- Pasca letusan Gunung Semeru, kawanan monyet ekor panjang turun ke jalan dari hutan di kawasan perbukitan Piket Nol, Lumajang, Jawa Timur. Kawanan monyet turun ke jalan diduga kelaparan karena kondisi hutan rusak.
- Pegawai Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) mengatakan, sebelum terdampak erupsi di kawasan tersebut memang sudah menjadi persinggahan kawanan monyet.
- Fenomena kawanan monyet turun gunung yang sempat viral itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut, apakah memang dampak dari erupsi Gunung Semeru atau tidak.
- Satwa primata tidak dilindungi ini mempunyai insting yang kuat dan mudah beradaptasi untuk mencari makananan. Sehingga disayangkan adanya pihak-pihak yang memberi makan kawanan monyet karena bakal mempunyai ketergantungan dengan manusia yang bisa berakibat konflik
Pasca terjadinya erupsi Gunung Semeru, warga sempat dihebohkan dengan kemunculan monyet di kawasan perbukitan Piket Nol, Lumajang, Jawa Timur, terutama bagi para pekerja yang sedang mengerjakan pembangunan jembatan gantung penghubung Lumajang-Malang. Akibat letusan Gunung tertinggi di Pulau Jawa itu jembatan gladak perak menjadi hancur.
Diduga, satwa asli Asia Tenggara ini kelaparan sehingga membuat mereka turun kejalan karena kondisi hutan rusak, para pekerja kemudian memberi makan berupa nasi bungkus kepada kawanan primata tersebut.
“Setelah kejadian erupsi, baru sekarang ini monyet-monyet ini turun. Mungkin di atas sudah tidak ada yang dimakan,” kata Sucipto, salah satu pekerja dilansir dari tribunnews.com
Menanggapi hal itu, Sarif Hidayat, Kepala Sub Bagian Data Evaluasi Pelaporan dan Kehumasan Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) mengatakan, sebelum terdampak erupsi dikawasan tersebut memang sudah menjadi persinggahan kawanan monyet.
baca : Nasib Hewan Ternak Penyintas Erupsi Gunung Semeru
Hal ini dikarenakan kawasan itu menjadi tempat peristirahatan bagi para pengendara sebelum melanjutkan perjalanan, para pengendara ini kemudian banyak yang memberi makan. Sehingga kawanan monyet ini perilaku makannya masih memiliki ketergantungan yang besar dengan kehadiran manusia.
Ketika terjadi erupsi Gunung Semeru kawasan tersebut menjadi hancur, dan tidak bisa dilewati oleh pengunjung, para primata ini kemungkinan kembali ke hutan milik Perhutani yang ada di kawasan itu. Tetapi karena sifat ketergantungannya pada manusia itu tidak hilang akhirnya membuat mereka turun lagi ke jalan.
“Saya tidak berani mengatakan apakah ada dampak langsung dari erupsi, tapi faktanya dari sebelum erupsi di Piket Nol itu sudah menjadi persinggahan monyet,” ujarnya, saat dihubungi Mongabay, Senin (17/01/2022).
baca juga : Semeru Masih Erupsi, Bagaimana Penyelamatan Satwa dan Ternak Warga?
Tidak Ada Tanda-Tanda
Lanjut Sarif, berdasarkan laporan dari masyarakat, sebelum terjadinya erupsi Gunung Semeru juga tidak ada tanda-tanda satwa yang turun gunung, sebagaimana lazimnya adanya indikasi kalau mau terjadi erupsi. Sehingga menurut dia, perlu dilakukan kajian lebih lanjut menanggapi fenomena kawanan monyet turun gunung yang sempat viral itu, apakah memang dampak dari erupsi Gunung Semeru atau tidak.
Sampai saat ini pihaknya masih belum bisa melakukan pendataan ekosistem yang ada dikawasan TNBTS yang terdampak, hal ini dikarenakan kondisi Gunung Semeru yang masih fluktuatif. Aktivitas kegempaan yang didominasi gempa guguran menunjukkan indikasi masih terjadinya penambahan volume kubah lava. Gempa guguran itu membawa material batuan ke permukaan dan berpotensi terjadi akumulasi batuan di lereng gunung, sehingga berpotensi menjadi awan panas guguran.
“Jangankan melakukan inventarisasi di kawasan yang terdampak, masyarakat yang berada dijalur aliran lahar dingin saja harus menjauh,” katanya.
Kemungkinan inventarisasi akan dilakukan jika kondisinya sudah stabil. Selain itu, kemungkinan lainnya juga akan dilakukan restorasi, tetapi hal itu perlu dilakukan analisa kondisi lapangan terlebih dahulu terkait dengan potens-potensinya juga.
Sebelumnya, lanjut Sarif, pihaknya juga belum pernah melakukan pendataan secara detail di kawasan yang terdampak, karena kawasan tersebut merupakan hutan alam. Namun, secara keseluruhan di kawasan TNBTS terdapat mamalia seperti reptil, kijang (Muntiacus), lutung jawa (Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang. Bahkan predator tingkat tinggi seperti macan tutul (Panthera pardus) juga ada.
baca juga : Rehabilitasi Hutan Diperlukan Pasca Letusan Gunung Semeru
Mampu Mendeteksi Gejala Alam
Monyet ekor panjang merupakan salah satu satwa yang mampu mendeteksi gejala-gejala alam secara dini, seperti tanah longsor, tsunami. Selain itu, keberadaan hewan dengan nama latin Macaca fascicularis ini juga bisa dijadikan indikator untuk mengenal lebih dini sebelum terjadinya aktivitas-aktivitas erupsi gunung berapi.
Iwan Kurniawan, Manajer Project Javan Langur Centre-The Aspinall Foundation Indonesia Program mengatakan, manusia seharusnya bisa belajar dari satwa untuk mengenali tanda-tanda akan terjadi peristiwa alam. Dia meyakini bahwa satwa yang dikenal juga dengan sebutan kera ini juga mempunyai insting yang kuat untuk mencari makananan, hal ini dikarenakan monyet termasuk salah satu satwa yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap perubahan lingkungan.
“Dan ini berbeda dengan lutung atau satwa-satwa lain yang tidak peka dengan perubahan lingkungan,” ujarnya. Terangnya, monyet bisa bertahan hidup dimanapun, meski dalam kondisi iklim yang dingin maupun panas.
baca juga : Hidup Bersama Gunungapi Semeru
Selain itu, karena karakternya yang mudah beradaptasi itu membuat populasinya ada dimana-mana. Bahkan dalam keadaan minim makanan juga mereka bisa berkembangbiak. Untuk itu, dia menyayangkan dengan adanya pihak-pihak yang memberi makan kawanan monyet pasca terjadi letusan Gunung Semeru.
Menurut Iwan, jika memberi makan monyet dalam kondisi fisiknya normal itu justru akan menjadi insiden buruk ketika situasi sudah membaik. Dikhawatirkan karakter monyet akan berubah, keberadaanya akan bergantung pada manusia.
“Bayangan mereka jadinya adalah ada manusia ada makanan,” kata Iwan, yang sejak 2003 sudah bersinggungan dengan lutung jawa ini. Sehingga nantinya akan menimbulkan konflik antara manusia dan satwa. Ujung-ujungnya lapor ke petugas, parahnya lagi jika yang menangani tidak tahu, sehingga rawan dibunuh.