan masyarakat
Hal inilah yang terus didorong Dinas Perkebunan Sumsel, diantaranya melakukan peningkatan kapasitas petani dan pekebun melalui sosialisasi dan pelatihan. Kurangnya sumber daya membuat Dinas Perkebunan Sumsel memaksimalkan kinerja penyuluh untuk menjangkau kawasan pelosok.
Hal ini sebagaimana diungkapkan Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil (P2HP) Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian. “Diantara yang menjadi fokus adalah meningkatkan jumlah organisasi pekebun mandiri. Bergabungnya mereka dalam organisasi, seperti koperasi, tentu akan mendapatkan sejumlah kemudahan,” jelasnya.
Puncaknya, petani dan pekebun sawit rakyat, menurutnya, akan bisa menghasilkan sawit yang tidak kalah berkualitas dibanding petani plasma seperti yang terjadi saat ini. Termasuk, mengenai tata kelola dan penangan konflik, yang disebut Rudi, Sumsel beruntung karena sejauh ini konflik lahan antar-warga dan perusahaan jauh berkurang.
Kolaborasi dengan pemerintah daerah, sambung Rudi, merupakan cara lain yang sedang digalakkan Pemprov Sumsel. Gubernur Herman Deru, lanjutnya terus berkomunikasi dengan kepala daerah di Sumsel, untuk terus berupaya meningkatkan kesejahteraan petani sawit.
Kolaborasi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota di Sumsel untuk menyejahterakan petani dan pekebun sawit, bisa dilihat di Kabupaten Musi Banyuasin.
Tidak hanya pemerintah provinsi, dukungan untuk program itu juga datang dari negara lain, seperti Norwegia. Akhir November lalu, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Rut Kruger Giverin datang dan melihat langsung tata kelola kebun sawit rakyat di Musi Banyuasin. Sekaligus, memberikan dukungan pada program pembangunan demplot di Desa Mendis Jaya, Kecamatan Bayung Lincir.
Pelaksana tugas Bupati Musi Banyuasin, Beni Hernedi mengatakan, saat ini luasan kebun sawit di wilayahnya terus meningkat, lebih dari 400.000 hektar. Dari jumlah tersebut, sekitar 40 persen merupakan kebun sawit mandiri masyarakat.
Dengan kerja kolaboratif, termasuk dukungan Norwegia, Beni berharap kontribusi sawit terhadap pendapatan daerah, sekaligus kesejahteraan petani dan pekebun sawit bisa ditingkatkan.
“Kolaborasi bertujuan mendorong pengelolaan yang baik dan berkelanjutan serta pengembangan hilirisasi. Begitu juga dengan target dan capaian kita untuk membuat pabrik biofuel sendiri,” ujarnya.
Keterlibatan semua sektor dan stakeholder lokal, menurut Beni, jadi bagian lain yang juga dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Saat ini, sudah ada Pusat Unggulan Komoditi Lestari (PUKL) di Kabupaten Musi Banyuasin yang menjadi wadah kolaborasi bagi pengembangan sawit dan karet.
“Kita juga melakukan kerja sama dengan swasta, NGO, akademisi, dan pendamping agar kolaborasi ini berdampak nyata untuk kesejahteraan,” ujarnya. Strategi kolaboratif ini diharapkan mampu mendukung pemerintah pusat menjalankan kebijakan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) secara nasional.
Baca: Harus Jelas! Komitmen Pemerintah Sumsel Terkait Lumbung Minyak Sawit Berkelanjutan
Kebijakan pengembangan BBN sebagai ancaman HAM dan Lingkungan
Dalam dokumen terbaru Nationally Determined Contribution (NDC), Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca yang cukup signifikan. Salah satunya dengan memaksimalkan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN), dengan kelapa sawit sebagai bahan baku utama.
BBN sebagai salah satu energi terbarukan, diproyeksikan menggantikan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara. Hanya saja, penggunaan bahan bakar ini kedepannya berpotensi merusak lingkungan lebih parah lagi. Seperti yang dinilai akademisi Universitas Sriwijaya, JJ Polong.
Kepada kantor berita RMOLSumsel beberapa waktu lalu, usai diskusi ekologi politik bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Palembang, dia mengatakan upaya pemerintah memaksimalkan BBN berbahan dasar kelapa sawit justru mengancam deforestasi besar-besaran. Sehingga, dinilai pula tidak berpihak pada sisi ekologis dan sosiologis masyarakat.
“Tidak banyak yang merasakan manfaatnya. Masyarakat (petani dan pekebun kelapa sawit), berhenti sampai proses produksi tanaman. Selebihnya, pabrik dan sistem yang berjalan,” ungkap Polong.
Menurutnya, ada banyak kepentingan dalam kebijakan pengembangan BBN berbahan baku sawit atau biofuel, yang justru didukung studi ‘pesanan’ yang ironisnya dilakukan akademisi.
“Intelektual terus mendorong dikembangkannya penggunaan bahan baku sawit. Padahal yang menggunakan hanya segelintir, cenderung dilakukan oligarki. Ditengah upaya pemenuhan kebutuhan energi yang dikuasai oleh pihak tertentu ini, masyarakat dapat apa?” tanya Polong.
Baca juga: Sengketa Lahan, Walhi Sumsel: Dua Warga Lahat Tewas Diserang Sekuriti Perusahaan Sawit
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Hairul Sobri. Kebijakan pengembangan BBN yang digaungkan pemerintah, menurutnya tak lebih sebagai akal-akalan untuk melegalkan upaya menghilangkan Hak Asasi Masyarakat (HAM) dan Lingkungan.
Dijelaskannya, kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi dengan perluasan lahan perkebunan sawit, yang akan dilakukan secara masif di berbagai provinsi termasuk Sumsel.
Dalam proses alih fungsi lahan dengan dalih perluasan perkebunan kelapa sawit inilah, menurutnya emisi gas rumah kaca akan keluar lebih banyak lagi, dibandingkan dengan upaya pemerintah menguranginya melalui kebijakan BBN.
“Dimana berpihaknya (NDC) terhadap masyarakat? Selain melepas emisi (gas rumah kaca) lebih besar, alih fungsi (perluasan perkebunan sawit) ini juga akan menimbulkan dampak lain, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) misalnya,” ungkap Sobri.
Membayangkan Pemprov Sumsel masih menyiapkan sekitar satu juta lahan kosong lagi untuk ditanami sawit, Sobri cukup geram. Sebab, jika lahan tersebut berada di wilayah rawa gambut, justru pelepasan emisi gas rumah kaca yang akan dihasilkan lebih besar lagi. “Tidak akan terganti sampai 100 tahun sekalipun,” ungkapnya.
Apalagi, di Sumsel yang menurutnya terus terjadi perluasan lahan perkebunan sawit setiap tahunnya. Justru hal ini dinilai sebagai upaya pemerintah memaksakan kehendak.
“Belum lagi konflik agraria yang masih saja terjadi. Kalaupun tidak terekspos, tentu banyak hal yang menyebabkannya. Petani yang tidak punya kemampuan melawan korporasi, padahal mereka ini sudah puluhan tahun tinggal di lokasi perkebunan itu,” lanjutnya.
Hal inilah yang menurut Sobri menjadi ancaman bagi keberlangsungan HAM dan Lingkungan di kawasan perkebunan sawit Sumsel. Sehingga, pemerintah akan lebih bijak jika melihat secara komprehensif semua aspek yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan. Seperti sosial ekonomi dan lingkungan, sehingga masyarakat tidak terkesan dipengaruhi dan dipaksa untuk mengikuti kemauan pemerintah.
Lebih jauh diungkapkannya, kesejahteraan masyarakat tidak bisa diukur dari besarnya nilai investasi di suatu wilayah, atau anggaplah wilayah perkebunan sawit. Sebab, yang selama ini dilihat oleh Walhi Sumsel adalah terjadinya ketimpangan yang besar dari sisi kesejahteraan petani.
“Tidak semua wilayah yang memiliki kebun sawit yang luas, masyarakatnya sejahtera. Justru terkadang, yang terjadi malah sebaliknya. Mereka kesulitan berkembang, untuk makan dan memenuhi kebutuhan hidup,” katanya.
Kalaupun petani (mandiri) ini memiliki lahan untuk digarap menanam sawit, menurut Sobri, yang akan terjadi lama-kelamaan, mereka tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan perawatan untuk produksi. Ini dikarenakan terhimpit ekonomi dan kebutuhan rutin yang harus dicukupi.
“Konsep keberlanjutan yang dicanangkan pemerintah, tidak sesuai dengan praktik di lapangan. Dan kami menilai, ini kebijakan yang tidak masuk akal. Belum lagi (dalam alih fungsi lahan sawit) akan muncul potensi bencana karhutla yang menimbulkan biaya dan kerugian lain, biaya berobat masyarakat, biaya pemadaman. Justru hal seperti ini yang harus dipikirkan pemerintah,” ujarnya.
Salah satu cara yang ideal menurut Sobri adalah dengan memaksimalkan apa yang dimiliki oleh masyarakat saat ini.
“Kenapa lahan yang ada tidak ditanami komoditi produktif lain sehingga wilayah tersebut tidak hanya mengandalkan sawit. Misalnya padi, tanaman kayu, dan sebagainya. Sebab, tugas negara memfasilitasi rakyatnya, bukan malah mendorong alih fungsi lahan sawit besar-besaran yang justru punya kontribusi besar terhadap kerusakan iklim, HAM dan Lingkungan,” tegasnya.
*M. Fajar Wiko, jurnalis RMOL [Republik Merdeka Online] Sumatera Selatan. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan