- Sudah seminggu, seekor bayi Dugong (Dugong dugon) diduga terdampar di Pantai Kelilo’o, Desa Mbengu, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, NTT. Dugong tersebut pun berulangkali dilepaskan warga ke laut dalam namun selalu kembali ke pesisir pantai
- Dugong yang ditemukan oleh masyarakat merupakan bayi dugong yang masih berumur 1-2 tahun. Anak dugong yang ditemukan kemungkinan terpisah dari induknya
- Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Windia Adnyana menjelaskan pihaknya menganalisis 28 catatan dugong terdampar yang dikompilasi dari tahun 2009 hingga awal tahun 2016. Dari catatan tersebut diketahui bahwa terdamparnya dugong lebih banyak terjadi pada musim angin barat (Oktober – April) dibandingkan dengan saat periode angin timur (April – Oktober)
- Beberapa peneliti meyakini bahwa penurunan populasi dugong di banyak lokasi disebabkan oleh semakin meningkatnya aktivitas manusia di wilayah pesisir. Anak dugong yang terpisah dari induknya juga sangat rentan terdampar. Kalaupun berhasil ditemukan (saat terdampar) upaya penyelamatannya sangat sulit dan dilematis (Marsh et al, 2000)
Kampung Maulo’o, Desa Mbengu, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT, dihebohkan dengan terdamparnya seekor Dugong (Dugong dugon) Senin (17/4) sore. Dugong berukuran kecil ini sudah beberapa terdampar di pesisir pantai Kelilo’o.
Aty Making, warga Desa Mbengu menjelaskan, warga menemukan Dugong itu terdampar di Pantai Kelilo’o, Selasa (12/4/2022). Aty sempat mengambil gambar dan video bayi dugong tersebut dan memberikannya kepada teman-teman media agar ada pihak berwenang yang bisa mengurusnya.
“Saat ditemukan punggungnya semacam ada luka goresan tapi kami tidak tahu kenapa bisa terluka.Saat dipegang oleh warga pun dugong tersebut tampak jinak,” sebutnya.
Aty menduga bayi dugong tersebut terpisah dari induknya. Salah seorang warga pun berinisiatif membawanya ke laut dalam dengan perahu lalu melepaskannya. Namun berselang beberapa lama, bayi dugong tersebut kembali ke pantai yang sama.
Ia mengaku Senin (18/4/2022) bayi dugong tersebut diantar kembali ke laut namun Selasa (19/4/2022) dugong tersebut kembali ke pesisir pantai yang kebetulan tidak jauh dari rumahnya.
Warga pun mulai banyak mengetahuinya dan datang ke lokasi tersebut. Bahkan banyak yang penasaran ingin melihat dugong tersebut dan menjadikannya tontonan dan obyek foto.
“Sudah beberapa hari ini selalu kembali ke pantai setelah diantar ke laut. Mudah-mudahan ada pihak berwenang yang bisa mengurusnya. Kasihan dugongnya terluka sehingga perlu diselamatkan,” harapnya.
baca : Seekor Dugong dan Seekor Paus Ditemukan Mati dalam Dua Hari di Morotai. Ada Apa?
Setelah mendapatkan informasi, Mongabay Indonesia pun menghubungi staf Seksi Konservasi Wilayah IV Maumere, BBKSDA NTT, Bram Conterius. Respon cepat diambil dengan menerjunkan tim ke lokasi.
Meski begitu kata Bram, bayi dugong tersebut sudah dikembalikan warga ke laut. Bila bayi dugong tersebut kembali ke pesisir pantai maka pihaknya akan kembali ke lokasi dan melakukan penanganan lebih lanjut.
Terlepas Dari Induk
Dosen Fakultas Perikanan Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere Yohanes Don Bosco Ricardson Minggo, S.Pi, M.Si kepada Mongabay Indonesia, Selasa (19/4/2022) menjelaskan, dugong merupakan bagian dari ordo sirenia dengan family dugongidae. Dugong hidupnya bergerombol.
Bosco sapaannya menjelaskan, dugong yang ditemukan oleh masyarakat di Maulo’o merupakan bayi dugong yang masih berumur 1-2 tahun. Anak dugong yang ditemukan kemungkinan terpisah dari induknya.
“Dugong yang berumur satu sampai dua tahun hidupnya sangat bergantung pada susu induknya. Anak dugong selalu berenang didekat induknya karena merasa terlindungi disaat keadaan berbahaya,” ungkapnya.
Bosco menambahkan, bayi dugong tersebut terdampar kemungkinan pertama kerena terluka dan kedua akibat loss control atau terlepas dari gerombolannya atau induknya sehingga bingung untuk kembali.
baca juga : Terjadi Lagi, Seekor Dugong Mati Terdampar di Pantai Juanga Morotai
Lanjutnya, bila dugong masih berenang di laut maka kemungkinan tingkat stresnya tidak tinggi, tapi kalau terdampar sampai ke pasir maka tingkat stresnya tinggi dan bisa menyebabkan kematian apabila tidak segera ditangani.
“Kemungkinan bayi dugongnya stres dan terluka sehingga bingung mau kemana saat dikembalikan. Perlu ada penangkaran sementara di pesisir pantai, dirawat hingga lukanya sembuh baru dikembalikan,” ucapnya.
Menurutnya, dugong merupakan spesies yang dilindungi berdasarkan PP No.7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, UU Perikanan No.45 tahun 2009, Permen LHK P.106/MENLHK/Setjen/KUM 1/12/2018 dan CITES.
Tambahnya, dugong merupakan hewan herbivora dengan lingkungan habitatnya adalah daerah padang lamun. Jenis lamun yang dikonsumsi oleh dugong merupakan lamun berasal dari genus halodule, halophila dan cymodecea.
“Di lokasi terdamparnya bayi dugong merupakan daerah padang lamun yang menjadi makanan dugong,” ucapnya.
Bosco jelaskan, membedakan jenis kelamin dugong betina dan jantan dilihat berdasarkan posisi jarak celah kelamin dengan anus dan pusar. Kelamin jantan, posisi jarak celah penis berada diposisi tengah antara anus dan pusar, sedangkan betina posisi celah vagina lebih dekat ke anus.
baca juga : Seekor Dugong Ditemukan Mati di Raja Ampat Dengan Sejumlah Luka
Meningkatnya Aktivitas Manusia
Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Windia Adnyana dalam makalah berjudul Kajian Awal Sebaran Temporal dan Spasial Kejadian Dugong Terdampar di Indonesia yang disampaikan pada Simposium Nasional Dugong dan Habitat Lamun di Bogor 20 – 21 April 2016, menjelaskan pihaknya menganalisis 28 catatan dugong terdampar yang dikompilasi dari tahun 2009 hingga awal tahun 2016.
Dari catatan tersebut jelas Windia, diketahui bahwa terdamparnya dugong lebih banyak terjadi pada musim angin barat (Oktober – April) dibandingkan dengan saat periode angin timur (April – Oktober).
Dalam konteks lokasi, kejadiannya dilaporkan di delapan ekoregio laut di Indonesia, dengan frekuensi tertinggi di ekoregio Laut Sulawesi/Selat Makasar (7 kasus), kemudian Sunda Kecil (5 kasus), dan Papua (4 kasus).
Sebagian besar (17 kasus, 60,71%) dugong ditemukan mati dan telah membusuk saat terdampar. Kajian awal ini menunjukkan bahwa cuaca buruk adalah faktor resiko penting yang menyebabkan dugong terdampar.
“Lokasi kejadian terdamparnya dugong yang dicatat selama ini semestinya bisa dijadikan petunjuk awal dalam melacak tempat hidup (habitat) dugong di Indonesia,” ucapnya.
Windia katakan, beberapa peneliti meyakini bahwa penurunan populasi dugong di banyak lokasi disebabkan oleh semakin meningkatnya aktivitas manusia di wilayah pesisir.
baca juga : KKP Tenggelamkan Dugong Terdampar Mati di Sinjai
Beberapa dugong diduga mati akibat tertabrak perahu serta terjerat jaring nelayan. Penyebab kematian lainnya, seperti terserang penyakit infeksius dan non-infeksius maupun dihantam oleh badai juga banyak dilaporkan (Greenland and Limpus, 2007).
“Anak dugong yang terpisah dari induknya juga sangat rentan terdampar. Kalaupun berhasil ditemukan (saat terdampar) upaya penyelamatannya sangat sulit dan dilematis (Marsh et al, 2000),” ucapnya.
Windia paparkan laporan kejadian dugong terdampar bervariasi dari satu hingga enam kasus per tahun. Laporan terbanyak (6 kasus) dicatat pada tahun 2011, masing-masing 5 kasus pada tahun 2012, 2014, 2015 dan 2016, 3 kasus pada tahun 2009, serta 1 kasus pada tahun 2010 dan 2013.
Dia sebutkan,dugong bisa terdampar dalam keadaan mati (17 kasus) atau masih hidup (14 kasus). Dalam konteks sebaran spasial, kejadian dugong terdampar dilaporkan di 27 lokasi yang termasuk di dalam 18 Provinsi serta 8 dari 12 ekoregio laut yang ada di Indonesia.
Lanjutnya, umumnya kejadian dugong terdampar hanya terjadi masing-masing sekali per lokasi (pada tingkat kabupaten), kecuali di Kepulauan Selayar (3 kasus), serta masing-masing 2 kasus di Kabupaten Minahasa Selatan, Tanjung Benoa Kabupaten Badung dan Kabupaten Bintan.
Dalam konteks sebaran temporal, diketahui bahwa kejadiannya hampir terjadi sepanjang tahun, kecuali pada bulan Juni dan Juli. Kejadiannya fluktuatif dengan jumlah kasus berkisar antara 1 – 6 kasus per bulan.
baca juga : Dugong Mati Terdampar di Polewali Mandar, Perlunya Dorongan Penelitian
Frekuensi kejadian tertinggi dicatat pada bulan Januari (6 kasus), Februari (5 kasus), Desember dan November 4 kasus, Mei dan Oktober 3 kasus, April dan September 2 kasus, serta bulan Maret dan Agustus masing-masing 1 kasus.
“Ketika periode waktu dipartisi berdasarkan musim, frekuensi kejadian dugong terdampar lebih banyak terjadi pada periode musim angin barat antara bulan Oktober sampai Maret (23 kasus) dibandingkan saat musim angin timur antara bulan April hingga September (8 kasus),” ungkapnya.