Warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) melakukan aksi di depan Balai kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat. Dalam aksi itu mereka mendesak Pemerintah setempat untuk menghentikan privatisasi air. Proses transisi konsesi pengelolaan air juga dirasa perlu melibatkan partisipasi publik yang bermakna dan informasi dibuka seluas-luasnya. Air bersih yang seharusnya bisa dinikmati masyarakat kalangan bawah sekarang ini banyak dimiliki perusahaan swasta. Bahkan di perkotaan air bersih justru banyak dialirkan ke perumahan-perumahan mewah. Pengelolaan air oleh perusahan swasta bertentangan dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah seharusnya punya solusi alternatif seperti mengembalikan pengelolaan air itu kepada BUMN atau juga Daerah, jika itu dilakukan ada kontrol publik, bisa dipantau DPRD. “Aku ingin air mengalir jernih tidak menetes 1..1..3 air tidak boleh di jual air tidak boleh diperebutkan dibalik laci meja hijau” Begitulah sepenggal bait puisi Leolintang Anies Munfarida (53) berjudul “Air” yang ia bacakan diantara sejumlah aksi massa di depan Balai kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat. Dalam aksinya, penyair juga aktivis ini juga mengenakan properti berupa galon kosong dengan keran menempel yang diikat di atas kepalanya. Di galon berukuran 15 liter tersebut juga terdapat pecahan mata uang kertas Rp2.000-Rp5.000 ribu, selain itu, ada juga uang kuno Rp100 rupiah. Diantara aksi massa lainnya penampilannya terlihat paling unik. Selesai membacakan puisi Leo lalu kembali ke barisan aksi, tak lama berselang ibu satu anak ini pun balik maju melakukan teaterikal bersama temannya. Masker berwarna hitam bertuliskan “Balikin Air Kehidupan Kami” yang digunakan itu juga menambah pesan tersendiri dalam aksinya bersama Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). Sebagai seniman Leo merasa aksi yang dilakukan ini merupakan panggilan jiwa. Sebab, air bersih yang seharusnya bisa dinikmati masyarakat kalangan bawah sekarang ini banyak dimiliki perusahaan swasta. Bahkan di perkotaan air bersih justru banyak dialirkan ke perumahan-perumahan mewah. Hal ini yang menyebabkan rakyat kecil kesulitan air. Tidak hanya itu, eksploitasi tanah yang berlebihan yang dilakukan oleh gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, apartemen dan rumah sakit juga membuat kualitas air semakin menurun. Adanya pabrik-pabrik juga turut berkontribusi terhadap kualitas air menjadi kotor. “Disisi lain, kita dituntut untuk sehat. Sementara air kemasan sekarang ini juga semakin banyak. Sebenarnya air melimpah untuk siapa?,” tanya perempuan paruh baya itu disela aksinya, Selasa (22/03/2021). baca : Swastanisasi Air di DKI Jakarta Didukung Gubernur? Warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) melakukan aksi di depan Balai kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat. Mereka mendesak Pemprov DKI menghentikan privatisasi air. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia Membayar Mahal Masyarakat miskin perkotaan sudah lama menjadi korban ketidakadilan untuk mendapatkan air bersih. Senyawa yang penting bagi semua bentuk kehidupan ini seharusnya bisa dinikmati publik, namun bagi kaum miskin perkotaan air ini malah menjadi barang yang mahal. Dibandingkan dengan kalangan yang mampu, kaum miskin kota membayar air justru lebih mahal. Atas dasar itu, Halimah, warga Kelurahan Rawa Badak, Kecamatan Koja, Jakarta Timur, juga ikut turun aksi bersama sejumlah perempuan lainnya. Perempuan kelahiran 1963 beralasan, aksinya ini didasari karena di tahun 1998 dia juga pernah merasakan penderitaan kesulitan air bersih. Kenangnya, selama 24 jam air hanya bisa menyala dua jam, itupun keluarnya sedikit, kadang hanya dapat dua ember saja. Dengan kondisi seperti itu tentu berdampak pada aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga, sedangkan air merupakan kebutuhan primer yang harus dicukupi dalam sehari-hari untuk memasak, mencuci, mandi, dll. “Saya hidup bersama suami dan tiga anak, dengan air segitu ya mana cukup. Mulai dari situlah saya mau berjuang bersama Solidaritas Perempuan,” terang wanita berkacamata ini. Sekarang, lanjutnya, debit air bersih sudah lancar. Hanya disaat musim hujan kualitas air menjadi kotor, kadang-kadang keluar warna kemerah-merahan dan hitam. Selain itu juga sering memunculkan bau tidak sedap. Sehingga sebelum memasak, air terlebih dahulu disimpan selama tiga hari. baca juga : Menanti Kerja Tim Evaluasi Tata Kelola Air Jakarta Selain membentangkan sepanduk, aksi KMMSAJ itu juga diwarnai dengan aksi teaterikal dan membaca puisi tentang penolakan privatisasi air. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia Bagi Halimah sejak adanya pengelolaan air oleh perusahaan swasta, tarif air semakin mahal. Dalam sebulan dia harus membayar Rp300 ribu. Sebagai pekerja serabutan, dengan tarif segitu dia merasa berat. Selain kualitas air diperbaiki Halimah juga berharap agar tarif air bisa diturunkan. Permasalahan lain yang membuat ia dan beberapa warga di kawasan Rawa Badak kesulitan adalah saat melakukan pembayaran. Saat ini untuk pembayaran air menggunakan aplikasi, dia khawatir dibohongi karena disitu tidak ada rincian berapa pemakaian air. “Tidak semua warga bisa mengakses aplikasi itu, apalagi ibu-ibu,” jelasnya Tahun Genting Sejak tahun 1998 privatisasi air di DKI Jakarta yang terjadi sebagai akibat perjanjian kerjasama negara dengan swasta sampai sekarang masih berlangsung. Arie Kurniawaty, Koordinator Program Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan menilai pengelolaan air yang diserahkan kepada swasta telah menjadi praktik perbuatan inkonstitusional yang bertentangan dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dia merasa pesimis terhadap proses penghentian privatisasi air yang dijanjikan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Rasa pesimis itu berdasar karena proses kontrak perjanjian kerjasama tersebut akan berakhir di tahun 2023. Proses transisi konsesi pengembalian pengelolaan air yang digadang-gadang akan berlangsung selama enam bulan itu dirasa minim partisipasi publik dan kurang transparan. Sehingga dugaan upaya perpanjangan kontrak privatisasi air bisa mungkin terjadi. Pemerintah seharusnya punya solusi alternatif seperti mengembalikan pengelolaan air itu kepada BUMN atau juga BUMD, jika itu dilakukan ada kontrol publik, bisa dipantau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). “Dan kita bisa menuntut jika pelayanannya kurang maksimal,” katanya. Sedangkan swasta orientasinya adalah untung. Padahal air itu merupakan kebutuhan yang mendasar bagi semua orang, sehingga tidak bisa dijadikan material untuk mencari keuntungan. Baiknya lagi jika air itu dikelola oleh masyarakat setempat. Untuk itu, dimomen perayaan Hari Air Sedunia ini menjadi pengingat, bahwa setiap makhluk hidup di bumi ini mempunyai hak untuk mengakses air bersih sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Apalagi dalam kondisi COVID-19 sampai saat ini. baca juga : Ada Parasetamol di Perairan Teluk Jakarta? Leolintang Anies Munfarida (53) Berpose usai melakukan aksi tolak privatisasi air. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia Dari permasalahan yang terjadi itu KMMSAJ mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menghentikan privatisasi air. Selain itu, proses transisi konsesi pengelolaan air juga perlu melibatkan partisipasi publik yang bermakna dan informasi dibuka seluas-luasnya. Terakhir, menjamin pemulihan hak bagi masyarakat miskin yang terdampak privatisasi air, khususnya adalah kelompok warga yang rentan. “Saya berharap Pemerintah Jakarta tidak hanya menjadikan masyarakat ini sebagai objek aturan,” pungkasnya. Melanggar Undang-undang Dikutip dari CNN Indonesia, Majelis hakim eksaminasi publik menyatakan swastanisasi air di DKI Jakarta melanggar ketentuan perundang-undangan dan harus dinyatakan batal demi hukum. Hal tersebut diungkap dalam putusan eksaminasi publik atas putusan privatisasi air yang dilakukan lima majelis eksaminasi atas kasus gugatan masyarakat terkait kerja sama pemerintah provinsi DKI Jakarta dengan PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya soal pengelolaan air bersih di DKI Jakarta. “Majelis Eksaminasi menyatakan bahwa perjanjian kerja sama antara pemerintah dengan badan hukum swasta dalam pengelolaan air bersih di DKI Jakarta dibuat dengan tidak didasarkan pada sebab yang halal dan harus dinyatakan batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada,” tulis putusan tersebut yang dikutip Jumat (4/12/2020). Majelis hakim eksaminasi menilai, pembuatan perjanjian kerja sama tersebut telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 8 UU Hak Asasi Manusia. Upaya swastanisasi air ini dinilai melanggar kepentingan masyarakat DKI Jakarta dan lebih banyak membawa mudarat. Pasalnya, masyarakat harus membayar harga air yang jauh lebih mahal kepada pihak swasta, sementara kualitas air tidak jauh lebih baik. Air bersih yang seharusnya bisa dinikmati masyarakat kalangan bawah sekarang ini banyak dimiliki perusahaan swasta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia Sedangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut proses pembicaraan terkait pengembalian pengelolaan air kepada Pemprov DKI Jakarta atau penghentian swastanisasi air mandek. “(Pihak) swastanya ada Aetra (PT Aetra Air Jakarta) ada Palyja (PT PAM Lyonnaaise Jaya), saya tidak perlu sebutkan yang mana (yang mandek), tapi dengan satu pihak, sudah berlangsung progresif, satu pihak mandek,” ujar Anies di Balaikota Jakarta, Selasa (15/10/2019) seperti dikutip dari CNN Indonesia. Walaupun begitu, Anies menegaskan Pemprov DKI tidak berhenti melakukan koordinasi dan berbicara dengan pihak yang menyebabkan pengelolaan air ini mandek. “Mandek itu dalam artian, bukan kaminya berhenti bicara, tapi posisi mereka belum berubah. Nah kami dalam proses pembicaraan dengan mereka,” jelasnya.