- Perusahaan sawit anak usaha Samsung di Riau, PT Gandaerah Hendana, bebas dari jerat hukum kebakaran hutan dan lahan seluas 580 hektar di areal hak guna usaha (HGU) yang terjadi September 2019. Aktivis lingkungan pun mengkritik putusan majelis hakim ini.
- Putusan hukum pada Januari lalu ini sekaligus membatalkan vonis Pengadilan Negeri Rengat. Di pengadilan tingkat pertama dengan majelis hakim Nora Gaberia Pasaribu, Maharani Debora Manullang dan Mochamad Adib Zain ini, perusahaan sawit ini dinyatakan sengaja merusak lingkungan hidup.
- Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau mengatakan, sebelum ada pembatalan hak guna usaha, perusahaan sawit Gandaerah masih bertanggungjawab terhadap kebakaran di konsesinya. Penguasaan masyarakat tidak menghapus legalitas HGU perusahaan.
- Jikalahari menyoroti kinerja KATR/BPN di Riau, karena cepat mengamini permohonan perusahaan sawit ini untuk keluarkan lahan dari konsesi saat proses hukum berjalan. Perusahaan usulkan enclave Desember 2020, disetujui Kanwil BPN Riau dan Kantor Pertanahan Indragiri Hulu, Januari 2021 alias tak sampai satu bulan.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru, memutuskan perusahaan sawit, PT Gandaerah Hendana (Gandaerah) tidak bersalah atas kebakaran 580 hektar areal hak guna usaha (HGU) yang terjadi September 2019.
Menurut majelis yang diketuai Panusunan Harahap beserta anggota Syafwan Jubir dan Khairul Fuad, terjadi sengketa kepemilikan lokasi kebakaran dan dalam penguasaan masyarakat. Hingga masyarakatlah yang tanggungjawab, karena perusahaan tidak menguasai langsung areal itu.
Ada beberapa alasan majelis bebaskan Gandaerah seperti, perusahaan memiliki HGU No 16/1997 sedangkan masyarakat surat keterangan ganti rugi (SKGR). Hakim nyatakan juga, Gandaerah sudah berusaha lakukan pendekatan kepada masyarakat maupun jalur hukum, tetapi belum menemukan hasil. Upaya perusahaan ini membatalkan SKGR masyarakat ke PTUN juga tidak diterima majelis hakim.
Alasan lain, Gandaerah tidak mungkin mengeluarkan areal berkonflik, sebelum kebakaran perusahaan sudah bikin parit pemisah untuk membedakan areal yang dikuasai dan masyarakat. Dengan begitu diketahui areal terbakar di bawah penguasaan masyarakat.
“Kalau merujuk norma, hakim keliru. Rumusan dakwaan jaksa, bukan perbuatan atau terjadinya kebakaran, tapi akibat dari kebakaran yang mengakibat dilampauinya baku mutu dan kerusakan lingkungan,” kritik Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau.
Secara formil, katanya, majelis hakim tinggi sesuai prosedur. Majelis, bebas menentukan pertimbangan, mau menguatkan, membatalkan, atau mengubah putusan.
Putusan hukum pada Januari lalu ini sekaligus membatalkan vonis Pengadilan Negeri Rengat. Di pengadilan tingkat pertama dengan majelis hakim Nora Gaberia Pasaribu, Maharani Debora Manullang dan Mochamad Adib Zain ini Gandaerah dinyatakan sengaja merusak lingkungan hidup.
Pertimbangan majelis pertama lebih jelas. Menurut majelis, Gandaerah wajib melindungi, mencegah dan mengendalikan kebakaran di lokasi usahanya. Perintah itu tertuang dalam surat keputusan pemberian izin, termasuk komitmen dalam dokumen lingkungan yang jadi pedoman kerja perusahaan.
Ihwal okupasi masyarakat, majelis berpendapat, Gandaerah mestinya mengajukan pelepasan lahan pada Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Bukan membiarkan lahan dikuasai masyarakat dan mengeluarkan dari peta kerja.
Apalagi, karyawan yang mengelola kebun secara langsung tidak mengetahui informasi areal kerjanya. Sikap perusahaan, kata hakim, tidak dibenarkan secara hukum.
Baca juga: Kala Pengadilan Rengat Hukum Ratusan Miliar Perusahaan Sawit Samsung di Riau
Perusahaan ini punya HGU seluas 6.087 hektar sejak 1997. Sekitar 2.791 hektar dikuasai masyarakat Desa Redang Seko, Banjar Balam, Seko Lubuk Tigo (Seluti) dan Lb Sari, Kecamatan Lirik, Indragiri Hulu.
Pada 3-24 September 2019, sekitar 360 hektar areal di Seluti terbakar, belum termasuk kebakaran di HGU lain. Luas kebakaran semua 580 hektar. Pasca kebakaran, Gandaerah baru mengusulkan pelepasan areal itu ke Kantor Pertanahan Indragiri Hulu.
Boy pun beri catatan atas putusan hakim itu. Sebelum ada pembatalan HGU, Gandaerah masih bertanggungjawab terhadap kebakaran di konsesinya. Penguasaan masyarakat tidak menghapus legalitas HGU perusahaan.
Perusahaan, katanya juga tidak beritikad baik. Tindakan Handaerah memisah lokasi dengan masyarakat lewat parit pembatas, bertentangan dengan kewajiban agar menata ulang HGU. Seharusnya, perusahaan mengusulkan pelepasan jauh hari, bukan membiarkan sengketa berlarut-larut.
“Setelah terjadi kebakaran, baru mengajukan enclave untuk hindari tanggungjawab pidana. Gandaerah penuh tipu muslihat. Ini sekaligus membantah pertimbangan hakim yang menyatakan perusahaan tidak mungkin mengajukan pelepasan.”
Rekam jejak
Panusunan Harahap dilantik sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru, 8 Februari 2021, belum setahun ketika membebaskan Gandaerah.
Berdasarkan penelusuran Senarai—lembaga swadaya masyarakat yang memantau perkara lingkungan dan korupsi dari ruang sidang—Panusunan banyak menangani perkara tindak pidana korupsi. Di tangannya, rata-rata hukuman pelaku diperberat.
Namun pada 2009, katanya, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyatakan Panusunan, satu dari enam hakim tipikor disebut berpotensi melemahkan pengadilan maupun KPK. Salah satu alasan, Panusunan pernah membebaskan terdakwa kasus korupsi di TVRI.
Meski begitu, akhir Januari lalu, Panurunan masuk seleksi kualitas calon Hakim Agung yang diumumkan Komisi Yudisial. Tercatat ada 55 calon, masing-masing untuk kamar pidana, perdata, agama dan tata usaha negara khusus pajak, yang berhak mengikuti seleksi kesehatan dan kepribadian, Panusunan salah satunya.
Jeffri Sianturi, Koordinator Umum Senarai mendesak, Komisi Yudisial meninjau ulang nama Panusunan dengan alasan rekam jejak itu. Juga meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung memerika hakim yang membebaskan perusahaan sawit ini.
Tak hanya karhutla
Menurut Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari, masalah dan pelanggaran kepatuhan Gandaerah tidak hanya kebakaran lahan.
Okto mengutip temuan Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan DPRD Riau 2015, perusahaan ini terindikasi menanam sawit dalam kawasan hutan. Jikalahari dan Koalisi Rakyat Riau (KRR), kemudian melaporkan Gandaerah berikut 33 perusahaan lain ke Ditreskirmsus Polda Riau, Januari 2017.
“Gandaerah juga merugikan negara dari sektor pajak, dalam perhitungan Pansus DPRD Riau mencapai Rp50,2 miliar per tahun.”
Okto pun menyoroti kinerja KATR/BPN di Riau, karena cepat mengamini permohonan Gandaerah untuk keluarkan lahan dari konsesi saat proses hukum berjalan. Perusahaan usulkan enclave Desember 2020, disetujui Kanwil BPN Riau dan Kantor Pertanahan Indragiri Hulu, Januari 2021. Tak sampai satu bulan.
BPN dinilai tidak berperan dalam pencegahan karhutla. Tidak ada kebijakan terkait pencegahan, pengendalian dan pasca kebakaran di areal yang jadi kewenangannya.
Pada kasus Gandaerah ini, Okto melihat ada potensi rasuah di sektor pertanahan.
“Sesuai perintah presiden, harusnya BPN Indragiri Hulu beri sanksi pada Gandaerah karena biarkan lahan terbakar. Tindakan BPN menerima permintaan perusahaan [saat proses hukum] bentuk dukungan negara agar perusahaan itu terlepas dari proses hukum.”
******
Foto utama: Ilustrasi. Bencana kebakaran hutan dan lahan jadi langganan di Riau, terparah antara lain pada 2019, antara lain terjadi di konsesi perkebunan sawit PT Gandaerah Hendana. Proses hukum di PN Rengat, perusahaan vonis bersalah. Pengadilan Tinggi Pekanbaru, menganulir putusan PN Rengat. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia