Siapakah aktor utama perikanan di desa pesisir: laki-laki atau perempuan?
Idealnya, semuanya mendapat panggung. Setiap peran harus dihitung dan dihargai. Namun, saat ini baru nelayan laki-laki yang mendapat panggung utama. Fakta ini mengabaikan statistik yang menunjukkan bahwa ada lebih banyak perempuan yang terlibat dibanding laki-laki di sektor ini.
Sebenarnya, sudah banyak peraturan tentang pedoman pelaksanaan pengarustamaan gender baik di tingkat nasional maupun daerah. Namun pelaksanaanya yang belum tampak di lapangan.
Beberapa contoh tentang hal ini, antara lain, bantuan-bantuan di sektor kelautan perikanan sebagian besar dititikberatkan pada kegiatan penangkapan ikan, seperti kapal, mesin, dan alat tangkap. Selain itu, mekanisme penyaluran diberikan melalui kelompok nelayan, yang sebagian besar terdiri dari nelayan laki-laki.
Ketidakadilan gender ini harus dientaskan, karena pengelolaan perikanan berkelanjutan hanya bisa berhasil jika melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk perempuan. Mata rantai perikanan skala kecil melibatkan banyak pelaku.
Selain nelayan, pembeli ikan atau pengepul tingkat pertama, dan pembuat produk olahan ikan, merupakan mata rantai penting dalam perikanan skala kecil di tingkat desa yang harus menjadi perhatian. Apalagi, banyak di antara mereka adalah pelaku utama dalam perikanan.
Sebagai contoh ada Saribulan, 50 tahun, dari Teluk Moramo, Sulawesi Tenggara, dan Nurlini, 34, dari Pulau Siompu, juga di provinsi yang sama. Saribulan merupakan nelayan sekaligus tulang punggung keluarganya dan Nurlini tumpuan puluhan nelayan karena perannya sebagai pengepul. Mereka berperan penting dalam perikanan berkelanjutan dengan peran yang berbeda-beda.
Saribulan adalah nelayan gurita. Ia menjadi tulang punggung keluarga sejak suaminya tidak dapat melaut lagi akibat kehilangan penglihatan pada tahun 2011. Saribulan memiliki delapan anak yang bergantung hidup padanya. Tidak seperti kebanyakan nelayan laki-laki yang perahunya bertenaga mesin dan melaut berhari-hari, ia hanya melaut menggunakan sampan sederhana di sekitar desanya.
Adapun Nurlini adalah pengepul ikan yang cukup besar di desanya yang rutin melakukan pencatatan usaha dan memonitor logistik ikan (gambar bawah). Ia mendapat suplai ikan dari 50-80 nelayan setiap harinya. Ia telah membangun usahanya sejak 20 tahun lalu, sejak ia belajar dari orangtuanya, yang juga merupakan pembeli ikan.
baca : Perempuan Nelayan, Profesi Berat tanpa Pengakuan Negara. Ada Apa?
Perempuan dalam Perikanan di Indonesia
Peran keduanya di sektor perikanan jelas terlihat, tapi tak dihitung. Faktanya, di KTP, di kolom pekerjaan, keduanya hanya ditulis ‘Mengurus Rumah Tangga’, alih-alih ‘Nelayan/Perikanan’. Akibatnya merugikan untuk mereka. Karena perempuan dianggap hanya pengurus rumah tangga.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.39 tahun 2017 tentang Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (Kusuka), kelompok ini bukan kelompok penerima Kusuka. Di lain sisi, Kusuka ini menjadi prasyarat penerima berbagai program bantuan, seperti seperti asuransi nelayan (Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP No.2/PER-DJPT/2019).
Sebagai contoh, menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, apabila perempuan hendak mendapatkan kartu asuransi nelayan, diperlukan pergantian status pada KTP dari ‘Mengurus Rumah Tangga‘ menjadi ‘Nelayan‘ yang membutuhkan waktu berbulan-bulan (Mongabay, 2019).
Untuk program bantuan lainnya, seperti sarana/prasarana, bantuan konservasi dan/atau perbaikan ekosistem/lingkungan, bantuan perbaikan kapal penangkap ikan dan mesin kapal sebagian besar mensyaratkan penerima adalah perorangan maupun kelompok yang terdaftar di laman satudata.kkp.go.id (Permen KP No.2 tahun 2021), yang lagi-lagi mensyaratkan profesi terkait kelautan dan perikanan secara legal.
Di lapangan, kelompok mayoritas adalah kelompok nelayan laki-laki. Selain itu, tantangan juga datang dari perempuan sendiri. Terbiasa dimarginalkan, perempuan di pesisir cenderung menerima keterbatasan ini dan belum memperjuangkan haknya atas sumber daya laut dan kepemilikan aset dari hasil laut.
baca juga : Hari Nelayan: Nasib Perempuan Nelayan yang masih Kelam
Kisah Saribulan dan Nurlini ini hampir pasti dialami juga oleh banyak —jika tak bisa disebut sebagian besar— perempuan yang bekerja di sektor perikanan di desa-desa pesisir. Ini bukan jumlah yang sedikit. Menurut hasil riset Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) pada 2014, jumlah perempuan yang bekerja di sektor perikanan di desa pesisir sekitar 3,9 juta orang. Para perempuan ini bekerja dalam kegiatan menangkap atau memanen ikan hingga pascapanen.
Dalam kegiatan pascapanen, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tahun 2016, jumlah pelaku usaha perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Dari 6 juta tenaga kerja dalam kegiatan pascapanen, 61 persennya atau sekitar 3,6 juta di antaranya adalah perempuan. Kegiatan pasca panen meliputi pengolahan hingga pemasaran hasil perikanan.
Sayangnya, tidak ada data tenaga kerja sektor perikanan terpilah gender yang lebih baru yang disediakan pemerintah. Data statistik pelaku perikanan tahun 2019 yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), misalnya, hanya menyebut jumlah nelayan/pembudidaya sebanyak 4,9 juta jiwa, tanpa informasi terpilah sesuai gender. Informasi gender belum menjadi perhatian utama.
Tentu saja pengabaian gender itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Bukan saja karena bias gender menyebabkan pekerja perempuan di sektor perikanan kehilangan akses atas berbagai program pemerintah maupun institusi keuangan, tapi juga menghalangi upaya untuk mewujudkan pembangunan perikanan berkelanjutan.
Dalam program perikanan berkelanjutan, perempuan tidak hanya mendapatkan manfaat, namun juga dapat berkontribusi. Perempuan dapat membagikan ide dan pendapatnya, atau bahkan menjadi penggerak utama dalam program perikanan berkelanjutan di masyarakat. Dominasi perempuan dalam kegiatan pascapanen harus dianggap sebagai kekuatan yang bisa dimanfaatkan. Informasi, keahlian, dan pandangan tentang perikanan dari sisi ini dapat memberikan perspektif baru.
Informasi harga ikan dan produk olahan ikan, preferensi pasar, pengelolaan keuangan, dan cara-cara pengolahan ikan dapat menyumbangkan pengetahuan yang sebelumnya belum banyak diungkap. Bahkan perempuan dalam rumah tangga juga memberikan peran dalam pemilihan jenis dan jumlah ikan yang dikonsumsi, dalam mengedukasi anak-anak tentang laut, selain mengelola keuangan rumah tangga yang bersumber dari hasil perikanan.
baca juga : Nurlina, Perjuangkan Kesamaan Hak bagi Perempuan Nelayan
Apabila pengelolaan perikanan berkelanjutan hanya melibatkan laki-laki, maka akan ada komponen informasi perikanan yang belum lengkap. Hal tersebut juga selaras dengan panduan sukarela perikanan skala kecil yang mendukung kesetaraan gender dalam perikanan seperti disebutkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-4 dan TPB ke-14 tentang perikanan (UNFAO, 2018).
Oleh sebab itu, keadilan gender dalam program perikanan berkelanjutan berarti menambah jumlah masyarakat yang terlibat dan berdaya. Bukan hanya untuk menambah keragamaan informasi semata, namun agar ada lebih banyak pihak yang berdaya dan memiliki kemampuan untuk berperan aktif dalam pembangunan perikanan. Hal ini akan mendukung pembangunan perikanan menjadi berdampak.
Integrasi Gender dalam PAAP
Keadilan gender penting dalam pengelolaan perikanan karena beberapa hal. Perempuan merupakan salah satu pelaku utama dalam perikanan, perempuan memberikan kontribusi ekonomi dalam perikanan, serta pengelolaan perikanan akan menjadi lebih baik komprehensif dan inklusif dengan melibatkan perempuan.
Oleh karena itu, maka dibutuhkan pendekatan ‘keadilan gender’ untuk mendorong pelibatan perempuan dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan. Mengutip UNESCO Gender Mainstreaming Implementation Framework (2003), keadilan gender didefinisikan sebagai “proses bersikap adil terhadap laki-laki dan perempuan. Untuk memastikan keadilan, harus diambil langkah-langkah tertentu untuk mengimbangi kerugian historis dan sosial yang selama ini ada, untuk memastikan perempuan dan laki-laki dapat berkegiatan secara setara. Keadilaan gender adalah sarana. Kesetaraan gender adalah hasil”.
Karena perempuan sudah tertinggal jauh dalam program perikanan, maka dorongan yang diberikan untuk perempuan harus ekstra besar. Kita membutuhkan cara-cara khusus dan inovatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan. Desain program harus dibuat dengan menggunakan perspektif gender dan memperhitungkan kepentingan perempuan secara khusus. Hal ini disebut integrasi gender.
baca juga : Masnuah, Pejuang Perempuan Nelayan dari Demak
Integrasi gender dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka Reach-Benefit-Empower (penjangkauan-bermanfaat-berdaya). Kerangka ini dikembangkan oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) pada 2016. Masing-masing dari kerangka ini adalah tahapan kegiatan yang memiliki tujuan, strategi, dan indikator.
Dalam program perikanan berkelanjutan, penjangkauan bertumpu pada strategi menghadirkan perempuan dalam setiap kegiatan. Jika perempuan sudah bisa dihadirkan, selanjutnya apakah program dapat memberikan ‘manfaat’ bagi mereka. Tahapan terakhir adalah membuat perempuan ‘berdaya’, termasuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan mengenai sumberdaya perikanan.
Meskipun teorinya terlihat mudah, prakteknya ternyata tidak gampang, seperti dialami Rare, salah satu NGO yang mempromosikan program perikanan berkelanjutan di Indonesia, ketika menghela program Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP).
PAAP adalah sebuah model pengelolaan perikanan berkelanjutan yang didasari oleh pemberian akses dan tanggung jawab pengelolaan di wilayah perairan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada kelompok masyarakat setempat dengan jangka waktu tertentu.
Ketika program PAAP diperkenalkan di Sulawesi Tenggara pada 2014, Rare dan para pihak dalam kegiatan ini, termasuk pemerintah daerah, telah menyadari pentingnya kesetaraan gender. Namun sampai tahun 2019, integrasi gender belum dilakukan dalam program PAAP. Kegiatan PAAP pun terjebak dalam paradigma “perikanan = nelayan = dominasi laki-laki”.
Ketika itu program PAAP memberikan perlakuan yang sama kepada masyarakat dan tidak memberikan dorongan khusus kepada perempuan untuk terlibat. Contohnya, pertemuan dilakukan di pagi hari, padahal perempuan biasa mengantar anak sekolah atau memasak, atau menjual ikan dan produk olahan ikan di pasar pagi.
Pertemuan juga hanya mengundang 1 orang sebagai perwakilan keluarga, sehingga yang hadir adalah laki-laki. Hasil akhirnya, dalam sebuah kegiatan sangat lazim jika seluruh pesertanya adalah laki-laki. Kalaupun perempuan hadir, jumlahnya sangat sedikit dan hanya dilibatkan untuk menyiapkan konsumsi kegiatan atau untuk mewakili suaminya yang berhalangan hadir. Kehadiran perempuan sebagai minoritas dalam pertemuan membuat perempuan tidak banyak berperan atau memberikan pendapat.
Walhasil, pesan yang sampai di masyarakat adalah PAAP untuk nelayan laki-laki saja. Karena didominasi oleh laki-laki, maka usulan program perikanan, kawasan laut yang dilindungi, hingga spesies ikan prioritas sangat berfokus pada kepentingan nelayan laki-laki. Perempuan seperti Saribulan dan Nurlini pun luput dilibatkan dalam program PAAP di kala itu.
perlu dibaca : Sudahkah Perempuan Nelayan Diakui dalam Sektor Kelautan dan Perikanan?
Pada akhir 2019, Rare mulai mengintegrasikan gender ke dalam program. Rare berubah karena ingin program PAAP menjadi lebih inklusif dan tidak tersegmentasi pada kelompok tertentu saja. Rare ingin seluruh masyarakat, baik laki-laki dan perempuan, dapat mengelola perikanannya, serta mendapatkan manfaat dan akses sumber daya laut yang setara.
Sehingga, PAAP diselaraskan haluannya–dari desain, kebijakan, implementasi, hingga monitoring-evaluasi program. Integrasi gender dalam PAAP ditargetkan untuk mencapai seluruh tahapan dalam kerangka Reach-Benefit-Empower. Target utama tidak lagi terbatas pada nelayan, melainkan dibuka untuk seluruh pelaku rantai nilai perikanan skala kecil. Pendekatan ini diyakini juga dapat meningkatkan dampak dan keberlanjutan program dalam jangka panjang karena adopsi perubahan perilaku dilakukan oleh lebih banyak elemen masyarakat.
Pelatihan gender diberikan kepada internal rare, serta organisasi pemerintah daerah yang terlibat dalam pelaksanaan PAAP. Pendekatan-pendekatan khusus untuk meningkatkan partisipasi perempuan mulai diperkenalkan. Sebagai contoh, kegiatan dilaksanakan pada waktu yang sesuai dengan waktu luang perempuan. Lalu, undangan diberikan secara khusus kepada calon peserta perempuan. Dalam pertemuan, perempuan didorong untuk menyampaikan pendapatnya lebih dahulu.
Di semua material kampanye program, terdapat visualisasi laki-laki dan perempuan secara berimbang. Kemudian, dalam pelatihan, keluarga diwakili oleh 2 orang, untuk mendorong kehadiran laki-laki dan perempuan. Hal-hal tersebut dilakukan sebagai strategi peningkatan partisipasi perempuan dalam kelompok PAAP dan dalam penyusunan rencana PAAP agar kepentingan perempuan dapat terakomodir dengan baik.
baca juga : Jalan Panjang Perempuan Nelayan Demak Peroleh Kesetaraan
Sejak itu perempuan perlahan mulai mendapat tempat. Jumlah partisipasi perempuan dalam kegiatan PAAP meningkat dari 19,8% di tahun 2019 menjadi 48% di tahun 2021 (gambar di atas). Meskipun belum berimbang, namun sudah terlihat pula peningkatan partisipasi. Beberapa perempuan mulai mendapatkan manfaat dari program dan berpartisipasi aktif dalam pembuatan keputusan.
Lalu apa kabarnya Saribulan dan Nurlini?
Berkat implementasi PAAP versi baru ini, Saribulan berkesempatan menjadi Ketua Kelompok Simpan Pinjam PAAP di desanya. Ia sekarang leluasa untuk menyuarakan kepentingan perempuan dalam pengelolaan keuangan dari hasil laut untuk kepentingan keluarga nelayan.
Sementara itu Nurlini aktif dalam memberikan masukan untuk pengembangan aplikasi pencatatan data perikanan OurFish yang digunakan para pembeli ikan di Indonesia. Ia juga aktif mencatat transaksi jual beli ikan menggunakan aplikasi Ourfish yang akan berguna untuk pengelolaan perikanan di wilayahnya.
Keduanya juga turut aktif menyampaikan pentingnya pengelolaan perikanan kepada masyarakat di desanya. Mereka mempromosikan penangkapan ikan secara bertanggung jawab agar ikan dapat di nikmati oleh generasi mendatang.
Sayangnya, baru sebagian kecil perempuan pesisir yang mendapat kesempatan seperti Saribulan dan Nurlini.
****
*Eva Medianti, Manajer Inklusi Keuangan, Rare
**Ade Yuliani, Direktur Peningkatan Kapasitas, Gender, dan Inklusi Keuangan, Rare
Referensi:
Campbell, S.J., Medianti, E., Yuliani, A., Jakub, R., Setiawan, H., de la Rosa, E., Suherfian, W., 2021. Gender-inclusive financial literacy strategies: Unlocking the value of small-scale fishing communities. SPC Women in Fisheries Information Bulletin 33, 37–47.
FAO. 2018. SSF Guidelines: Gender Equity and Equality.
IPFRI. 2016. Reach, Benefit, or Empower: Clarifying gender strategies of development projects.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2017. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.39/PERMEN-KP/2017 tentang Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2019. Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 2/PER-DJPT/2019 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Premi Asuransi Nelayan pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2021. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2 tahun 2021 tentang Penyaluran Bantuan Pemerintah di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2021.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2016.
KIARA. 2014. Nasib Perempuan Nelayan.
Mongabay. 2019. Perempuan Nelayan, Profesi Berat Tanpa Pengakuan Negara. Ada Apa?
Napitupulu, L dan Tanaya, S. 2020. 3 Reasons Why Women In Fisheries Matter For An Inclusive Economic Recovery. WRI.
Rare. 2021. Dashboard Statistik Kegiatan Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) Provinsi Sulawesi Tenggara.
UNESCO. 2003. Gender Mainstreaming Implementation Framework.