- Cuaca ekstrem disertai gelombang tinggi melanda wilayah pesisir Sulawesi Tenggara di penghujung Desember 2021. Di beberapa wilayah, angin puting beliung memporak-porandakan rumah nelayan. Di Kabupaten Wakatobi, nelayan tidak berani melaut lantaran terjadi anomali cuaca terus terjadi sepanjang tahun 2021.
- Gelombang badai dan putting beliung kerap terjadi di pesisir Wakatobi. Pada Desember lalu, Badan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Sulawesi Tenggara melalui pemerintah setempat mengeluarkan larangan melaut sementara waktu. Cuaca ekstrem masih melanda sejumlah wilayah di Wakatobi. Pemerintah Desa Bajo Mola mencatat fenomena puting beliung terjadi dua kali dalam Desember 2021.
- Masyarakat pesisir Wakatobi, seperti di Desa Mola Bahari begitu terdampak dengan cuaca ekstrem ini. Sekitar 90% warga adalah nelayan. Mereka takut melaut dan terpaksa mencari kerang, teripang dan menangkap ikan-ikan kecil di kala air laut sedang surut.
- Anomali cuaca sepanjang tahun 2021 menyebabkan masyarakat pesisir Wakatobi hidup tak menentu. Masa yang mestinya mendapatkan hasil ikan banyak, tetapi cuaca berubah malah jadi sebaliknya. Bukan hanya nelayan terdampak, pembudidaya rumput laut juga alami kesulitan.
Ahmad Majid, Kepala Desa Mola Bahari, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Wakatobi, bergegas keluar rumah, subuh di penghujung Desember lalu. Dia berlari menuju pantai yang berjarak 50 meter dari rumah.
“Saat itu cuaca ekstrem dengan jarak pandang sekitar 10 meter. Kecepatan angin sekitar 50 kilometer perjam,” katanya. Kala itu, tubuhnya sempoyongan melawan terpaan angin kencang dari arah timur.
Majid khawatir sekitar 50 warga yang turun melaut ke perairan Banda malam harinya. Mereka rata-rata pakai perahu mesin tempel berkekuatan 20-30 pk.
Dia berharap, para nelayan mempraktikkan kebiasaan nukpa bue dalam sebutan Suku Bajo yang berarti obok-obok air. Nukpa bue, merupakan tradisi memantau cuaca ketika sedang melaut.
“Ketika langit mendung, kadang muncul sinar-sinar di laut. Kita obok-obok permukaan air. Kalau muncul seperti kunang-kunang, pertanda akan ada badai,” katanya.
Sesampainya di pantai, dia melihat keanehan. Angin yang semula bertiup dari arah timur mendadak berubah arah, bertiup dari utara. Dalam hitungan menit, puting beliung datang memporak-porandakan kampung nelayan Bajo pesisir. Rumah-rumah nelayan rusak. Tiga roboh, hanyut bersama gelombang tinggi.
Para nelayan selamat. Mereka berbalik arah ke rumah masing-masing ketika melihat tanda-tanda akan terjadi cuaca buruk.
Pasca badai, Badan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Sulawesi Tenggara melalui pemerintah setempat mengeluarkan larangan melaut sementara waktu. Cuaca ekstrem masih melanda sejumlah wilayah di Wakatobi.
Pemerintah Desa Bajo Mola mencatat fenomena puting beliung terjadi dua kali dalam Desember tahun ini.
“Kami diizinkan melaut tapi tidak boleh lebih 20 mil, karena potensi angin kencang,” kata Majid.
Masyarakat Desa Mola Bahari yang 90% nelayan takut melaut. Mereka terpaksa mencari kerang,teripang dan menangkap ikan-ikan kecil di kala air laut sedang surut.
Situasi ini juga berlangsung di beberapa dua kelurahan setempat, yang dihuni ribuan kepala keluarga Suku Bajo, yang menggantungkan hidup pada hasil laut.
Anomali cuaca
Masyarakat Bajo di Pulau Wangi-wangi merasakan terjadi perubahan cuaca yang tidak stabil kini. Tahun-tahun sebelumnya angin puting beliung di Perairan Wakatobi kerap terjadi Agustus-September. Dalam tiga tahun terakhir, cuaca ekstrem itu bergeser ke November-Desember.
Mereka yang umumnya hidup dari hasil tangkapan ikan pelagis, ikan karang dasar, pari, dan gurita pada musim-musim tertentu hanya bisa pasrah dengan keadaan. Mereka tidak punya pendapatan lain untuk menghidupi keluarga.
Murdin, pemburu gurita di habitat terumbu karang yang berjarak cukup jauh dari desa pesisir Bajo cerita biasa periode Juni-Agustus cuaca ekstrem hingga bukan waktu tepat turun melaut. Kalau cuaca buruk, dia bersama rekan-rekan nelayan lain beralih memanah ikan jenis ketambang di perairan dangkal, di sekitar kampung.
Ikan hasil tangkapan di jemur hingga kering, dan dijual ke pasar tradisional. Sisanya, disimpan untuk memenuhi kebutuhan pangan ketika mereka tak dapat melaut.
Kardin, nelayan pemburu pari ayam dewasa, bernasib hampir sama dengan Murdin. Dia tidak berani melaut saat cuaca buruk. Dia hanya pasrah dan hidup dari sisa-sisa keuntungan dari penjualan pari kering.
Anomali cuaca tidak hanya berdampak pada nelayan di Wakatobi, pertanian rumput laut juga ikut merasakan dampak.
Wa Eni, petani rumput laut di desa pesisir Liya, Wangi-wangi Selatan mengatakan, dua tahun belakangan ini, kualitas rumput laut tidak menentu.
“Kadang bagus, kadang tidak,” katanya.
Pendapatan mereka dari hasil panen bahan baku agar-agar ini sempat menurun karena gagal panen. Rumput laut kotor dan tak berkembang.
“Hujan tetap turun, yang semestinya sudah waktunya musim panas.”
Eni khawatir, dengan perubahan cuaca tidak menentu dan suhu panas terus meningkat akan berdampak pada penurunan produktivitas rumput laut di masa datang.
Dia dan suaminya tidak punya keterampilan lain selain sebagai petani rumput laut.
BPS Wakatobi mencatat, dari jumlah rumah tangga, produksi dan nilai produksi perikanan tangkap serta budidaya rumput laut, Kecamatan Wangi-wangi Selatan terbesar di Wakatobi pada 2019-2020.
Sebanyak 1.839 keluarga sebagai penangkap ikan dengan kapasitas produksi 5.712 ton pertahun, dengan nilai Rp98 miliar lebih. Sekitar 173 keluarga menggantungkan hidup dari budidaya rumput laut dengan produksi mencapai 822 ton pertahun senilai hampir Rp7 miliar.
Dengan cuaca tak menentu, masyarakat pesisir Wakatobi, baik nelayan maupun pembudidaya rumput laut hidup dalam ketidakpastian.
****
Foto utama: Ilustrasi. Nelayan tradisional sulit melaut kala cuaca ekstrem terus terjadi. Seperti di Wakatobi, masyarakat pesisir di sana, merasakan sepanjang 2021 mereka alami anomali cuaca. Foto: Abed De Rosary/ Mongabay Indonesia