- Indonesia telah menerbitkan kebijakan dan peta jalan pengalihan penggunaan bahan bakar fosil menjadi bahan bakar nabati (BBN) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai komitmen global mengendalikan dampak perubahan iklim. Indonesia sendiri memiliki sumber BBN atau biofuel yang melimpah sebagai pengganti bahan bakar fosil.
- Laporan Bappenas menyebutkan beberapa tanaman potensial untuk pengembangan BBN, dengan produk biodiesel atau biosolar, bioavtur dan bioethanol. Di antaranya adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kemiri sunan, mikroalga, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, aren, dan nyamplung.
- Di Jawa Tengah, tegakan Pohon nyamplung (Callophylum inophyllum) yang terluas ada di kabupaten Purworejo, seluas 62,8 hektar, baik yang tumbuh di lahan warga desa maupun hutan alam sepanjang pantai Jetis yang dikelola Perhutani.
- Barino, warga desa Patutrejo, kecamatan Grabag, Purworejo merupakan satu-satunya petani dan pengolah minyak nyamplung yang bertahan dalam kondisi pandemi Covid-19 di Jateng. Dia bisa memproduksi 600 – 1.000 liter minyak nyamplung per hari dari puluhan ton biji nyamplung, dengan penghasilan Rp7 juta per hari.
Indonesia telah menerbitkan kebijakan dan peta jalan pengalihan penggunaan bahan bakar fosil menjadi bahan bakar nabati (BBN) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai komitmen global mengendalikan dampak perubahan iklim sesuai Perjanjian Paris.
Indonesia sendiri memiliki sumber BBN atau biofuel yang melimpah untuk menggantikan bahan bakar fosil. Meski selama ini, BBN masih didominasi dari minyak produk kelapa sawit karena industri sawit yang telah mapan dengan lahan yang paling luas.
Dalam Laporan Akhir Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati yang dirilis 2015 silam, Bappenas menyebutkan ada beberapa tanaman yang bisa digunakan untuk pengembangan BBN dengan produk biodiesel atau biosolar, bioavtur dan bioethanol. Di antaranya adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kemiri sunan, mikroalga, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, aren, dan nyamplung.
Prof. Dr. Budi Leksono, peneliti ahli utama Balai Besar Penelitian Biotknologi dan Pemulihan Tanaman Hutan (BBPBPTH), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah lebih dari 20 tahun meneliti pohon nyamplung (Callophylum inophyllum) sebagai salah satu bahan bakar nabati untuk bahan bakar kendaraan motor dan lainnya.
Di Jawa Tengah, tegakan pohon nyamplung yang terluas ada di kabupaten Purworejo, terutama ada di tiga desa yaitu Patutrejo, Kertojayan dan Ketawangrejo. Luasnya mencapai 62,8 hektar, baik yang tumbuh di lahan warga desa maupun hutan alam sepanjang pantai Jetis yang dikelola Perhutani.
baca : Mencari Diversifikasi Bahan Bakar Nabati yang Ideal di Indonesia
Pohon nyamplung tergolong bukan tanaman pangan atau non-edible seeds, sehingga pengembangannya sebagai BBN tidak akan mengganggu tanaman pangan dan program ketahanan pangan.
Gudang nyamplung terbesar di desa Patutrejo, kecamatan Grabag, Purworejo berada di pekarangan depan rumah Barino. Gudang terbuat dari bilik bambu sederhana dan beratapkan genting tanah liat. Namun gudang dapat muat berton-ton karung nyamplung yang disetor oleh para petani setiap waktu.
Barino merupakan warga desa Patutrejo yang paling gigih menyemangati para petani sepuh dalam memungut nyamplung. Lelaki berusia 49 tahun itu paham betul, nyamplung sangat potensial sebagai sumber energi di masa depan. Dia lah satu-satunya petani dan pengolah minyak nyamplung yang bertahan dalam kondisi pandemi Covid-19.
baca juga : Kisah Para Pejuang BBN Nyamplung
Sejak pagi hingga malam, Barino bersama dua pekerjanya memecah berkuintal-kuintal biji nyamplung kering dengan mesin, lalu dipilah secara manual, sampai bersih dari kulitnya. Butuh ketelatenan untuk membersihkan biji dari kulitnya.
Aroma biji nyamplung yang dikeringkan menggunakan oven, menyerupai aroma kacang kenari yang disangrai, baunya harum.
Setelah semua biji bersih, dua pekerja memasukkan ke oven berukuran besar, waktu pengeringan selama 2-3 hari. Mereka telaten memeriksa kadar air biji nyamplung di dalam oven. “Jika masuk musim hujan begini, nyamplung harus dikeringkan dengan oven. Karena panas matahari sedikit,“ ujar Barino yang ditemui awal Desember 2021 lalu.
baca juga : Ketika Nyamplung Beralih dari Energi Alternatif ke Kosmetik
Mesin pengering biji nyamplung itu hasil modifikasi Barino sendiri. “Saya merancang mesin oven ini berukuran besar,“ ujarnya.
Untuk menyiasati lonjakan daya listrik yang tinggi pada mesin oven, Barino bereksperimen menggunakan gas elpiji tabung hijau. Ternyata hasilnya memuaskan, biji nyamplung benar-benar kering dan dapat diolah menjadi minyak mentah atau crude oil. “Ini uji coba pertama saya,“ ucap Barino.
Barino tidak meninggalkan tradisi hidup sebagai petani yang menggarap sawah dan kebun. Tapi nyamplung merupakan potensi energi terbarukan yang tidak bisa disepelekan. Itu sebabnya ia sibuk mengurus nyamplung. Bahkan Barino mulai mengajarkan anak lelaki sulungnya bernama Dika dan dua pemuda Desa Patutrejo untuk menekuni dunia nyamplung.
Untuk mencukup bahan baku, biji nyamplung pun didatangkan dari berbagai daerah di pulau Jawa, termasuk dari wilayah Kebumen, Gresik dan Banyuwangi. “Tidak mencukupi jika cuma nyamplung dari Purworejo,“ ujarnya.
Sikap optimistik Barino, disambut dua anak muda desa dengan bersemangat, bahwa nyamplung bisa mengubah ekonomi keluarga mereka menjadi lebih baik.
***
*Farida Indriastuti. Wartawan paruh waktu di Jakarta. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan