- Konflik agraria di Indonesia terus terjadi. Penyelesaian kasus-kasus agaria masih minim. Baru awal tahun kabar jerat hukum kepada masyarakat yang berupaya mempertahankan ruang hidup mereka sudah muncul, seperti terjadi di Wawonii. Sulawesi Tenggara.
- Dalam laporan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) yang baru rilis menunjukkan, konflik agraria masih tinggi di masa pandemi, termasuk dampak proyek strategis nasional. KPA menyebut, tiga sektor utama, yakni, perkebunan, pertambangan dan kehutanan, selalu mendominasi penyebab konflik agraria.
- Dewi Kartika, Sekjen KPA mengatakan, tak prioritas penyelesaian masalah menyebabkan konflik terus terakumulasi dan memunculkan letusan konflik baru. Perlu ada perubahan komprehensif dalam tata cara penerbitan izin, perlu evaluasi menyeluruh.
- Konflik agraria muncul karena kesenjangan kuasa lahan di Indonesia. Pemerintah muncul dengan program reforma agraria. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan dan dewan penasihat Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, reforma agraria membutuhkan status tanah bersih baik de facto maupun de jure agar memberikan kepastian saat distribusi kepada yang berhak.
Baru awal tahun, kabar jerat hukum kepada masyarakat yang berupaya mempertahankan ruang hidup mereka sudah muncul. Konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia terus terjadi. Kabar teranyar dari Wawonii Tenggara, misal, tiga warga Desa Sukarela Jaya, pejuang penolak tambang perusahaan ditangkap polisi 24 Januari ini.
Ancaman kepada para pembela lingkungan di berbagai daerah diperkirakan terus berlangsung. Warga Desa Wadas (Purworejo, Jawa Tengah), Pakel (Banyuwangi, Jawa Timur) sampai Kinipan (Lamandau, Kalimantan Tengah) dan banyak lagi, alami masalah agraria.
Dalam laporan Konsorsium Pembaharuan Agraria yang baru rilis menunjukkan, konflik agraria masih tinggi di masa pandemi, termasuk dampak proyek strategis nasional. KPA menyebut, tiga sektor utama, yakni, perkebunan, pertambangan dan kehutanan, selalu mendominasi penyebab konflik agraria.
“Konflik agraria masih tinggi di tengah pandemi tahun kedua, ternyata pemerintah belum ada terobosan politik dan hukum dalam menyelesaikan konflik agraria,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria dalam webinar Catatan Akhir Tahun 2021 KPA, belum lama ini.
Tidak ada prioritas penyelesaian masalah ini, katanya, menyebabkan konflik terus terakumulasi dan memunculkan letusan konflik baru. Jadi, perlu ada perubahan komprehensif dalam tata cara penerbitan izin. “Perlu evaluasi menyeluruh.”
PSN bermasalah
Pada 2021, KPA mencatat proyek strategis nasional menyebabkan 38 konflik agraria, terutama karena pengadaan tanah seperti pembangunan jalan tol, bendungan, pelabuhan dan kereta api. Begitu juga pengadaan tanah untuk kawasan industri, pariwisata hingga pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK).
“Konflik agraria infrastruktur ini mengalami lonjakan tinggi 123% dibandingkan 2020. Dari 17 kasus jadi 38 kasus,” katanya.
Kalau mengaitkan dengan luas pengadaan lahan pemerintah untuk PSN berasal dari konflik agraria, mencapai 49,5%.
Dewi bilang, lonjakan konflik dimulai dari ambisi percepatan proyek PSN, didukung beberapa regulasi guna mempercepat eksekusi dengan mengabaikan hak-hak warga atas lahan.
Aturan itu, katanya, seperti Perpres Nomor 109/2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. KPA pun mencatat, lebih 200 proyek bisnis raksasa milik pengusaha ‘diuntungkan’ PSN dengan dalih kepentingan umum.
Ada juga Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7/2021 tentang Perubahan Daftar PSN, pada September 2021. Dia nilai, regulasi ini untuk menjamin kelancaran proyek namun berujung konflik lahan.
“Sebulan setelah (peluncuran regulasi itu), KPA mencatat dari Oktober hingga Desember sudah terjadi 18 konflik seluas 2.433 hektar.”
Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Reforma Agraria Masih Jauh dari Harapan
Sepanjang 2021, ada 207 konflik agraria bersifat struktural tersebar di 32 provinsi dengan 507 desa dan kota. Ia berdampak pada 198.895 keluarga dengan luasan 500.062,58 hektar. Masalah agraria paling banyak terjadi di Jawa Timur dengan 30 kasus, Jawa Barat (17) dan Riau (16).
Meski mengalami penurunan dari tahun sebelumnya ada 241 kasus, konflik agraria naik signifikan di sektor pembangunan infrastruktur (73%) dan pertambangan (167%).
Berdasarkan sektor, penyumbang konflik tertinggi masih perkebunan dengan 74 konflik, diikuti proyek infrastruktur 52 kasus dan tambang 30 kasus.
Penyelesaian konflik agraria KPA nilai masih pakai cara lama yang menyebabkan masalah akut dan terakumulasi ini tak kunjung tuntas. Konflik pun makin menyasar pada area masyarakat bermukim, wilayah padat penduduk dan wilayah kelola masyarakat.
Ada kenaikan signifikan korban terdampak, dari 135.337 keluarga (2020) jadi 198.859 keluarga (2021).
Menurut Dewi, saat bisnis pengusaha jadi alat pembangunan untuk kepentingan segelintir elit, maka konflik agraria, kriminalisasi, kerusakan lingkungan yang berdampak pada kemiskinan masyarakat, akan terus terjadi.
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, penyelesaian konflik agaria sulit karena alat kontrol perizinan dengan otoritas penerbit izin itu terpisah. Penerbit izin di kementerian dan penegakan hukum di kepolisian.
“Hingga banyak para pejuang lingkungan itu dikriminalisasi,”
Dia katakan, penting ada devisi penegakan hukum di setiap kementerian dalam menerbitkan izin agar ada pengawasan ketat.
KPA menilai konflik agraria dari pengadaan tanah karena ada tumpang tindih antara lain dengan lahan pertanian masyarakat.
“Prosesnya tergesa-gesa, tidak transparan dan tidak partisipatif. Proses pun abai menghormati dan melindungi hak konstitusional warga terdampak, dan cenderung menempatkan masyarakatt sebagai obyek ketimbang subyek pembangunan,” kata Dewi.
Surya Tjandra, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang bilang, konflik lahan terus terjadi karena ketersediaan lahan tak sepadan dengan jumlah penduduk. Jadi, mengacu pencabutan izin yang disampaikan presiden, penetapan tanah terlantar akan keluar untuk reforma agraria. “Tidak hanya RA (reforma agraria), ada kombinasi, tujuannya unuk penataan ulang akses kepemilikan tanah,” katanya dalam diskusi live GreenTalk di kanal Beritasatu.
Baca juga: Konflik Agraria Petani vs BUMN Terus Terjadi
Konflik pertanahan, katanya, ada juga timbul karena ketidakselarasan administrasi pertanahan. Kementerian ATR/BPN lewat kebijakan satu peta (one map) ingin mewujudkan tata kelola pertanahan sebagai sarana mencegah konflik lahan di Indonesia.
Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK mengatakan pemerintah terus berusaha menyelesaikan konflik agraria dengan pendekatan Perhutanan Sosial dan Tanah Obyek Reforma Agraria.
“Kita berusaha betul bagaimana instrumen kebijakan itu menyelesaikan penguasaan tanah dalam kawasan hutan dan bisa dengan pendekatan pemetaan,” katanya.
Menurut Zenzi dan Dewi, penetapan wilayah perhutanan sosal dan tanah obyek reforma agraria (Tora) tidak partisipatif (top-down) dan tak mencocokkan dengan situasi agraria di lapangan. “Itu tidak menyasar wilayah agraria masyarakat dan lahan produktif dalam konsesi,” kata Dewi.
Perhutanan sosial dan Tora sudah berlangsung lama, tetapi tak berdampak signifikan dalam penetapan peta indifikatif wilayah Tora. “Itu semua dari atas, bukan wilayah yang berkonflik hingga tidak menjawab konflik, malah memunculkan konflik baru. Pemegang izin perhutanan sosial dari wilayah yang bukan subyek wilayah itu.”
Karut marut
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan dan dewan penasihat Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB mengatakan, reforma agraria membutuhkan status tanah bersih baik de facto maupun de jure agar memberikan kepastian saat distribusi kepada yang berhak.
Kondisi yang terjadi, tanah masyarakat tumpang tindih dengan perkebunan, maupun pertambangan dan lain-lain hingga terus terjadi konflik.
Data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian pada 2017 menyebutkan, mereka memfasilitasi penanganan konflik perkebunan delapan kasus di sembilan provinsi. Pada 2018, ada 24 kasus di 21 provinsi, 2019 ada 21 kasus di 20 provinsi, dan 2021 tiga kasus di tiga provinsi.
Selain itu, katanya, juga ada indikasi korupsi dan mafia tanah dalam isu agraria. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2017 sampai Oktober 2021 menerima 842 laporan masalah pertanahan, terutama di perkotaan dengan tanah berharga mahal. Perhatian tertinggi karena melibatkan mafia tanah. Mafia tanah menggurita, kata Hariadi, melibatkan pejabat pemerintah.
Kalau melihat bentangan corruption risk assessment (CRA) meliputi pemaksaan kewenangan, birokrasi berlebihan, dan suap.
Dengan kondisi tata kelola buruk menimbulkan potensi biaya transaksi mulai informasi sampai pengambilan keputusan mahal.
Modusnya, memalsukan dokumen, mencari legalitas di pengadilan, rekayasa perkara, kolusi dengan oknum aparat untuk legalitas. Bahkan terjadi kejahatan korporasi seperti penggelapan dan penipuan, pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah.
“Operasi mafia tanah seringkali tidak berhenti pada pemalsuan administrasi. Tetapi terdapat kegiatan lanjutan yang mengubah tata ruang hingga berlangsung proyek infrastruktur,” katanya.
Hariadi menyoroti, alokasi kawasan hutan untuk Tora seluas 2,6 juta hektar yang dilepaskan dan diserahkan kepada KATR. Dari 20% pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan seluas 429.358 hektar, terdiri atas 195 surat keputusan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Maluku.
Sedangkan alokasi TORA dari hutan produksi konversi (HPK) dari hutan tidak produktif seluas 938.878 hektar, pencadangan percetakan tanah 39.229 hektar. Pelepasan hutan untuk transmigrasi 267.351 hektar dan alokasi penggunaan lain (APL) 259.966 hektar.
Penyediaan lahan garapan masyarakat seluas 307.516 hektar, menyesuaikan tata ruang di Kalimantan Timur, Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan 296.061 hektar, buat konsesi swasta 51.029 hektar, perubahan batas kawasan hutan 98.834 hektar serta persetujuan pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan di 130 Kabupaten Kota 228.830 hektar.
“Semua dilepaskan dari kawasan hutan untuk diproses lebih lanjut dalam sertifikat oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” katanya.
Namun, katanya, hingga kini belum mendapat kepastian, lantaran ada problem kelembagaan.
Bayu Eka Yulian, Kepala Pusat Studi Agraria IPB menuturkan politik agraria di Indoneia tak bisa melupakan masa lalu, dari era kolonial, Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi. Fase monumental, katanya, dengan pengesahan Undang-undang Pokok Agraria.
Dalam konteks ekonomi globlal, katanya, terjadi liberalisasi agraria lantaran negara utara yang lebih sejahtera dibandingkan selatan– miskin/ berkembang tetapi kaya sumber daya alam. Negara utara ekspansi ke selatan termasuk Asia Tenggara dengan kompensasi menyediakan lahan dan tenaga kerja murah. Negara berkembang terjepit dari atas ditekan globalisasi ekonomi, dari samping oleh privatisasi dengan wujud konsesi skala besar.
Sedangkan pasca reformasi menguat desentraslisasi, ternyata otonomi menimbukan kekuasaan raja kecil. Konflik agraria dan sumber daya alam terjadi di sejumlah daerah.
“Hampir di semua provinsi, konflik agraria meletus di sana-sini,” katanya.
Sejalan dengan itu, lahan pertanian terus menyusut. Dalam sensus pertanian 2003 ada 9,3 juta petani menguasai lahan kurang 0,1 hektar. Pada 2013, menyusut njadi 5 juta petani atau turun 53,7%.
“Sebanyak 5 juta petani memiliki lahan sempit menghilang. Apakah jadi petani kaya? Ternyata tidak,” katanya.
Dalam kajian sejumlah peneliti menunjukkan, mereka beralih bekerja di sektor informal dan buruh industri. Sedangkan di sektor pertanian sudah memasuki usia lanjut. “Lahan pertanian terdesak,” katanya.
Jumlah rumah tangga petani pun menyusut, pada 2003 sebanyak 31,23 juta, 10 tahun kemudian tersisa 26,14 juta.
Selama 2015-2020, pemerintah targetkan reforma agraria 9 juta hektar, dengan realisai 8,3 juta hektar. Legalisasi aset target 4,5 juta terelasisasi 6,9 juta. Redistribusi lahan target 4,5 juta hektare terealisasi 1,32 juta hektar.
“Reforma agraria tanpa perbaikan tata kelola.”
Menurut dia, urgen reforma agraria harus holistik didukung perbaikan tata kelola agraria.
“Penting merumuskan batasan ekspansi penguasaan ruang agraria dari korporasi besar dengan memperhatikan kebutuhan petani kecil dan wilayah lindung,” katanya.
Setop danai perusak lingkungan
Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia bicara dari sektor pembiayaan. Dia bilang, industri ekstraktif di Indonesia tak bisa terpisah dari negara lain. Pembiayaan untuk perusahaan pengolah kayu dan sawit, misal, didominasi bank asing. “Meski BRI cukup besar untuk sektor HTI (hutan tanaman industri),” katanya.
Sebanyak 10 bank besar membiayai 16 perusahaan di Indonesia selama lima tahun terakhir gelontorkan pembiayaan hingga US$ 38 miliar dengan sekitar 70% investor terbesar dari Malaysia. BRI, BCA dan Mandiri juga mengalokasi anggaran cukup besar untuk bisnis ini.
Sekitar 65% perkebunan sawit, katanya, beroperasi ilegal seperti tidak memiliki hak guna usaha. “Kerugian negara mencapai Rp20 triliun per tahun,” kata Edi.
Selain itu, banyak perusahaan secara eksisting tanpa HGU, tingkat kepatuhan atas pajak rendah. “Jika ingin perbaikan tata kelola sumberdaya alam OJK harus serius meminta perbankan mereview perusahaan yang melanggar hukum, tak taat pajak dan merusak lingkungan.”
OJK, katanya, perlu meningkatkan pengawasan, koordinasi dengan KPK dan rencana strategis untuk mengatasi masalah ini. Terutama menyangkut sanksi atas perbankan yang melanggar.
********
Foto utama: