- Yayasan PIKUL bekerja sama Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi NTT didukung oleh OXFAM dan Australian Aid melaksanakan Workshop Pelibatan Media dan Jurnalisme Warga untuk Advokasi Bencana dan Cuaca Ekstrim di NTT. Workshop bertujuan mengumpulkan pendapat tentang pelibatan media dan jurnalisme warga dalam isu bencana dan cuaca ekstrim di NTT
- FPRB NTT menyebutkan bencana di NTT sejak tahun 1982 hingga 21 Juni 2021 terdiri atas bencana non alam sebanyak 131 (16%) dan bencana alam 680 (84%). Bencana alam terbesar yakni bencana hidrometeorologi sebanyak 643 (95%) dan bencana non hidrometeorologi sebanyak 37 (5%)
- Analisis spasial data sejarah jalur lintasan siklon tropis IBTrACS menunjukkan dari tahun 1908 sampai awal Agustus tahun 2021 telah terdapat 56 siklon tropis yang melintas di sekitar wilayah NTT. Siklon tropis ini melintas sampai dengan radius 200 km hanya ada 2 dekade tanpa siklon tropis yang melintas dekat wilayah NTT yakni 1930-1939 dan 1940-1949
- NTT tergolong rentan bencana sehingga bagaimana media mendorong masyarakat adaptasi terhadap bencana sebab banyak kearifan lokal yang mulai ditinggalkan. Dari aspek mitigasi, media perlu mengingatkan pemerintah bahwa pembangunan juga harus memperhatikan aspek kebencanaan
Dalam urusan kebencanaan dan adaptasi perubahan iklim, media merupakan salah satu elemen pentahelix yang memiliki peran krusial. Melalui media informasi fase pra, saat dan pasca bencana dapat tersampaikan kepada masyarakat secara luas. Sehingga pada akhirnya mereka dapat selamat atau mengurangi resiko bencana.
Selain media, jurnalisme warga juga memiliki peran penting dalam hal informasi kebencanaan. Jurnalisme warga dapat memberikan informasi awal kepada jurnalis karena tidak semua jurnalis ada di lokasi saat terjadi suatu kejadian atau peristiwa bencana.
Yayasan PIKUL bekerja sama Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi NTT didukung oleh Oxfam dan Australian Aid lewat Proyek Penguatan Petani Perempuan untuk Komunitas Tangguh Iklim dan Bencana di Indonesia (YFF-ICDRC) melaksanakan workshop pelibatan media dan jurnalisme warga untuk advokasi bencana dan cuaca ekstrem di NTT.
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, Pantoro Tri Kuswardono menjelaskan, workshop yang digelar Rabu (23/3/2022) secara daring dan diikuti puluhan perwakilan media dan warga itu bertujuan agar ada pembelajaran bersama antara media dan jurnalisme warga dalam isu bencana dan cuaca ekstrem di NTT serta dapat terlibat aktif dalam kampanye isu ini.
“Workshop bertujuan mengumpulkan pendapat tentang pelibatan media dan jurnalisme warga dalam isu bencana dan cuaca ekstrim di NTT,” ungkapnya dalam TOR yang diterima Mongabay Indonesia, Sabtu (19/3/2022)
baca : Usai Gempa Mengguncang NTT, Pemahaman Warga Soal Evakuasi Mandiri Perlu Diperbaiki
Jenis Bencana di NTT
Norman Riwu Kaho, pengurus FPRB NTT dalam pemaparannya menjelaskan, bencana di NTT sejak tahun 1982 hingga 21 Juni 2021 terdiri atas bencana non alam sebanyak 131 (16%) dan bencana alam 680 (84%).
Norman beberkan, bencana alam terbesar yakni bencana hidrometeorologi sebanyak 643 (95%) meliputi banjir, longsor, kebakaran hutan lindung, angin kencang dan gelombang pasang. Bencana non hidrometeorologi sebanyak 37 (5%).
Dari 22 kabupaten dan kota di NTT, Kabupaten Alor merupakan daerah dengan kejadian bencana terbanyak sebanyak 85 kejadian serta Kabupaten Sumba Tengah dengan kejadian bencana paling sedikit, hanya 4 kejadian.
“Kekeringan dan banjir merupakan 2 jenis bencana yang terjadi pada semua daerah sementara angin kencang hanya terjadi di 20 kabupaten dan kota. Sebaliknya, tsunami hanya dilaporkan terjadi pada 2 kabupaten yakni Sikka dan Flores Timur,” paparnya.
Norman menjelaskan, analisis spasial data sejarah jalur lintasan siklon tropis dari International Best Track Archive for Climate Stewardship (IBTrACS) menunjukkan dari tahun 1908 sampai awal Agustus tahun 2021 telah terdapat 56 siklon tropis yang melintas di sekitar wilayah NTT.
Siklon tropis ini melintas sampai dengan radius 200 km dengan rincian, 49 siklon tropis telah diberi nama dan 7 diantaranya tidak bernama.
Dia katakan, dari tahun 1900 hanya ada 2 dekade tanpa siklon tropis yang melintas dekat wilayah NTT yakni 1930-1939 dan 1940-1949. Terbanyak pada periode 1970 – 1979 terdapat 20 siklon tropis yang melintas dan terdapat kecenderungan yang meningkat.
“Dari 56 siklon tropis yang melintas di wiayah daratan, sebanyak 16 masuk ke wilayah daratan NTT,” terangnya.
Norman mengatakan, musim siklon di NTT dimulai dari November – Mei. Sebanyak 51% siklon tropis yang pernah melintas di dekat wilayah NTT terjadi pada bulan Maret – April.
Lanjutnya, 11 dari 22 kabupaten dan kota pernah dilintasi ‘bibit’ dan siklon tropis serta 8 dari 16 ‘bibit’ dan siklon tropis yang pernah melintas di atas daratan wilayah NTT terjadi di Kabupaten Kupang.
baca juga : Pemerintah Daerah di NTT Diminta Benahi Sistem Penanggulangan Bencana. Kenapa?
Ia membenarkan beberapa siklon tropis yang pernah melintasi NTT seperti Flores Cyclone pada 1973 yang ternyata mendatangkan dampak yang sangat berbahaya.
“Badan Meteorologi Australia sendiri mencatat estimasi dari Flores Cyclone ini mengakibatkan 1.500 orang meninggal dunia. Data lain menyebut ada 1600-an orang meninggal dunia,” ucapnya.
Dosen Fakultas Pertanian Undana Kupang ini menyebutkan, data DIBI BNPB terdapat 811 kejadian bencana di NTT sejak tahun 1982-21 juni 2021
Rinciannya, banjir 214 kejadian (26%) dan angin kencang 246 (30%) yang sering dialami dan banyak terjadi di NTT.
Norman jelaskan kategori cuaca ekstrem menurut BMKG. Angin kencang merupakan angin dengan kecepatan diatas 25 knots atau 45 km/jam atau 12,8 meter/detik.
Data dari tanggal 1 Januari 2022 hingga 20 Maret 2022, terdapat 3 kejadian angin kencang di NTT. Tanggal 28 Januari terjadi angin kencang dengan kecepatan 14 meter/detik,tanggal 2 Februari 16 meter/detik dan 2 Maret kecepatannya 15 meter/detik.
“Tanpa ada badai Seroja pun kita sedang mengalami cuaca ekstrem dan rutin kita alami di NTT pada saat musim hujan. Bisa dikatakan NTT merupakan supermarket bencana. Kita perlu serius menyikapi hal ini,” pesannya.
baca juga : Pasca Banjir Bandang di NTT, Saatnya Menanam Pohon
Pengetahuan dan Mitigasi
Wartawan Kompas Frans Pati Herin mengatakan untuk isu bencana,yang paling ditekankan Kompas yakni soal mitigasi. Menjelang akhir tahun, Kompas akan menurunkan liputan mengenai potensi bencana hidrometeorologi.
“Kami hadir lebih awal untuk mengingatkan masyarakat soal akan adanya potensi bencana,” ucapnya.
Menurut Frans, NTT tergolong rentan bencana sehingga bagaimana media mendorong masyarakat adaptasi terhadap bencana. Ia sebutkan, banyak kearifan lokal yang mulai ditinggalkan seperti terjadi di bantaran sungai Benenai, Malaka.
Dikatakannya, dulu ada rumah panggung tapi sekarang sudah tidak ada sehingga ketika terjadi banjir masyarakat pun terdampak.
Dari aspek mitigasi, harapnya, media perlu mengingatkan pemerintah bahwa pembangunan juga harus memperhatikan aspek kebencanaan. Contohnya, tata kota di Kota Kupang yang sangat buruk dimana tidak adanya drainase.
Frans menyadari ketika terjadi bencana sering terjadi kesimpangsiuran data di media sosial sehingga disini peran media hadir untuk menjernihkan situasi.
Media disatu sisi memberikan informasi dan disisi lain mendorong percepatan proses penanganan bencana. Media perlu hadir guna mendorong pencarian dan penyelamatan korban, menceritakan tentang lokasi bencana dan bagaimana cara mencapai lokasi bencana.
“Media perlu menurunkan informasi agar penyaluran bantuan dan relawan bisa sampai ke lokasi bencana,” ucapnya.
Frans menyebutkan,dalam meliput bencana tantangan yang ditemui yakni banyak daerah lemah dalam mitigasi dan adaptasi. Penanganan tanggap darurat ambradul.
Selain itu, kesadaran sebagian masyarakat yang menganggap bencana adalah kutukan. Ada korban yang tidak mau lari ketika banjir datang, data mengenai korban yang tidak akurat serta infomasi hoaks di media sosial.
baca juga : Pulau dan Danau Baru Terbentuk di NTT Usai Siklon Tropis Seroja Melanda. Seperti Apa?
Frans juga menyelipkan kritik untuk jurnalis. Pertama soal pengetahuan tentang kebencanaan yang minim. Contohnya, pernah ada reporter televisi melaporkan awan panas mencapai kota A. Padahal yang dimaksudkan adalah abu vulkanik. Kondisi ini menimbulkan kepanikan massal.
Kedua soal jurnalisme sensasi. Banyak wartawan menulis wilayah A akan dilanda gempa besar dan tsunami. Padahal hingga saat ini gempa belum bisa diprediksi kapan akan terjadi.
Matheos Viktor Messakh menambahkan bagaimana seharusnya media menangani bencana. Ia menekankan menjaga kredibilitas, memiliki agenda seting dan pengetahuan tentang bencana.
Menurutnya, sangat penting bagi jurnalis warga untuk mengetahui dengan benar siklus manajemen penanggulangan bencana dan kegiatan-kegiatan dalam setiap tahap tersebut sehingga bisa memiliki pengetahuan dan kepekaan dalam meliput.
“Juga dasar-dasar managemen pengurangan risiko bencana seperti perbedaan bencana dan risiko bencana, mengelola risiko, faktor risiko, upaya pengurangan risiko,cakupan manajemen serta perencanaan dalam manajemen risiko bencana,” ungkapnya.