Pandemi COVID-9 belum berakhir. Penerapan protokol kesehatan dan program vaksinasi masih terus digalakkan, terkini dengan program vaksin booster. Sejalan dengan itu, musibah dan bencana alam saling susul mendera kehidupan menambah panjang daftar penderitaan anak-anak bangsa. Dari banjir, longsor, puting beliung, maupun erupsi Semeru dan lain-lain.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dampak perubahan iklim jadikan tren suhu pada 2022 ini lebih tinggi dan berpotensi menimbulkan ancaman bencana hidrometeorologi. Pemanasan global (global warming) memicu kenaikan volume permukaan air laut sebagai akibat es di kutub mencair yang dapat menenggelamkan sebagian besar permukaan bumi.
Aneka fenomena ini senyatanya hendak mengkonfirmasi, kondisi kesehatan fisik dan psikis Ibu Pertiwi sedang terganggu (sakit). Saat ini, tak satu pun area ekosistem (darat, air, udara) steril dari pencemaran (polusi) sebagai akibat perlakuan manusia terhadap lingkungan hidup.
Pergeseran gaya hidup mengarah pada hedonis materialistis, tak mengenal rasa cukup dan puas, menyudutkan alam dan sesama sebagai obyek untuk dieksploitasi. Lupa kalau jumlah dan sebaran sumber daya alam (SDA) amatlah terbatas.
Chapman dkk (2007) dalam bukunya berjudul “Bumi yang Terdesak,” menyatakan, populasi manusia tak hanya tumbuh secara eksponensial, tetapi gaya hidup dan pola konsumsi manusia mendorong munculnya teknologi yang makin merusak lingkungan.
Teknologi modern yang dikembangkan guna mendukung pola konsumsi berlebihan ini menghasilkan bahaya lingkungan begitu besar, seperti ozon berlubang dan perubahan iklim karena ulah manusia.
Saat ini, manusia jadi egois, rakus dan tidak peduli lagi terhadap kelestarian alam dan sesama. Kebebasan menyampaikan pendapat di ruang publik disalahartikan seolah boleh saling mencela dan menghujat saat terjadi perbedaan pendapat atau pandangan.
Relasi dengan liyan yang seyogianya akrab dan bersahabat (Homo homini socius) pun mulai bergeser. Tak lagi berkawan. Sebaliknya, justru lebih mirip segerombolan kawanan serigala (Homo homini lupus), cenderung reaktif, saling lawan dan melukai.
Emil Salim, tokoh lingkungan pernah berpesan, senyatanya yang membedakan manusia dengan hewan adalah daya nalarnya. Hewan tak punya daya nalar. Kehidupan dan peradaban akan dimenangkan dan dibangun oleh mereka yang mampu mengembangkan daya nalar melalui pendidikan science, technology, rngineering, mathematics dan humanity (STEMH).
Di samping krisis lingkungan, fenomena krisis relasi sosial pun perlu mendapatkan atensi secara serius. Dunia pendidikan tak steril terhadap gempuran dan gerusan atas karakter dan akhlak. Tampak melalui marak aksi perundungan (bullying) dan kekerasan seksual oleh oknum pengajar dan pendidik (guru) terhadap nara didiknya.
Aksi perundungan dan kekerasan seksual oleh oknum guru tak bertanggungjawab ini telah menodai citra dunia pendidikan yang diharapkan sebagai inkubator penyemaian nilai-nilai luhur, karakter unggul, dan akhlak mulia sebagaimana dicita-citakan bangsa.
Karakter unggul dan akhlak mulia anak-anak bangsa terancam menumpul dan tergerus aneka ragam tontonan dan gaya hidup tren sesaat yang berpotensi menyesatkan. Terkini, fenomena boneka arwah (spirit doll) di kalangan artis yang seyogianya jadi figur teladan publik kembali menyentak kesadaran kita sebagai bangsa yang bertaqwa.
Ringkasnya, marak fenomena krisis lingkungan dan krisis akhlak yang mendera Ibu Pertiwi saat ini merupakan indikator konkret bahwa kesadaran publik dalam memahami dan memaknai hakekat alam dan relasi sosial masih perlu mendapatkan ekstra perhatian serius.
Peran pendidikan
Butet Manurung, aktivis pendidikan menyatakan, pendidikan adalah kunci bagi masyarakat adat untuk melindungi hutan. Saat ini, deforestasi dan penebangan liar (illegal logging) oleh para penjahat lingkungan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum sepenuhnya tertangani tuntas.
Akibat dari penghancuran dan penebangan liar jadikan hutan kehilangan fungsi utama sebagai pengatur siklus hidrologi. Hutan kehilangan peran tajuk dan perakaran sebagai filter alami atas pukulan air hujan dan sebagai penghambat arus permukaan (run off).
Selanjutnya, gangguan atas siklus hidrologi akan berdampak terhadap kerusakan lingkungan yang lebih luas (global).
Kabir, seniman besar India pernah menulis metafora, “Aku tertawa, ikan mati kehausan di dalam air.” Apa yang disampaikan Kabir, mirip dengan ungkapan “Bagai anak ayam mati di lumbung padi.” Ironis, kehausan dan kelaparan justru di tempat yang semestinya menyegarkan dan mengenyangkan.
Bila di tempat yang menyegarkan dan mengenyangkan sampai terjadi musibah kehausan dan kelaparan, hanya ada satu kemungkingan, yakni ketidakmampuan memberdayakan, mencerna dan memaanfaatkan sumber daya dengan baik dan benar.
Dalam upaya memulihkan kembali kondisi kesehatan Ibu Pertiwi sebagai tempat tinggal semua makhluk, perlu upaya penyadaran global dalam memaknai hakekat alam dan pemanfaatan sumber daya alam dengan bijaksana. Pemanfaatan sumber daya alam haruslah tepat guna, tidak boros, dan berorientasi pada masa depan.
Sebagai upaya penyadaran, perlu diingatkan terus-menerus kalau saat ini sedang ‘meminjam’ alam semesta (bumi) dari anak cucu yang wajib ‘mengembalikan’ berikut bunganya.
Implementasi konkret dari aktivitas pendidikan di rumah dan sekolah dapat dalam bentuk gaya hidup hijau. Ini model gaya hidup keseharian yang ramah lingkungan, seperti belajar membuang sampah pada tempatnya, memanfaatkan kembali barang yang telah terpakai (reuse). Juga pendaurulangan limbah rumah tangga (recycle), hingga gemar dan giat menanam pepohonan di lahan kritis (reboisasi).
Dengan demikian, kita boleh berharap secara perlahan namun pasti, Ibu Pertiwi akan kembali sehat, remaja kembali, dan awet muda.
Saatnya menyuarakan pesan-pesan ekologis dan ajakan kepada umat manusia sejagad untuk menumbuhkembangkan pola pikir dan perilaku yang lebih peduli dan ramah terhadap alam dan sesama.
“ Penulis: Thio Hok Lay, Koordinator Biologi, Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta. Penulis Buku ”Mendidik, Memahkotai Kehidupan” (2020). Tulisan ini adalah opini penulis.
******