- Kampung Berua, Desa Salenrang, Maros, Sulawesi Selatan adalah pusat tujuan wisata Rammang-rammang. Kampung ini kini sering terkena banjir.
- Pada Fabruari lalu, banjir menggenangi lahan persawahan hingga warga gagal panen padi. Banjir menggenangi lahan di Berua pada 20-24 Februari 2022, antara 60 cm sampai satu meter.
- Pada 2021, Kampung Berua banjir sampai enam kali. Baru Januari dan Februari 2022, Berusa sudah banjir tiga kali.
- Sungai menyempit dan alami sedimentasi antara lain penyebab banjir yang kini kerap melanda Kampung Berua. Kalau dulu, saat hujan berhari-hari baru banjir. Berbeda saat ini, hujan sebentar sudah banjir.
Iyajji berjalan di pematang, mendekati rawa yang bersisihan dengan lahan padinya. Dia angkat kail dan memperbaiki umpan, menancapkan joran lalu kembali ke rumah, duduk di teras sambil memandang petakan sawahnya, 25 Februari lalu.
“Ini sudah gagal. Harusnya, kalau padi sudah keluar buah, airnya dikeluarkan. Ini mau bagaimana, terendam banjir. Padi mati. Itu sudah tidak bisa lagi baik. Paling hanya beberapa karung, kalau ada,” katanya.
Iyajji, usia 60 tahun. Dia tinggal di Kampung Berua, Desa Salenrang, Maros, Sulawesi Selatan. Menurut orang-orang yang berkunjung ke sini, tempat ini bak surga yang tersembunyi. Kampung yang jadi bagian dari wisata alam Rammang-rammang.
Berua, adalah tujuan utama saat mengunjungi kampung wisata Rammang-rammang. Para pengunjung, akan menjangkau tempat ini dengan perahu wisata. Melewati aliran sungai dengan kiri kanan mangrove rimbun– dominan nipah – dan tebing karst tergerus air berbentuk terowongan.
Ribuan pengunjung setiap tahun menapaki Berua. Mereka datang menikmati kampung berkeliling tebing karst. Melihat burung elang terbang rendah, menyaksikan burung raja udang melesat, atau ketika menjelang malam sekitar pukul 18.30 akan melihat kawanan kelewar keluar dari gua. Kelelawar itu akan membentuk formasi yang selalu berubah, dan suara, seperti berbunyi, “wuzzzzz.”
Kelelawar adalah bagian penting dari siklus dan ekosistem, termasuk kawasan karst. Di Berua, kelelawar itu jenis Microchiroptera (kelelawar kecil) yang dalam bahasa setempat disebut paniki. Meski demikian, penyebutan paniki ini merujuk pada semua jenis kelelawar.
Paniki kecil dalam gua ini berperan sebagai penyedia energi ekosistem bagi organisme di dalamnya. Hewan itu menempel di langit-langit dan dinding gua, dan kotoran menjadi persediaan pakan bagi organisme di lantai gua.
Kalau sedikit sabar, mendekati gua hunian kelelawar di ketinggian akan menyaksikan burung elang yang menunggu kesempatan menangkap kelelawar dengan cakar nan kuat. Kelelawar jenis ini juga predator ulung beberapa jenis serangga yang jadi hama pertanian. Kotoran kelelawar pun menjadi pupuk organik (guano) bagi masyarakat.
Rammang-rammang secara bentang alam adalah paduan yang menawan. Di tempat ini, tak hanya keragaman hayati, juga gua yang tercatat sebagai situs purbakala dengan lukisan dinding memukau.
Berbagai hal itu apakah bagian dari daya tarik wisata, yang digaungkan sebagai ekowisata?
Darwis, anak dari Iyajji, menyangsikan itu. Pria 37 tahun ini melihat perubahaan sosial di Berua. Beberapa petak tambak mulai tak terurus, karena pemilik memilih jadi pengantar pengunjung dengan perahu bermesin. Dia juga menyaksikan, makin sedikit yang rumah pakai atap daun nipah karena berganti ke seng. “Setelah pariwisata jadi semangat baru, sudah tidak ada lagi yang menganyam atap nipah,” katanya.
Warga juga tak lagi panen daun nipah untuk bikin topi caping petani. “Itu hilang di kampung.”
Meskipun begitu, katanya, wisata tentu ada yang membawa perubahaan baik. Pematang sawah dan tambang, di beberapa titik sudah dibuatkan jalan dengan papan kayu untuk kenyamanan pengunjung. Warga juga mulai membuka warung untuk jualan.
Baca juga: Warga Rammang-rammang Gundah, Lahan Tani Terkena Proyek Rel Kereta Api

***
Empat belibis sedang bermain di rawa depan rumah. Beberapa bangau terbang rendah dan yang lain melompat untuk menangkap ikan kecil. Di depannya, sawah seluas 24 are sedang merana. Dari ketinggian teras rumah panggung, terlihat hamparan padi banyak kosong tanpa bulir.
Banjir merendam lahan pertanian warga selama empat hari dari 20 Februari, baru surut 24 Februari 2022. Banjir mencapai 60 sentimeter dengan titik-titik tertentu mencapai satu meter. Saat banjir, lahan persawahan seperti danau, tak sedikit pun tanaman padi terlihat.
“Dulu, banjir memang ada, tapi kalau hujan empat hari atau satu minggu. Kemarin itu, minggu sore hujan, malam sawah sudah banjir,” katanya.
Sungai menyempit
Iyajji mengenang ketika jembatan di jalan utama belum terbangun. Dia merujuk pada jembatan yang dibangun PT Semen Bosowa, yang menghubungkan lalu lintas menuju pabrik, ke jalan poros utama provinsi yang menghubungkan Maros dan Makassar. Jembatan itu membelah sungai yang berhulu di Berua.
Bosowa mendapatkan izin pertambangan batu gamping untuk kebutuhan semen pada 1996 dan mulai beroperasi April 1999. Selama proses pembangunan pabrik, material yang menjadi pendukung utama dibawa dengan mobil. Sungai – saya menyebutnya Sungai Berua – akhirnya dibendung untuk lalu lintas kendaraan seraya menunggu pembangunan jembatan selesai.
Ketika sungai itu dibendung dengan tanah dan batuan, aliran sungai mulai berubah. Air jadi tidak deras. Saat jembatan selesai, badan sungai jadi kecil. Jembatan itu sekitar 15 meter, badan sungai awal 25 meter.
Kedalaman sungai pun berubah, material yang menjadi timbunan sementara untuk lalu lintas, tak semua terangkut karena terhalang batuan karst di badan sungai. Akhirnya, sungai dangkal, hanya sekitar satu meter. “Dulu, sungai dekat jembatan itu dalam sekali. Bisa sampai enam meter.”
Perubahan bentuk badan sungai di area jembatan (sekarang jadi dermaga satu), rupanya berdampak pada aliran di bagian hulu. Terowongan batu sebelum mencapai dermaga dua adalah aliran deras kini jadi landai.
Warga yang saban waktu melintas sebelum perubahan aliran mengingat tempat itu sebagai titik yang memerlukan kepiawain pengemudi perahu handal agar bisa melewatinya. Perahu-perahu kecil bermesin 5 PK–saat ini perahu untuk wisata bermesin 10-13 PK – bila dari arah luar, tali gas mesin perahu tidak boleh maksimal, tetapi ketika moncong perahu sudah memasuki terowongan dan aliran deras air mulai memercik di lambung, gas ditarik penuh. Kalau tidak, perahu biasa terjebak dan terseret arus. Banyak perahu terguling.
Baca juga : Rammang-Rammang, Keajaiban Alam Berpadu Sejarah Panjang Kehidupan Manusia

Bagi masyarakat Berua, sungai itu adalah lalu lintas utama dalam interaksi dengan masyarakat luar. Mereka juga melalui ketika menuju pasar di Jembatan Pute.
Kini, untuk menjangkau Pasar Pute, orang Berua, hanya perlu melajukan perahu menuju dermaga dua sekitar 10 menit, atau ke dermaga satu sekitar 15 menit. Kemudian menngendarai motor menuju pasar. Kini, sungai sebagian besar untuk mendukung pariwisata.
Sedimentasi
Sungai di Berua ini juga alami sedimentasi. Dulu, lumpur-lumpur itu tetap ada untuk jadi bahan pendukung nipah tetapi tak sebanyak saat ini. Aliran air sekarang tak deras, membuat penumpukan di dasar sungai mulai sampah manusia sampai sisa daun, ataupun patahan ranting, tak bergerak.
Aliran air permukaan yang menghubungkan dengan Desa Balocci, Kabupaten Pangkep, juga menyumbang sedimentasi. Pembukaan tambang galian C, untuk penimbunan, terbawa aliran air ke sungai dengan cepat. Sungai-sungai di Balocci mengalami pendangkalan. Kalau sudah meluap, air akan mengalir ke Berua, dan masuk ke sungai menuju DAS Sangkarra.
Pada 2021, Berua banjir sampai enam kali. Untuk Januari dan Februari 2022, banjir sudah tiga kali.
Bagi Darwis, banjir harus ada solusi. “Kalau saya ditanya [solusi], saya tidak tahu. Saya tidak punya kemampuan untuk menganilisisnya dengan baik dan dapat solusi secara teknis. Saya ini petani,” katanya.
Meski begitu, Darwis tak menyerah. Dia bersama Lembaga Swadaya Masyarakat Flora Fauna International (FFI) dan Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sulawesi Selatan, berupaya mencari cara beradaptasi. Mereka mencari padi tahan hama dan memilih benih berkualitas untuk uji lapangan.
Mereka memeriksa keasaman tanah hingga menguji coba beberapa benih. Hasilnya, mereka bisa menumbuhkan beberapa jenis tanaman, meski belum sepenuhnya dipraktikkan secara massif.
“Kita sudah tidak dapat lagi benih padi lokal masa lalu. Kita hanya gunakan beberapa benih yang sudah diketahui masyarakat, kemudian diuji. Belum berjalan baik. Setidaknya, saya mengerti bagaimana memilih.”
Di Berua, dulu banyak varian padi lokal. “ Sekarang ini pembagian padi dari pemerintah seragam.” (Bersambung)

******
Foto utama: