- Dalam beberapa pekan terakhir, muncul kasus pertambangan pasir laut yang dinilai memicu dampak kerusakan pesisr. Kegiatan tersebut kemudian dihentikan, karena tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021
- Merujuk pada aturan tersebut, seluruh pemanfaatan ruang laut yang sifatnya menetap atau lebih dari 30 hari, wajib memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan RKang Laut dalam bentuk Konfirmasi Kegiatan Pemanfatan Ruang Laut (KKPRL) atau Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL)
- Dengan demikian, pemanfaatan ruang laut tidak hanya sekedar untuk manfaat ekonomi saja, namun juga manfaat untuk masyarakat dan kelestarian lingkungan. Melalui PKKPRL, kegiatan pemanfaatan ruang laut harus sesuai dengan rencana zonasi yang telah ditetapkan
- Sayangnya, semua klaim di atas bertentangan dengan penilaian para pihak yang mengkritik kegiatan di pesisir karena dilatarbekalangi dorongan untuk mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Itu kenapa, semua kegiatan tambang pesisir, juga mendapat legalitas dari Negara secara langsung
Penghentian aktivitas tambang pasir yang ada di Provinsi Riau, dinilai masih belum menghentikan aktivitas tersebut secara keseluruhan di Indonesia. Sampai sekarang, disinyalir masih ada aktivitas serupa di berbagai provinsi yang tidak terdeteksi sebagai kegiatan yang legal.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, kegiatan tambang pasir masih terus ada hingga sekarang, karena hasilnya dipakai untuk menyuplai kebutuhan pasir bagi proyek reklamasi. Setidaknya, hingga 2018 tercatat masih ada 41 wilayah pesisir tengah dan telah melakukan reklamasi.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, proyek reklamasi yang saat ini sudah dan tengah berjalan itu tersebar di dari pulau Sumatera hingga Papua. Dari catatan Pusat Data KIARA, total luas wilayah reklamasi mencapai 79.348,9 hektare.
“Jumlah nelayan yang terdampak karena kegiatan reklamasi sedikitnya ada 747.363 jiwa,” ungkap dia pekan lalu di Jakarta.
Dengan kata lain, kegiatan tambang pasir yang masih terus ada di berbagai wilayah pesisir, tidak hanya menjadi kegiatan ilegal yang memicu kerusakan ekosistem pesisir dan laut saja. Namun juga, mengakibatkan banyak nelayan yang harus kehilangan sumber pendapatan karena terdampak pembangunan reklamasi pantai.
baca : Tambang Pasir Laut Proyek MNP Telah Dihentikan, Dampaknya Masih Dirasakan Nelayan
Dia mencontohkan, salah satu kegiatan reklamasi yang masih terus berlangsung hingga sekarang dan memicu perampasan ruang bagi nelayan akibat tambang pasir, adalah di perairan Spermonde, Makassar, Sulawesi Selatan.
Di perairan tersebut, sampai sekarang masih berlangsung pembangunan Makassar New Port (MNP) seluas 1.428 ha melalui cara reklamasi. Selama proses pembangunan, dilaksanakan kegiatan tambang pasir oleh perusahaan spesialis keruk pasir laut dari Belanda, Royal Boskalis.
Selain berdampak pada pencemaran lingkungan di sekitar pesisir, Susan mengatakan kalau kegiatan pembangunan MNP juga memicu terjadinya gelombang laut menjadi tinggi, penurunan pendapatan nelayan, dam munculnya kriminalisasi terhadap warga yang menolak kegiatan tambang untuk MNP.
Saat semua permasalahan di atas muncul ke permukaan, muncul fakta yang membuat nelayan dan masyarakat pesisir semakin terpojok. Fakta tersebut adalah bahwa Negara hadir ikut memfasilitasi perampasan ruang dan perusakan lingkungan.
“Itu semua melalui skema administrasi,” jelas dia.
Fakta tersebut menjadi ironi, karena seharusnya Negara hadir untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan lingkungan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, karena Negara melepaskan tanggung jawab untuk menjaga ekologi tetap lestari.
“Hal ini tercermin dari penerapan PNBP di tambang pasir laut,” tambah dia.
baca juga : Penambangan Pasir Laut di Spermonde Datang, Ikan Tenggiri Menghilang
Peran Negara yang terjadi sebaliknya itu, tidak sejalan dengan konstitusi yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang RI Nomor 27 tahun 2007 jo No 1 Tahun 2014 Pasal 35 huruf (i), dan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No 3 Tahun 2020.
Menurut dia, dalam putusan tersebut secara jelas menyatakan bahwa nelayan dan perempuan nelayan adalah bagian dari masyarakat bahari Indonesia yang memiliki hak konstitusional. Putusan tersebut mengamanatkan Negara untuk menjalankan putusan dengan melindungi nelayan.
“Bukan mengeluarkan regulasi yang melegitimasi eksploitasi sumber daya alam dan perusakan laut hanya demi PNBP dari pertambangan pasir laut,” tegas dia.
Susan Herawati mengungkapkan bahwa terjadinya pelanggaran konstitusi, karena ada dorongan kuat dari Negara untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah bagi Negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dilindungi oleh dua Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
Kedua peraturan itu, adalah PP RI Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang menjadi turunan dari UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Kemudian, PP No.85/2021 yang menjadi aturan pengganti dari PP No.75/2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Menurut dia, lahirnya PP No.85/2021 sejalan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang menargetkan PNBP dari sektor kelautan dan perikanan hingga 2024 bisa mencapai angka Rp12 triliun.
Kedua peraturan tersebut kemudian mendapatkan kritikan dan penolakan secara tegas dari KIARA dan juga para pihak lain yang menilai sama bahwa ada ketidakberesan di dalamnya. Di antara yang dinilai bermasalah, adalah substansi yang akan mengancam keberlanjutan ekologi dan kesatuan ekosistem yang hidup di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Selain mengancam keberlangsungan ekologi, juga akan berdampak terhadap perekonomian dan relasi antara masyarakat, yaitu nelayan dengan ruang lautnya,” ungkapnya.
baca juga : Korupsi Proyek Reklamasi, Bisa Terjadi di Seluruh Indonesia
Dua Peraturan
Dengan lahirnya dua PP yang disebutkan di atas tadi, itu dinilai akan menjadi satu persoalan baru yang bisa memicu lahirnya persoalan lain. Utamanya, berkaitan dengan legalitas pertambangan pasir laut yang dinilai hanya akan memicu dampak kerusakan lingkungan dan sekaligus perampasan ruang hidup nelayan kecil dan tradisional.
Susan kemudian memaparkan, dalam PP No.5/2021 Pasal 24 ayat (2) disebutkan bahwa, “Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan ruang laut sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis risiko kegiatan usaha terdiri atas: g. pelaksanaan reklamasi, dan, j. pemanfaatan pasir laut.”
Kemudian, substansi yang sama juga ditemukan dalam PP No.85/2021 Pasal (1) yang menyebutkan bahwa, “Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan meliputi penerimaan dari: perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut.”
Selanjutnya, di dalam Pasal 8 ayat (1) juga disebutkan bahwa, “Kegiatan pemanfaatan pasir laut dihitung berdasarkan perkalian antara persentase dengan volume dan harga patokan.”
Menurut dia, jika kedua PP dikaitkan dalam konteks pertambangan pasir laut, maka keduanya akan memberikan legalitas untuk berbagai pihak melakukan pertambangan pasir laut asalkan Negara mendapatkan PNBP sesuai yang ditetapkan Pemerintah.
“Lebih jauh lagi, pada masa yang akan datang, kedua PP ini akan mendorong dan semakin memperparah eksploitasi pasir laut di berbagai perairan laut di Indonesia,” pungkas dia.
Meski terus mendapat kritikan dari berbagai pihak, KKP seperti tak gentar untuk meneruskan beragam program kerja yang sudah ditetapkan. Termasuk, dengan menghentikan kegiatan tambang pasir laut yang menjadi bagian upaya perlindungan kawasan pesisir dan ekosistemnya.
Setelah penghentian tambang pasir laut di pulau Rupat bersama dengan dua pulau sekitarnya, yaitu pulau Babi dan Beting Aceh, KKP semakin fokus untuk menghentikan semua kegiatan serupa di pesisir yang lain. Tak hanya di Provinsi Riau atau Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung juga menjadi target incaran.
Namun, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Adin Nurawaluddin menjelaskan, kegiatan yang dihentikan di perairan Matras, Kabupaten Bangka, adalah penambangan pasir timah yang dilakukan oleh kapal isap produksi pertambangan (KIP) Octopus 1.
Penghentian kegiatan tersebut, karena ada dugaan terjadinya kerusakan lingkungan sumber daya ikan dan perairan pesisir yang diakibatkan oleh pelanggaran terkait pembuangan limbah pengolahan timah atau tailing yang tidak memperhatikan standar pencegahan pencemaran dan kerusakan pesisir.
“Kami menemukan indikasi pelanggaran dalam pelaksanaan pembuangan tailing yang berpotensi menyebabkan pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir,” ungkap dia pekan lalu saat melakukan inspeksi langsung ke lokasi perairan.
Menurut Adin Nurawaluddin, dengan sistem pembuangan tailing yang berada di atas permukaan air laut, itu akan berpotensi menyebabkan pencemaran dan kerusakan pesisir. Karenanya, akan dilakukan pendalaman lebih lanjut untuk mengungkap dampak pelanggaran terhadap kerusakan pesisir.
baca juga : Begini Nasib Perempuan Pulau Kodingareng Setelah Penambangan Pasir Laut Berakhir
Untuk melakukan pendalaman tersebut, KKP menggandeng tim ahli independen yang di dalamnya melibatkan para pakar yang kompeten pada bidang masing-masing. Pelibatan para ahli dilakukan, karena untuk mengungkap apa saja kerusakan yang bisa terjadi.
Selain mencari dampak kerusakan lebih lanjut, KKP juga memeriksa para pihak yang terkait dengan kegiatan pertambangan pasir timah tersebut. Pemeriksaan tersebut melibakan polisi khusus (Polsus) Pengawas Pengelolaan Wilayah Pesisir dengan Kewenangan Kepolisian Khusus (PW3K).
Agar tidak ada lagi aktivitas yang bisa mengancam kerusakan lingkungan pesisir dan ekosistemnya, seluruh kegiatan pemanfaatan ruang laut dan pesisir akan diawasi dengan lebih ketat. Selain itu, setiap aktivitas yang ilegal dalam bentuk apapun, akan langsung ditindak dengan tegas.
Pengawasan tersebut menjadi bagian dari implementasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ruang Laut. Dengan demikian, pemanfaatan ruang laut tidak hanya sekedar untuk manfaat ekonomi saja, namun juga manfaat untuk masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Merujuk pada aturan tersebut, seluruh pemanfaatan ruang laut yang sifatnya menetap atau lebih dari 30 hari, maka wajib memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dalam bentuk Konfirmasi Kegiatan Pemanfatan Ruang Laut (KKPRL) atau Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
“PKKPRL ini tool untuk memastikan bahwa kegiatan pemanfaatan ruang laut sesuai dengan rencana zonasi yang telah ditetapkan agar keseimbangan antara manfaat ekonomi dan ekologi dapat terjaga. Sekali lagi sesuai kebijakan Bapak Menteri, ekologi harus menjadi panglima,” pungkas dia.