- Berbagai kalangan termasuk generasi muda menyuarakan industri perbankan menyetop pembiayaan kepada sektor yang bisa memperburuk iklim seperti ke industri batubara.
- Di Indonesia masih banyak bank, seperti BNI, Mandiri, BRI, dan BCA masih memberikan pembiyaan terhadap perusahaan batubara. Sementara banl-bank dunia sudah mulai menyatakan komitmen berhenti mendanai energi fosil termasuk batubara.
- Rifani, dari Komunitas Koprol Iklim mendesak, BNI menghentikan pendanaan kepada pertambangan batubara. Aksi ini, merupakan aspirasi kesedihan terutama mahasiswa yang merasa berafiliasi dengan BNI. Mereka, merasa berkontribusi pada pengembangan energi kotor negeri ini.
- Jeri Asmoro, Indonesia Digital Campaigner 350.Org mengatakan, ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPPCC) menegaskan, harus segera bertindak meredam dampak krisis iklim agar tidak makin memburuk. Kini, krisis iklim telah membahayakan kehidupan bumi dan seluruh penghuninya.
“Tepati Komitmen, Stop Danai Batubara Perusak Masa Depan Kami.” Begitu spanduk yang terbentang di depan barisan anak-anak muda saat aksi di depan Gedung Graha Bank Nasional Indonesia (BNI) di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat.
Ada juga poster-poster dengan berbagai tulisan mereka bawa. Mereka aksi karena BNI, salah satu bank di Indonesia yang masih mendanai energi batubara.
Ginanjar Aryasuta, koordinator aksi juga aktivis Climate Rangers Jakarta mengatakan, kegiatan ini bertepatan dengan rapat umum pemegang saham (RUPS) BNI pada 15 Maret 2022. Mereka juga menyampaikan suara 9.000-an orang yang menandatangani petisi di Change.org, yang mereka buat.
Dia bilang, banyak nasabah tidak suka kalau BNI mendanai energi fosil karena energi ini satu penyumbang emisi besar di dunia. Dengan danai ke batubara, secara tak langsung, katanya, uang nasabah mengalir untuk mendanai krisis iklim yang mengancam kehidupan manusia.
Sebelum aksi ini, mereka juga mengirimkan surat untuk bertemu Direktur Utama BNI, tetapi bank pelat merah itu tak merespon.
Baca juga: Generasi Muda Suarakan Setop Pembiayaan Batubara, Alihkan ke Energi Terbarukan.
Aksi gabungan dari Climate Rangers Jakarta, 350.org, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia ini tak hanya di Jakarta, juga beberapa kota, seperti Palembang, Yogyakarta, Cirebon, dan Surabaya.
Dengan aksi ini, Ginanjar berharap BNI berani jadi contoh bank lain dalam menepati komitmen berkelanjutan mereka.
Rifani, dari Komunitas Koprol Iklim mendesak, BNI menghentikan pendanaan kepada pertambangan batubara. Aksi ini, katanya, aspirasi kesedihan terutama mahasiswa yang merasa berafiliasi dengan BNI. Mereka, katanya, merasa berkontribusi pada pengembangan energi kotor negeri ini.
Kevin Wisnumurthi dari BEM UI mengatakan, umat manusia sedang berada di titik kritis. Kalau memilih jalan salah, berarti kiamat bagi peradaban dan masa depan manusia.
Dalam konteks ini, katanya, jalan salah itu seperti menunda-nunda transisi dari batubara menuju energi bersih dan terbarukan. Jadi, langkah penting bagi BNI kalau berhenti mendanai industri batubara.
Awal Maret para generasi muda pun aksi serupa. Mereka menyuarakan industri perbankan agar lepas dari pembiayaan batubara yang bisa memperparah iklim.
Ada bank-bank lain di Indonesia selain BNI, masih mendanai energi kotor batubara, seperti Mandiri, BRI dan BCA.
“Kami pro lingkungan, tetapi kami menyimpan uang di bank yang melakukan pendanaan untuk industri batubara. Itu berseberangan dengan moralitas kami,” kata Astrid dari Aktivis Climate Rangers (CR) Jakarta saat temu media daring merespon laporan terbaru IPPCC .
Laporan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPPCC) dari Persatuan Bangsa-Bangsa rilis akhir Februari lalu menguatkan temuan-temuan mereka sebelumnya.
Dalam artikel di Mongabay, sebelumnya, laporan ini membahas dampak, adaptasi, dan kerentanan seputar perubahan iklim. Para pemimpin IPPCC mengatakan, memotong aliran gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global seperti karbon dioksida dan metana ke atmosfer sangat penting dalam menjaga kesehatan manusia dan ekosistem.
Di sana juga disebutkan soal cara beradaptasi dan meningkatkan ketahanan keduanya, terutama orang-orang yang menanggung biaya terbesar dari perubahan iklim. Para penulis mencatat, 90% dari pendanaan iklim untuk mitigasi, bukan adaptasi.
Laporan IPPCC mencakup berbagai upaya berbeda, dari agroforestri yang memungkinkan produksi makanan bersama dengan pemulihan ekosistem yang mendukung keanekaragaman hayati. Juga menemukan cara membangun kota hijau untuk mencegah cuaca panas yang dihadapi miliaran orang yang tinggal di perkotaan.
Para peneliti ini menekankan, urgensi mengambil langkah-langkah menuju mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mulai sekarang.
Astrid mengatakan, pendanaan perbankan di Indonesia untuk energi kotor di tengah krisis iklim tidak bisa dibenarkan. “Saya ikut aksi karena mengkritik pelanggaran yang dilakukan perbankan. Wajar kami marah dan kecewa,” katanya.
Baca juga: Geliat Energi Terbarukan di Sulawesi Utara, Bagaimana Pembiayaan Perbankan?
Perburuk iklim
Jeri Asmoro, Indonesia Digital Campaigner 350.Org mengatakan, ilmuwan yang tergabung dalam IPPCC menegaskan, harus segera bertindak meredam dampak krisis iklim agar tidak makin memburuk. “Kini, krisis iklim telah membahayakan kehidupan bumi dan seluruh penghuninya,” katanya.
Data Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) dalam Januari-Februari 2022 saja, bencana terkait krisis iklim mencapai ratusan. “Krisis iklim mempengaruhi bencana indonesia. Bukan hanya soal angka, ada korban manusia dan banyak makhluk hidup sengsara.”
Bencana menciptakan banyak kerugian bagi masyarakat maupun negara. Kerugian ekonomi, misal, Jeri bilang, dalam data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional /Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) kerugian dampak krisis iklim selama 2020-2024 mencapai Rp544 triliun.
Angka ini berpotensi meningkat kalau masalah bencana tak segera dihentikan.
Dari kerusakan dan bencana alam itu terdapat satu sektor yang luput dari perhatian, yaitu perbankan mendanai energi fosil. “Ini luput perhatian untuk kita mintai pertanggung jawaban,” katanya.
Perbankan di Indonesia, katanya, tak ragu-ragu mendanai industri yang mendorong krisis iklim dan menghancurkan hidup rakyat ini. “Padahal, secara ilmiah sudah disampaikan IPPCC. Tidak ada alasan lagi perbankan membantu sektor yang mempercepat krisis iklim.”
Baca juga: Target Karbon Netral, Indonesia Bakal Setop Bangun PLTU?
Seharusnya, perbankan jadi solusi, bukan malah mendorong krisis iklim.
“Apa yang dilakukan komunitas anak muda turun ke jalan dan membuat petisi adalah pernyataan bahwa mereka tak ingin hancurkan masa depan mereka dengan duit mereka sendiri.”
Saat ini sebanyak 166 universitas pakai jasa perbankan BNI. “Mendanai energi fosil merusak masa depan. Saya salut sama anak muda yang bersuara.”
Jeri bilang, masalah iklim sulit ditekan di Indonesia, setidaknya karena dua faktor: sosial dan politik. “Bukan ekonomi atau teknologi, tetapi politik dan sosial yang paling mempengaruhi laju krisis iklim ini.”
Kebijakan energi di Indonesia, kata Jeri, banyak kepentingan. Saat yang sama, seorang pejabat juga pebisnis. “Pembuat kebijakan sekaligus pebisnis. Akhirnya, regulasi untuk mengintervensi bank tidak mendanai industri batubara menjadi tantangan berikutnya.”
Sementara di luar negeri, sudah banyak perbankan menyetop pembiayaan batubara. Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat, mengatakan, beberapa bank luar seperti ICBC sudah memiliki kebijakan tak lagi mendanai industri batubara setelah 2030.
“Itu tergantung negara maju. Ada juga negara lain berkomitmen baru pada 2040.”
Di dalam negeri, perbankan masih tinggi mendanai industri batubara. Sepanjang 2018-2020, ada enam bank meminjamkan dana ke sektor batubara Rp89 triliun.
“Sedangkan energi terbarukan hanya Rp21.5 triliun, seperempatnya.”
Pius bilang, pendanaan industri batubara akan merugikan nasabah. Misal, BRI banyak nasabah nelayan dan petani. Ketika pembiyaan ke sektor batubara terus dilakukan maka krisis iklim akan berdampak langsung kepada nelayan dan petani.
“Hingga kredit usaha rakyat gagal bayar, kejadian ini akan terus terjadi, nasabah makin tidak terlindungi,” katanya.
Brigitta Isworo Laksmi, jurnalis senior yang biasa meliput isu iklim mengatakan, IPPCC dibentuk PBB dan jelas keputusan itu adalah keputusan politik.
Dengan begitu, katanya, keputusan yang dibuat setiap negara dalam menghadapi krisi iklim tak pernah kuat.”
Padahal, katanya, ada 11 negara kunci dalam mengendalikan krisis iklim seperti Brazil, Indonesia, Kongo dan lain-lain. Tetapi, tidak ada aksi nyata beberapa negara itu.
Dalam rilis IPPCC, salah satu kunci menghadapi krisis iklim adalah kerjasama antar lembaga. Juga perlu keterlibatan aktivis lingkungan dalam memperjuangan hutan dan lahan.
“Kita tidak bisa menjawab akar masalah karena akar masalahnya adalah kerakusan manusia. Kerakusan tidak hanya soal negara juga pada diri sendiri. Mari hidup secukupnya.”
********