Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara [RUU IKN] telah resmi disahkan menjadi Undang-Undang Ibu Kota Negara [IKN]. Pengesahan itu disepakati dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa [18/1/2022]. Artinya, pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, semakin mendekati kenyataan.
Presiden Joko Widodo telah menetapkan nama ibu kota baru pengganti Jakarta, yakni Nusantara. Presiden juga telah menyetujui desain Istana Kepresidenan yang dirancang I Nyoman Nuarta. Tentu saja, penataan ibu kota baru ini harus jauh lebih baik ketimbang Jakarta, serta bisa menjadi model ideal bagi pengelolaan kota-kota lainnya di seluruh Indonesia.
Harus diakui, satu problem besar yang dihadapi Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia sekarang adalah hampir semua fasilitas kota, berada dalam jarak yang tidak dekat dengan warga.
Untuk bekerja dan bersekolah, misalnya, umumnya warga harus menjangkau dengan kendaraan bermotor. Begitu juga fasilitas lain. Buntutnya, kota menjadi ruwet, polutif, tidak humanis, dan tidak sehat lantaran gaya hidup warga cenderung pasif.
Mestinya, semua fasilitas yang dibutuhkan warga berada dalam jarak yang dekat, cukup dijangkau dengan jalan kaki singkat, bersepeda, atau naik angkutan umum. Hal inilah yang menjadi salah satu tantangan bagi para perancang dan pengelola ibu kota baru negara kita.
Baca: Resmi, Ibu Kota Indonesia Pindah ke Kalimantan Timur
Kota 15 menit
Tahun 2016 lalu, seorang profesor blasteran Prancis-Columbia dari Universitas Paris, Prancis, mengenalkan konsep kota 15 menit. Konsep ini menekankan bahwa seluruh fasilitas kota -mulai tempat kerja, bisnis hingga rekreasi, area terbuka hijau dan permukiman- mesti dapat diakses dalam waktu singkat, tak lebih 15 menit. Warga cukup berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan angkutan publik untuk menjangkaunya.
Konsepnya didasari pada keinginan untuk merancang kota yang lebih berkelanjutan, membantu mengurangi penggunaan mobil dan mengurangi emisi karbon, serta mengurangi waktu perjalanan sambil menciptakan lebih banyak ruang publik.
Tahun 2021, konsep kota 15 menit gagasan Carlos Moreno ini oleh The Henrik Frede Obel Foundation dianugerahi Obel Award. Penghargaan diberikan sebagai pengakuan atas nilai-nilai agungnya dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan dan berpusat pada manusia.
Menurut Carlos Moreno, kota adalah sistem paling kompleks yang diciptakan manusia, yang tidak memungkinkan kita memprediksi arah evolusinya. Oleh sebab itu, dengan mempertimbangkan kompleksitas tersebut, Moreno lebih mengusulkan dibangunnya kota aktif daripada kota cerdas. Dalam pandangannya, kita semua justru harus meninggalkan gagasan tentang kota yang dikendalikan oleh teknologi.
Moreno yakin bahwa dengan konsep kota 15 menit, kota bukan hanya lebih layak dihuni, tetapi juga dapat lebih berperan dalam melakukan regenerasi lingkungannya.
Baca: Satwa Langka di Ibu Kota Baru Indonesia
Awalnya, gagasan Moreno dinilai utopis, mengawang-ngawang. Namun, perlahan, terutama setelah merebaknya pandemi Corona [COVID-19], para pengelola kota di Barat mulai mempertimbangkan kembali pengelolaan kota mereka, melirik konsep yang diusung Moreno.
C40 Cities Climate Leadership Group, kelompok jaringan kota yang terdiri 97 kota di seluruh dunia, mulai pula mempromosikan konsep kota 15 menit sebagai bagian dari strategi pemulihan pascapandemi.
Kini, konsep kota 15 menit sudah masuk dalam ranah kebijakan beberapa kota. Salah satunya Paris, Prancis. Kota lainnya yang mulai berupaya mengadopsi adalah Houston [Amerika Serikat], Milan [Italia], Brussel [Belgia], Valencia [Spanyol], Chengdu [Tiongkok] dan Melbourne [Australia].
Baca juga: Kota Vertikal, Kepadatan Penduduk, dan Realita Gempa Bumi di Negara Kita
Secara garis besar, dalam konsep kota 15 menit, kota dibagi dalam 3 zona utama. Pertama, zona jalan kaki selama 5 menit. Yang termasuk wilayah ini adalah kawasan permukiman, ditopang fasilitas kebutuhan warga keseharian, termasuk sektor usaha kecil, lapangan terbuka dan lahan untuk rekreasi warga.
Kedua, zona jalan kaki 15 menit. Wilayah ini meliputi toko kelontong, apotek, sarana perdagangan umum, sekolah, taman serta perusahaan besar. Di zona ini, terdapat akses transit regional berupa sedikitnya satu stasiun transportasi publik.
Ketiga, zona bersepeda 15 menit. Di area ini, terdapat berbagai fasilitas budaya, layanan medis, dan pendidikan tinggi. Selain itu, ada juga taman dan perusahaan yang lebih besar. Di zona ini, tersedia transportasi publik untuk kepentingan antarkota.
Carlos Moreno percaya, penerapan konsep kota 15 menit akan melahirkan apa yang disebutnya sebagai kota polisentris. Konsep setiap orang dapat pergi ke manapun mereka mau untuk memenuhi kebutuhan, dengan waktu perjalanan kurang dari satu jam. Dengan memiliki kota polisentris, menurut Moreno, kita dapat menumbuhkan kembali kohesi sosial kawasan perkotaan.
Kita sangat berharap Nusantara, Ibu Kota Negara yang baru, dapat mengadopsi konsep kota 15 menit. Dengan begitu, kawasan ini menjadi benar-benar sehat dan berkelanjutan, yang membuat bahagia dan sejahtera segenap penghuninya, serta menjadi model ideal bagi kota-kota lainnya di Indonesia.
*Djoko Subinarto, kolumnis dan bloger, tinggal di Bandung, Jawa Barat. Tulisan ini opini penulis.
Rujukan:
Aisling Ní Chúláin & Naira Davlashyan. 2021. What is A ’15-Minute City’ and How Will It Change How We Live, Work and Socialise?
Andres Duany & Robert Steuteville. 2021. Defining the 15-Minute City.
Dan Luscher. 2021. The Obel Award.
Lidya Julita Sembiring. 2022. Tok! RUU Disahkan DPR, Ibu Kota Negara Resmi Pindah ke Kaltim.
Peter Yeung. 2020. How ’15-minute Cities’ Will Change the Way We Socialise.