- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Forest Watch Indonesia (FWI), melakukan konsolidasi menyeluruh seluruh jaringan Gerakan Masyarakat Sipil se-Daratan Flores-Lembata yang berlangsung di Desa Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, NTT, Senin (17/1/2022) hingga Rabu (19/1/2022)
- Kegiatan itu dilakukan guna mendiskusikan, merumuskan dan menyepakati langkah-langkah konkrit terkait strategi berbagai penanganan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat adat, petani, nelayan dan kelompok-kelompok marjinal lainnya yang ada di daratan Pulau Flores dan Lembata
- Kemerosotan lingkungan hidup di NTT saat ini lebih disebabkan oleh pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dan masa depan generasi manusia. Pembangunan yang abai pada lingkungan hidup dalam jangka panjang telah mengakibatkan berbagai krisis terjadi di NTT
- Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan pembangunan infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan saat ini. Selain sebagai roda penggerak pembangunan, ketersediaan infrastruktur berbanding lurus dengan peningkatan kualitas hidup dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hujan gerimis mengguyur tanah adat Rendu, Desa Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (17/1/2022). Sebanyak 54 utusan komunitas masyarakat adat, LSM, organisasi mahasiswa se-daratan Flores dan Lembata berkumpul di kampung Roga Roka.
Pertemuan berlangsung selama tiga hari itu bertema “Konsolidasi Gerakan Masyarakat Sipil Se-Daratan Flores dan Lembata Menuju Keselamatan Ekologi dan Penguatan Masyarakat Sipil”.
Kerangka acuan yang ditandatangani oleh Sekjen AMAN, Sekjen KPA, Direktur Eknas WALHI, Pengurus Nasional JATAM dan Direktur Eksekutif FWI menjelaskan alasan konsolidasi.
Dikatakan, lingkungan hidup selalu menjadi tumbal dari berbagai konsep dan praktik pembangunan yang menyimpang dari kelestarian lingkungan. Akibatnya, kerusakan lingkungan hidup di Provinsi NTT dari hari ke hari bertambah parah.
Bencana alam seperti banjir dan kekeringan menjadi realitas yang tak terhindarkan, bahkan telah menjelma menjadi rutinitas yang telah merombak tata alamiah budaya alam.
Kemerosotan lingkungan hidup di NTT saat ini lebih disebabkan oleh pengarahan pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dan masa depan generasi manusia.
Pembangunan yang abai pada lingkungan hidup dalam jangka panjang telah mengakibatkan berbagai krisis terjadi di NTT. Telah terjadi maraknya alih fungsi wilayah adat yang mengatasnamakan pembangunan tanpa melalui persetujuan masyarakat adat setempat.
baca : Masyarakat Adat, Krisis Iklim dan Konflik Pembangunan. Bagaimana Solusinya?
Banyak terjadi protes atas perampasan wilayah-wilayah adat secara sepihak oleh pemerintah yang didukung oleh aparat setempat. Ini berdampak pada terjadinya peningkatan konflik agraria di NTT.
Konflik-konflik terjadi di berbagai sektor diantaranya properti, perkebunan, infrastruktur, pembangunan waduk, kehutanan, pertambangan dan agribisnis.
Awal November 2021, di daratan Flores (tepatnya di pulau Rinca) telah terjadi kebakaran hutan yang berimbas pada habisnya hutan-hutan yang merupakan bagian dari ekosistem hewan purba Komodo.
Dampaknya, terjadi krisis hutan yang signifikan di NTT. Data BNPB pada tahun 2019, NTT menduduki peringkat pertama kebakaran hutan terluas di Indonesia yakni 71.712 hektar.
Alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan monokultur, pertambangan, pariwisata dan tambak garam pun tidak terlepas dari penghancuran alam secara drastis.
Di sektor bahari, pembangunan kesejahteraan dan ramah lingkungan berbasis maritim di NTT masih minim.
Dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir, izin pertambangan minerba di NTT meningkat tajam. Pada 2019 lalu, Pemerintah Provinsi NTT melakukan moratorium tambang, tetapi tidak bertahan lama.
Moratorium hanya berlaku satu tahun dan bersifat administratif. Kenyataannya, di lapangan, pertambangan memicu lahirnya banyak krisis.
baca juga : Pabrik Semen Vs Keteguhan Orang Flores Pertahankan Ekologi Pulau Kecil
Monopoli dan Eksploitasi
Pertemuan itu melahirkan Gerakan Rakyat Flores-Lembata (Gerak Florata) dan mengeluarkan resolusi pada Rabu (19/1/2022).
Koordinator Gerak Florata, Antonius Johanis Bala, menjelaskan resolusi dibuat menghadapi tantangan yang besar dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, spiritualitas terutama terkait tanah dan sumber daya alam serta kehidupan berkeyakinan dari leluhur yang masih dianut.
John sapaannya sebutkan wilayah-wilayah adat diserahkan pemerintah kepada pihak-pihak lain tanpa melalui persetujuan masyarakat adat, demi pembangunan proyek strategis nasional seperti pembangunan waduk dan wisata premium Komodo, kehutanan, pertambangan mineral dan geothermal, HGU, pesisir dan laut.
“Monopoli dan eksploitasi kekayaaan alam dibiarkan terjadi di daratan Flores dan Lembata, “ ungkapnya.
John paparkan, sedikitnya terdapat 209.779 ha izin tambang, 1.362 ha HGU, 524.840 ha klaim kawasan hutan, dan 400 ha Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Di NTT, lumrah dijumpai perampasan tanah dan wilayah adat atas nama pembangunan untuk kepentingan umum dan investasi. Pemerintah mengerahkan birokrasi, anggaran, bahkan aparat bersenjata guna mempercepat pembangunan.
“Ini juga dilakukan untuk membungkam perjuangan dan tuntutan para petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan di lapangan,” ucapnya.
Dampaknya sebut John, telah terjadi 48 konflik agraria seluas 35.968 ha sejak 2017-2021. Ini merupakan bukti nyata bagaimana kebijakan pengaturan kekayaan alam NTT masih dijalankan dan dikontrol oleh kekuasaan atau pemodal.
baca juga : Meningkatnya Konflik Agraria di NTT, WALHI Minta Gubernur dan DPRD Cepat Bertindak
Perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh negara dan swasta yang beroperasi di wilayah adat, telah menghilangkan hak-hak dasar masyarakat adat, memiskinkan dan merampas tanah.
“Dampaknya menimbulkan kerawanan pangan, kerawanan air, kerusakan ekologi, spiritualitas, sosial dan lingkungan di wilayah adat,” ungkapnya.
Membahayakan Ekosistem
Gerak Florata sebutkan pemerintah telah terbukti bersalah menyalahi UUD 1945 dengan mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan undang-undang tersebut.
“Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk memaksakan pembangunan proyek-proyek di NTT yang berkedok kepentingan umum dan investasi,” tegas John.
Pihaknya menuntut negara untuk segera mengembalikan hak konstitusional rakyat atas sumber agraria dan kekayaan alam lainnya yang telah dirampas oleh perusahaan dan pemerintah.
Mereka mendesak pemerintah menghentikan seluruh represifitas negara baik melalui kebijakan maupun aparat bersenjata demi kepentingan bisnis para pemodal.
Mereka meminta pencabuta kebijakan dan aturan hukum yang mempermudah perampasan tanah seperti UU Cipta Kerja dan puluhan aturan pelaksananya, sebagaimana yang dimandatkan oleh putusan MK No.91/2021
Juga mendesak Presiden Jokowi untuk segera memerintahkan para menteri terkait dan kepala daerah se-daratan Flores-Lembata untuk menghentikan seluruh proyek pembangunan strategis nasional.
“Hentikan penerbitan dan pembaharuan izin atau hak di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan dan energi, pariwisata tanpa persetujuan masyarakat dan membahayakan keberlangsungan ekosistem,” tegasnya.
baca juga : Warga dan WALHI NTT Tolak Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?
John mengatakan pihaknya mendesak pemerintah segera membentuk peraturan perundang-undangan yang menjamin hak-hak masyarakat atas tanah, identitas budaya dan wilayah adat.
Selain itu, mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk segera menghentikan tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang bersikap kritis.
“Kami mengajak seluruh komponen rakyat se-Flores-Lembata untuk bersatu dalam perjuangan reforma agraria demi mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan dan masyarakat miskin lainnya di NTT,” ungkapnya.
Manfaat Ekonomi
Dalam pidato memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-76 tanggal 17 Agustus 2021 di Kupang, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan pembangunan infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan saat ini.
Viktor katakan, selain sebagai roda penggerak pembangunan, ketersediaan infrastruktur berbanding lurus dengan peningkatan kualitas hidup dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Hal inilah yang menyebabkan pembangunan infrastruktur dikategorikan sebagai bentuk investasi dengan tingkat pengembalian ekonomi dalam jangka panjang,” sebutnya.
Viktor sebutkan, mewujudkan investasi infrastruktur yang menyeluruh membutuhkan anggaran yang besar, sementara kemampuan APBD NTT sangat terbatas.
Oleh karena itu, katanya, Pemprov NTT membutuhkan sumber pendanaan lain melalui pinjaman daerah untuk investasi infrastruktur sebagai tindakan mengakselerasi pembangunan.
perlu dibaca : Konflik Komodo dengan Manusia di Taman Nasional Komodo. Kenapa Masih Terjadi?
Dikutip dari tempo.co, Viktor menjelaskan, pembangunan infrastruktur di kawasan wisata Taman Nasional Komodo (TNK) bertujuan untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan pengunjung.
Viktor katakan pengunjung yang datang harus dijamin keselamatan dan kenyamanan sehingga infrastruktur harus mendukung.
Dirinya menyampaikan terima kasih kepada UNESCO karena ikut memperhatikan aset negara, khususnya TNK yang merupakan kawasan konservasi alam dan jadi kebanggaan NTT.
“Apa yang dikerjakan oleh pemerintah Indonesia dan telah disetujui bersama presiden, untuk membantu agar TNK memiliki manfaat ekonomi yang besar bagi NTT,” ucapnya.