- Sambal lingkung adalah abon ikan atau serundeng. Makanan ini merupakan wujud kearifan masyarakat Melayu dalam memanfaatkan hasil ikan yang melimpah, sehingga tidak terbuang.
- Pulau Nangka, Kepulauan Bangka Belitung, merupakan sentra sambal lingkung. Sambal lingkung dibuat menggunakan sejumlah rempah. Antara lain bawang merah, bawang putih, kunyit, kemiri, serai, daun jeruk purut, laos, terasi, kelapa, gula, dan garam. Rasa pedasnya menggunakan cabai atau lada.
- Permasalahan yang dihadapi masyarakat pembuat sambal lingkung di Pulau Nangka adalah, selain modal juga berkurangnya hasil ikan, khususnya tenggiri.
- Selain sambal lingkung, masyarakat Melayu di Kepulauan Bangka Belitung memanfaatkan hasil laut menjadi rusip, terasi, kerupuk, dan ikan asin.
Masyarakat Melayu dikenal pintar mengolah makanan dari hasil alam yang melimpah. Salah satunya adalah sambal lingkung, yang masih banyak dibuat warga Pulau Nangka, Kepulauan Bangka Belitung.
“Sambal diolah dari sisa ikan melaut yang tidak laku dijual atau tidak sanggup dimakan lagi. Umumnya, ikan-ikan karang atau tenggiri yang memang ada musim penangkapan,” kata Marsidi [67], tokoh masyarakat Pulau Nangka kepada Mongabay Indonesia, pertengahan Januari 2022.
Sambal lingkung, biasa disebut serundeng atau abon ikan, dikenal juga di Palembang, Bengkulu, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau. Yang membedakan setiap daerah adalah pada bahan, terutama ikan laut [tenggiri] dan ikan sungai [gabus].
Selain untuk sambal, sisa ikan dijadikan pula sebagai ikan asin dan selai ikan. “Prinsipnya, kami tidak mau menyiakan apa yang diberi Tuhan melalui laut. Semua harus disyukuri dan dimanfaatkan,” lanjut Marsidi.
Baca: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah
Zaineb [60], istri Marsidi, menjelaskan sambal ini digunakan juga untuk isian lemper, risol, dan roti. “Saat Idul Fitri, wajib ada di setiap rumah. Enak nian dimakan dengan ketupat,” ujarnya.
Sambal lingkung berbahan sejumlah rempah. Antara lain bawang merah, bawang putih, kunyit, kemiri, serai, daun jeruk purut, laos, terasi, kelapa, gula, dan garam. Rasa pedasnya menggunakan cabai atau lada.
“Bila sakit flu atau badan tidak sehat, makan saja sambal ini, mudahan-mudahan kembali bugar,” kata Zaineb yang juga membuat ramuan obat tradisional.
Baca: Tigel, Tarian Suku Melayu untuk Menjaga Tujuh Bukit Permisan Bangka
Permasalahan
Sambal lingkung merupakan makanan lokal yang banyak dicari wisatawan, selain keripik siput gonggong, otak-otak, serta kerupuk udang dan cumi.
“Saya menjual Rp110 ribu per kilogram ke pedagang, sementara mereka menjualnya kisaran Rp125 ribu,” kata Maimunnah [70], pemasok sambal lingkung di Dusun Pulau Nangka.
Dijelaskan dia, modal untuk satu kilogram sekitar Rp75-80 ribu. “Ini karena harga ikan yang naik turun. Setiap bulan, rata-rata diproduksi sekitar 100 kilogram.”
Sukardi, Kepala Dusun Pulau Nangka, mengatakan bila sambal lingkung dari Pulau Nangka sangat terkenal. Banyak yang memesan. “Tapi masyarakat terkendala modal untuk mengembangkan.”
Permasalahan lain adalah menurunnya hasil tangkapan ikan. Laut tetap seperti dulu, tapi yang mencari ikan di sekitar Pulau Nangka bertambah. Saat ini, sejumlah warga coba mengembangkan sambal lingkung menggunakan ikan seminyak dan jebung.
“Rasanya enak dan sudah ada pemesan,” ujarnya.
Baca juga: Cara Unik Masyarakat Pulau Bangka Menjaga Kelestarian Satwa Liar
Kearifan lokal
Hasil laut yang melimpah, bagi masyarakat Melayu di Kepulauan Bangka Belitung, tidak hanya dijadikan sambal lingkung, tetapi juga dibuat rusip, terasi, dan ikan asin.
Sedangkan masyarakat yang memiliki kebun campuran [kelekak], ditanami durian, cempedak, dan manggis, dipastikan memproduksi tempoyak, serta dodol durian, dan cempedak.
“Sumber hidup kami bukan hanya lada dan buah, juga dari sungai dan laut, serta pengelolaan makanan hasil alam,” kata Agussari, warga Desa Puput, Kabupaten Bangka Tengah.
“Wajar jika leluhur kami menolak menjadi penambang pada masa Kesultanan Palembang, sehingga sultannya mendatangkan pekerja tambang dari China. Tidak benar jika disebutkan dalam catatan sejarah, leluhur kami pemalas karena tidak mau menjadi penambang. Menurut saya, mereka sudah hidup bahagia dengan hasil alam yang melimpah. Saat itu, Indonesia sudah dikenal dengan hasil rempah,” ujarnya.
Lantaran hidup dari hasil alam, leluhur kami sangat menjaga hutan, sungai, dan laut. Jika rusak, mereka yang rugi karena kehilangan sumber pangan dan ekonomi.
“Dapat dikatakan, hampir semua masyarakat Melayu di Bangka maupun Belitung sekolah atau naik haji karena hasil alam,” kata Agussari yang mengembangkan kelekak bersama pemuda desanya.