- Permasalahan sampah di darat dan laut masih terus ada sampai sekarang. Permasalahan di darat, akan berdampak signifikan di laut. Jika tidak ada penanganan serius di darat, maka sampah di laut akan semakin tak terbendung produksinya di masa mendatang
- Salah satu cara untuk mengurangi sampah plastik di laut, adalah dengan mengalihkan kebiasaan penggunaan sejumlah barang tertentu yang terbuat dari plastik. Contohnya, adalah sedotan dan kemasan yang banyak terbuat dari plastik
- Namun, penggunaan materi pengganti plastik, salah satunya dari bioplastik yang terbuat dari rumput laut, ternyata tidak menyelesaikan persoalan sampah plastik di laut. Walau cara tersebut positif, namun harus ada perubahan paradigma tentang pengelolaan sampah, khususnya di laut
- Pergantian paradigma harus dilakukan, karena persoalan sampah plastik di laut saat ini sudah menjadi persoalan lintas batas. Dalam penanganannya, itu harus melibatkan banyak pihak, bahkan lintas sektoral di Indonesia
Demi mengurangi sampah plastik di laut yang kian tak terkendali, beragam upaya terus dicoba oleh Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari cara yang melibatkan banyak kalangan dan pelaku usaha, sampai upaya yang sama dengan melibatkan masyarakat pesisir dan skala kecil.
Langkah tersebut sudah diterapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan memanfaatkan bahan nabati yang bisa ditemukan di wilayah pesisir. Salah satunya, adalah dengan memanfaatkan rumput laut yang bisa ditemui di sejumlah wilayah pesisir, utamanya Indonesia Timur.
Upaya pertama sudah dilakukan di Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan menggandeng pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di sana, KKP memberikan alih teknologi berupa pengolahan kemasan dan sedotan rumput laut.
Setelah NTB, upaya yang sama kemudian dilakukan di provinsi tetangga NTB, yaitu Bali. Di pulau Dewata, KKP menggandeng Coral Triangle Center (CTC) sebagai mitra untuk melaksanakan alih teknologi kepada kelompok masyarakat.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Artati Widiarti mengatakan, masyarakat harus bisa ikut berperan dalam upaya penanganan sampah plastik yang saat ini sudah menjadi persoalan dunia.
Pelibatan kelompok masyarakat, dinilai akan mempercepat proses penanganan persoalan sampah plastik yang saat ini ada. Terlebih, karena Bali adalah magnet utama pariwisata di Indonesia, maka sudah sepantasnya daerah tersebut bisa menjadi contoh untuk daerah pariwisata lainnya.
“Tentu kita juga ingin Bali dikenal sebagai daerah yang ramah lingkungan,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.
baca : Sampah Plastik Kemasan, Persoalan Lingkungan yang Harus Diselesaikan
Pengolahan kemasan dan sedotan yang terbuat dari rumput laut, adalah produksi yang bisa terurai secara hayati di alam (biodegradable) dan menjadi bagian dari inovasi Balai Besar Pengujian Penerapan Produk Kelautan dan Perikanan (BBP3KP), salah satu unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal PDSPKP KKP.
“Berasal dari bahan nabati, yakni rumput laut, bioplastik dapat terurai di dalam tanah,” ucap dia.
Inovasi yang menghasilkan produk ramah lingkungan itu, menjadi penegas bahwa KKP ingin berkontribusi dalam penanganan persoalan sampah plastik yang sudah lama ada di Indonesia. Sampah jenis tersebut, akan berakhir di laut dan menjadi persoalan baru bagi ekosistem laut.
Menurut Artati Widiarti, produksi sampah plastik di Indonesia setiap tahunnya bisa mencapai angka 66 juta ton. Angka tersebut muncul berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021.
Kepala BBP3KP KKP Widya Rusyanto menerangkan bahwa pemilihan rumput laut sebagai material untuk produk inovasi, adalah karena produksi komoditas tersebut selalu berlimpah setiap tahunnya. Dengan demikian, diharapkan pemanfaatan rumput laut bisa semakin banyak pilihan bagi banyak pihak.
Utamanya, karena rumput laut juga menjadi pilihan yang efektif dan efisien untuk menghasilkan produk kemasan dan sedotan yang ramah lingkungan. Penasbihan ramah lingkungan diberikan pada inovasi tersebut, karena produk tidak menghasilkan sampah (zero waste).
“Terlebih Indonesia merupakan salah satu penghasil rumput laut terbesar di dunia,” tutur dia.
baca juga : Ancaman Sampah Plastik bagi Kehidupan Manusia
Dengan manfaat yang ada dan bisa menghasilkan produk ramah lingkungan, rumput laut jenis merah memang dipilih menjadi bahan utama untuk membuat produk bioplastik. Karena itu, pihaknya optimis kalau Indonesia bisa mengambil peran besar dalam pengembangan kemasan dan sedotan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada awal Februari 2022 juga sempat melaksanakan kampanye tentang pentingnya menjaga laut dari serbuan sampah plastik. Dia berbicara seperti itu, karena melihat adanya pencemaran limbah tes antigen di perairan Selat Bali.
Tanpa ragu, dia menyebut bahwa laut bukan tempat sampah, sehingga tidak bisa seenaknya membuang sampah ke dalamnya. Ungkapan tersebut ditegaskan, karena laut harus mendapatkan perlindungan, agar ekosistem bisa tetap bagus dan melestarikan biota yang ada di dalamnya.
“Kalau sampahnya sudah luar biasa, kemudian kualitas biota di dalamnya menurun, apa yang terjadi? Seluruh kehidupan juga ikut rusak,” tegas dia.
Menurut Sakti Wahyu Trenggono, membuang sampah ke laut adalah perbuatan yang bertentangan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.
baca juga : Sungai Masih jadi Tempat Buang Sampah Plastik, Belajar dari Pengelolaan di Australia
Rencana Aksi Nasional
Melalui Perpres tersebut, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi limbah padat hingga 30 persen melalui metode 3R, yaitu Reuse (menggunakan kembali sampah plastik yang masih dapat digunakan), Reduce (mengurangi segala sesuatu yang dapat menjadi sampah), dan Recycle (mengolah kembali sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat dalam kehidupan sehari hari.
Selain itu, melalui aturan tersebut, Pemerintah Indonesia juga menargetkan bisa mengelola 70 persen limbah padat pada 2025 mendatang. Juga, bisa mengurangi produksi sampah plastik di laut hingga mencapai 70 persen pada 2025.
Rencana aksi nasional (RAN) tersebut, harus didukung oleh banyak pihak, bukan cuma oleh Pemerintah saja. Untuk itu, jika ada yang berani menentang, maka sudah sepatutnya mereka diberikan tindakan yang tegas supaya tidak mengulangi kembali perbuatannya.
Perlunya menyadarkan semua pihak dalam melaksanakan RAN penanganan sampah di darat dan laut, menjadi sangat penting untuk dilakukan karena itu menyangkut dengan kelangsungan kehidupan di kedua alam tersebut.
Selain sebagai sumber pangan, laut juga penghasil oksigen dan penyerap emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Di samping itu, laut merupakan jalur transportasi penting dalam menjawab kebutuhan logistik setiap negara. Termasuk untuk jalur telekomunikasi melalui sistem kabel bawah laut.
“Sekali lagi saya tegaskan, laut itu erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Jadi harus kita jaga,” pungkasnya.
baca juga : Cara Indonesia Kurangi Sampah Plastik hingga 70 Persen
Terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti menyebut kalau pencemaran plastik di laut menjadi permasalahan lintas batas.
Persoalan tersebut harus mendapat penanganan secara komprehensif oleh berbagai pihak, bahkan lintas sektoral. Dalam melaksanakan penanganan, yang juga harus diperhatikan adalah bagaimana melakukannya dengan pendekatan terpadu.
Cara tersebut harus dilakukan, karena masalah sebenarnya dimulai bukan di laut, tetapi lebih jauh ke hulu. Contohnya, adalah bagaimana industri memproduksi dan mendistribusikan produk plastik, bagaimana pengecer menggunakan plastik pada pembungkus kemasannya, dan bagaimana konsumen menangani sampah plastik yang dihasilkannya.
“Ini adalah cerita panjang dari plastik. Itulah mengapa kita perlu mengatasi masalah ini melalui pendekatan terpadu,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.
Nani Hendiarti memaparkan, pengelolaan sampah plastik yang tidak tepat di wilayah darat akan menyebabkan dampak berupa pencemaran limbah plastik di laut. Kondisi itu akan sangat mengancam kehidupan spesies laut, pariwisata, industri perikanan, dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Tanpa ragu, dia menyebut kalau dari berbagai penelitian ilmiah yang sudah dilakukan hingga saat ini, lebih dari 80 persen sampah yang ada di laut itu adalah berasal dari daratan. Atau, setidaknya karena sampah tersebut bocor dari daratan.
baca juga : Penanganan Sampah Plastik Harus Libatkan Lebih Banyak Pihak Lagi
Berdasarkan data yang ada saat ini, dia menyebutkan kalau Indonesia masih memiliki 65 persen sampah kota yang belum dikelola dengan baik. Produksi sampah tersebut, kemudian ada yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), dikubur, dan dibakar dengan liar.
“Serta sekitar sepuluh persen sampah plastik akhirnya berakhir di lingkungan,” tutur dia.
Untuk bisa melakukan penanganan sampah yang efektif di laut, Nani Hendiarti mengatakan bahwa perlu ada langkah dan terobosan yang tidak biasa dengan menerapkan paradigma baru dalam pengelolaan sampah. Kemudian, penanganan pencemaran plastik di laut harus dilakukan secara terpadu dan kolaboratif.
Dengan kata lain, diperlukan kebijakan terobosan dari perspektif ekonomi dan keuangan untuk dapat mengatasi masalah ini secara tuntas. Mekanisme kerja sama internasional dan keterlibatan produsen plastik, dinilai sangat diperlukan untuk mengatasi masalah dan dampak pencemaran plastik laut.
Berkaitan dengan keuangan, dia memaparkan data terbaru hasil penelitian National Plastic Action Partnership (NPAP), kemitraan yang menjadi jembatan penghubung antara Pemerintah dengan masyarakat umum, khususnya sektor swasta.
Data dari NPAP tersebut, diketahui kalau total investasi yang dibutuhkan oleh Indonesia pada periode 2017 hingga 2040 besarnya mencapai USD18 miliar. Angka tersebut untuk menjadi modal mengatasi tantagan dalam beralih dari business-as-usual ke skenario perubahan sistem untuk pengelolaan dan daur ulang sampah yang efektif.
Menurut Nani Hendiarti, angka tersebut didasarkan pada kebutuhan investasi modal sebesar USD5,1 miliar dari 2017 hingga 2025 untuk pengelolaan sampah, termasuk untuk non-plastik, dan tambahan USD13,3 miliar dari 2025 hingga 2040.
Di luar itu, Indonesia juga memerlukan tambahan pembiayaan operasional sekitar USD1 miliar per tahun untuk sistem pengelolaan limbah padat pada 2040. Investasi tersebut berpotensi menghasilkan pendapatan hingga USD10 miliar per tahun pada 2040.
Estimasi potensi tersebut berasal dari peningkatan penjualan plastik daur ulang, substitusi material, dan model bisnis baru menuju ekonomi sirkular dalam rantai nilai plastik. Semua potensi tersebut harus dipikirkan dengan matang agar bisa memberikan manfaat di masa mendatang.
Dia menyadari kalau Pemerintah Indonesia sampai saat ini masih tersita perhatian untuk masalah teknis penanganan sampah di laut. Namun, yang sebenarnya harus juga diperhatikan, adalah bagaimana masalah keuangan berkelanjutan bisa ada jalan keluar terbaik.
“Oleh karena itu, Pemerintah perlu memikirkan konsep blended finance untuk pengelolaan sampah, dengan mempertimbangkan peran multistakeholder dengan kapasitasnya masing-masing,” pungkas dia.