- Ekosistem pesisir sudah lama dikenal sebagai benteng pertahanan yang kokoh dari peristiwa alam. Tak hanya gelombang laut hingga tsunami, ekosistem pesisir bisa menjadi pelindung bagi masyarakat dan kawasan di sekitarnya
- Selain ekosistem mangrove yang sudah lama populer dengan beragam manfaatnya, ekosistem pesisir juga mencakup padang lamun yang manfaatnya tak kalah banyak dari mangrove. Tumbuhan air laut itu menjadi pelindung dari peristiwa alam bernama perubahan iklim
- Kehebatan ekosistem pesisir menjadi benteng, bisa terjadi karena ada kemampuan unik untuk menyerap karbon yang ada di bumi. Kemampuan tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan ekosistem darat seperti hutan terestrial
- Dengan kemampuan tersebut, sudah selayaknya jika ekosistem pesisir mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah Indonesia. Tak hanya melaksanakan konservasi, namun bagaimana potensi karbon biru pada ekosistem pesisir bisa dipetakan dan diatur melalui kebijakan secara nasional
Eksosistem mangrove dan padang lamun menjadi benteng utama bagi masyarakat pesisir untuk bisa berlindung dari dampak perubahan iklim yang sudah berlangsung sejak lama. Kedua ekosistem tersebut memiliki peran besar, karena ada manfaat karbon biru yang bisa difungsikan.
Sayangnya, sampai sekarang kebijakan tentang tata kelola karbon biru masih belum juga ada. Meski pengembangan sedang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia saat ini, namun kebijakan ekosistem karbon biru (EKB) masih menghadapi tantangan yang kuat.
Di antara tantangan itu, adalah masih adanya duplikasi dan ketidakjelasan kewenangan antara dan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa menjelaskan, keberadaan ekosistem mangrove dan padang lamun memang sudah saatnya untuk semakin diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Hal itu terjadi, karena penanganan dampak perubahan iklim semakin penting saat ini.
Dengan peran tersebut, permasalahan yang muncul di tengah pengembangan kebijakan EKB, sebaiknya harus segera diatasi. Tak terkecuali, permasalahan duplikasi dan ketidakjelasan kewenangan yang bisa menghambat pelaksanaan, pengawasan, dan pengelolaan EKB menjadi lebih efektif.
Beberapa persoalan yang mendesak diselesaikan agar penataan ruang bisa melindungi EKB, adalah penyusunan tata ruang harus didasarkan pada inventarisasi lingkungan dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), percepatan penggabungan antara tata ruang darat dan laut sesuai mandat Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
“Serta pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten terhadap pelanggaran kebijakan tata ruang,” jelas Mas Achmad Santosa yang akrab dipanggil Otta, pekan lalu di Jakarta.
baca : Bagaimana Mengelola Ekosistem Pesisir yang Tepat dan Berkelanjutan?
Otta juga mengatakan bahwa akan ada potensi konflik tenurial antara Pemerintah dengan masyarakat yang menjadi pemilik lahan di kawasan pesisir dan sekaligus sebagai penjaga EKB. Potensi konflik tersebut harus diantisipasi dengan baik, karena bisa menghambat efektivitas perlindungan EKB dan memberikan manfaat ekonomi.
“Selain mangrove, data total luasan dan kondisi padang lamun di Indonesia (juga) belum tersedia sampai saat ini karena memang belum mendapat perhatian secara khusus dari Pemerintah,” tambahnya.
Menurut Otta, permasalahan yang disebutkan di atas tersebut harus bisa diselesaikan, karena akan memengaruhi rencana kerja yang akan dilaksanakan pada 2022 ini. Itu terutama berkaitan dengan optimalisasi dan sinergi antar sektor serta kementerian dan lembaga (K/L).
Selain itu, agar pengelolaan EKB bisa menjadi lebih baik pada 2022, diperlukan integrasi pangkalan data (database), perencanaan, pengelolaan, pengawasan, kelembagaan, hingga pemberian manfaat ekonomi bagi Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Profesor Satyawan Pudyatmoko menyebut kalau permasalahan tumpang tindih kewenangan adalah hal yang perlu dibenahi. Persoalan tersebut tidak boleh dianggap sebelah mata, karena bisa menjadi berbahaya di kemudian hari.
Hal lain yang juga bisa dilakukan pada 2022 oleh Pemerintah, adalah pengembangan insentif ekonomi, terutama bagi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar EKB. Pemberian insentif akan mendorong motivasi keterlibatasan mereka, sehingga penguatan sosial dan ekologi bisa berjalan seimbang.
Pentingnya menjaga keseimbangan, karena kedua ekosistem tersebut, utamanya mangrove masih ada dalam ancaman kerusakan. Selain perusakan secara langsung, ancaman juga ada karena pertumbuhan populasi manusia, penataan ruang yang tidak tepat, dan pembangunan infrastruktur maupun alih guna lahan.
“Pemerintah harus merespon penyebab yang dapat mengakibatkan mangrove menjadi rusak. Dalam menyelesaikan permasalahan mangrove ini perlu adanya dukungan dari berbagai institusi, tidak bisa hanya satu institusi saja,” papar dia.
baca juga : Pemulihan Ekosistem Pesisir Berpusat dari Hutan Bakau
Satyawan menerangkan, merujuk pada Peraturan Presiden RI Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, pemanfaatan karbon melalui dua ekosistem tadi, harus ditindaklanjuti dengan melaksanakan prosedur menghitung efektivitas penyerapan dan penyimpanan karbon.
Kemudian, juga harus ada mekanisme pemberian dan pendistribusian manfaat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sehingga pelaksanaannya dapat memberikan manfaat yang besar untuk kepentingan masyarakat.
Strategi Pengelolaan
Di luar itu, Guru Besar Satwa Liar Universitas Gadjah Mada itu juga menyebutkan sejumlah strategi yang bisa dilakukan untuk pemenuhan kondisi pemungkin (enabling condition) dalam pengelolaan mangrove. Di antara, adalah penguatan data basis perencanaan melalui kerjasama penelitian dengan Universitas dan lembaga penelitian.
Kedua, adalah koordinasi, sinkronisasi dan sinergi kebijakan dan program antar K/L terkait dan dengan pemda; pengembangan alternatif pendapatan berbasis mangrove; serta meningkatkan pengetahuan dan partisipasi masyarakat.
“Selain Itu akan dilakukan juga rehabilitasi dan pemeliharaan mangrove secara berkelanjutan bersama masyarakat,” papar dia.
Berkaitan dengan rencana pemanfaatan ekosistem mangrove, peta jalan sudah disusun oleh KLHK dan BRGM. Peta jalan tersebut meliputi empat fase pengelolaan ekosistem mengrove, yaitu fase percepatan rehabilitasi mangrove pada periode 2021-2024; fase pengarusutamaan pengelolaan mangrove pada periode 2025-2027; fase pengelolaan mangrove lestari periode 2028-2030; dan fase mangrove net sink pada 2030.
Pada fase terakhir pengelolaan ekosistem mangrove, diharapkan dapat berperan menjadi net sink (penyerap bersih) dan meningkatnya daya dukung, produktivitas dan peranan ekosistem mangrove dalam menjaga sistem penyangga kehidupan.
baca juga : Melihat Target BRGM Restorasi Gambut dan Mangrove pada 2022
Masih berkaitan dengan mangrove, Satyawan menyebut bahwa diperkirakan pada 2024 mendatang akan terjadi kehilangan mangrove yang berasal dari net deforestasi hingga seluas 51.272 hektare dan kemudian pada 2030 akan terjadi kehilagan seluas 128.180 ha.
Sementara, untuk gross deforestasi diperkirakan pada 2024 akan terjadi kehilangan mangrove hingga seluas 104.456 ha dan pada 2030 diperkirakan akan terjadi kehilangan hingga seluas 261.140 ha. Semua data tersebut akan terjadi jika tidak ada antisipasi dari sejak sekarang.
Mengingat pentingnya ekosistem mangrove sebagai bagian dari ekosisten karbon biru, dia menyebutkan kalau Indonesia harus bisa berkomitmen untuk mengelola dan memanfaatkannya sebagai bagian dari adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Tidak hanya itu, Indonesia bergabung dengan seluruh negara-negara dunia untuk sama-sama berkomitmen melaksanakan perjanjian Paris (Paris Agreement) ke dalam kebijakan nasional masing-masing. Langkah tersebut diharapkan bisa semakin memperkuat peran karbon biru dalam adaptasi perubahan iklim.
Satyawan Pudyatmoko menambahkan, prediksi berkurangnya luasan ekosistem mangrove, terjadi karena ada banyak faktor penyebab yang membuat ekosistem tersebut mengalami kerusakan. Kondisi tersebut harus bisa diantisipasi dan dicarikan jalan keluar sejak dari sekarang.
Dia mencontohkan, kepentingan pembangunan wilayah atau pengembangan infrastruktur ekonomi seperti pelabuhan, kawasan industri, dan yang lainnya ikut berperan memicu kerusakan mangrove. Kemudian, ada juga faktor pemanfaatan area mangrove untuk kawasan pemukiman baru.
Penyebab lain kerusakan mangrove, juga karena pemanfaatan untuk kegiatan budi daya perikanan seperti tambak ikan dan udang. Lalu, ada juga karena aliran limbah kimiawi, dan pembakalan liar (illegal logging).
“Ada juga karena over-cutting, seperti pada pemanfaatan untuk bahan baku produksi arang. Dan juga disebabkan faktor alamiah, seperti kenaikan tinggi muka air laut, gelombang, kejadian tsunami, dan lain-lain,” papar dia.
baca juga : Mangrove Terakhir Ternate Dibabat, Burung dan Ikan Lenyap, Rumah Warga Kebanjiran
Dari sisi sejarah, kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia sudah dimulai dari masa kolonial Belanda, tepatnya pada masa pengembangan tambak awal di era 1800-1900. Lalu, masa di mana awal pembalakan liar berjalan masif di era 1900-1949.
Dua periode berikutnya yang menyebabkan ekosistem mangrove di Indonesia terus menyusut hingga sekarang, adalah periode kedua pembalakan yang dilakukan oleh kelompok swasta nasional pada era 1970-1990.
“Terakhir, kerusakan terjadi para era 1980 hingga 2003, di mana booming tambak udang sedang terjadi,” tandas dia.
Adapun, luas ekosistem mangrove yang saat ini ada tersisa 3.364.080 ha, dengan rincian yang berstatus lebat luasnya mencapai 3.121.240 ha, status sedang seluas 188.366 ha, dan status jarang seluas 54.474 ha.
Sedangkan Dosen Ilmu Atmosfer IPB University Daniel Murdiyarso pernah mengatakan bahwa kemampuan mangrove dalam menyerap emisi di bumi mencapai 20 kali dari kemampuan hutan tropis. Karena itu, mangrove bisa menjadi gudang terbesar untuk penyimpanan emisi dunia.
Dia mengatakan, dalam satu hektar hutan mangrove di Indonesia, tersimpan potensi karbon yang jumlahnya 5 kali lebih banyak dari karbon hutan dataran tinggi. Sementara, hutan mangrove di Indonesia menyimpan cadangan karbon 1/3 dari total yang ada di dunia.
Saat ini, karbon yang tersimpan di hutan mangrove Indonesia diperkirakan mencapai 3,14 miliar ton. Sementara, untuk bisa bisa mengeluarkan karbon sebanyak itu, diperlukan waktu setidaknya hingga 20 tahun.
baca juga : Pesan Presiden: Rawat Mangrove buat Jaga Pesisir, Ekonomi Masyarakat sampai Serap Emisi Karbon
Selain mangrove, potensi karbon biru juga ada pada ekosistem padang lamun. Mengutip Buku Padang Lamun 2018 yang diterbitkan Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), luasan lamun Indonesia adalah 293.464 ha.
Buku yang menerbitkan hasil penelitian tentang padang lamun itu, juga menyebutkan padang lamun dapat menyerap rata-rata 6,59 ton C per ha per tahun atau setara dengan 24,13 ton CO2/ha/tahun. Hal tersebut kemudian dirincikan oleh peneliti Biogeokimia P2O BRIN Aan J Wahyudi.
Menurut dia, padang lamun di Indonesia memiliki kemampuan menyerap karbondioksida sampai 1,9-5,8 mega ton (Mt) karbon per tahun. Seperti halnya bakau, kemampuan menyerap karbon pada lamun juga terjadi pada vegetasi dan subtrat secara bersamaan.
Bagi dia, angka itu menjadi sangat fantastis, karena kemampuan menyerap lamun ternyata lebih besar dari vegetasi yang ada di daratan. Dengan fakta itu, vegetasi pesisir menjadi sangat penting bagi pengendalian karbon, karena kemampuan daya serapnya bisa mencapai 77 persen lebih banyak dari vegetasi daratan seperti hutan.
“Untuk bisa menyerap karbon sebanyak mungkin, maka kemampuan vegetasi di darat dan laut harus tetap dipertahankan,” pungkas dia.