- Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengecam tindakan kekerasan dan intimidasi oleh Polres Nagekeo terhadap 24 orang masyarakat adat Rendu yang ditangkap secara paksa dan dibawa ke Kantor Polres Nagekeo, pada awal April terkait permasalahan pembangunan waduk atau Bendungan Lambo/Mbay
- Masyarakat terdampak pembangunan Waduk Lambo dari persekutuan adat Labo, Lele, dan Kawa (Labolewa) kembali mendatangi Kantor Bupati Nagekeo, BPN, DPRD dan Polres Nagekeo, pada Januari 2022. Mereka menanyakan soal luas genangan Waduk Lambo yang terus berubah hingga menyesalkan langkah yang dilakukan Bupati Nagekeo
- Kepala BWS NT II Agus Sosiawan saat sosialisasi pelaksanaan pembangunan Bendungan Mbay atau Lambo di Kabupaten Nagekeo tanggal 8-9 September 2021 menyebutkan pekerjaan di lapangan akan dimulai sebab Kontrak Pekerjaan Pembangunan Bendungan Mbay Paket I dan Paket II telah ditandatangani pada tanggal 19 Agustus 2021 dengan waktu pelaksanaan hingga tahun 2024
- Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do dalam kegiatan sosialisasi mengaku mendukung penuh pembangunan bendungan ini yang membawa manfaat besar bagi masyarakat Nagekeo khususnya warga terdampak. Dia mengatakan,Nagekeo sebagai salah satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) butuh infrastruktur maupun sarana pendukung diantaranya sumber daya air
Sebanyak 24 orang masyarakat adat Rendu ditangkap secara paksa dan dibawa ke Kantor Polres Nagekeo, Senin (4/4/2022). Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengecam tindakan kekerasan dan intimidasi Polres Nagekeo ini.
Koordinator PPMAN Region Bali Nusa Tenggara, Antonius Johanis Bala melalui rilis, Rabu (6/4/2022), mengatakan tindakan dan perilaku kekerasan serta intimidasi yang dilakukan oleh Polres Nagekeo merupakan tindakan pelanggaran hukum dan konstitusi.
John sapaannya menyebutkan, keberadaan masyarakat adat dilindungi oleh konstitusi sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Hak Azasi Manusia.
“Pembangunan Waduk Lambo menimbulkan pro dan kontra di masyarakat adat di Rendu. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Polres Nagekeo untuk membenturkan pendapat masyarakat terhadap pembangunan Waduk Lambo,” ujarnya.
John menyebutkan, Polres Nagekeo membuat skenario untuk menciptakan konflik horisontal antara masyarakat adat dari suku yang berbeda dengan masyarakat adat suku Rendu.
John menegaskan, tindakan dari Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL) dengan menyetujui pembangunan waduk merupakan tindakan yang dilakukan dalam posisi dan kondisi yang tidak bebas, karena adanya tekanan, paksaan dan ancaman yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian Polres Nagekeo.
Ia sebutkan, pernyataan sikap yang diungkapkan oleh ketua forum tersebut tidak mewakili seluruh kepentingan masyarakat adat Rendu karena dapat dipastikan tidak ada proses konsolidasi dan koordinasi dengan masyarakat adat lainnya disaat keputusan itu diambil.
baca : Apa Kabar Pembangunan Waduk Lambo? Kenapa Masyarakat Masih Menolak?

Lanjutnya, tindakan Polres Nagekeo dengan menjemur masyarakat adat merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan tidak mencerminkan sebagai aparat penegak hukum yang baik.
“Seharusnya kepolisian melindungi kepentingan masyarakat. Namun pada kasus Waduk Lambo sangat terlihat Polres Nagekeo tunduk dan patuh untuk menjalankan perintah-perintah dari pengusaha, pemilik modal atau perusahaan yang akan membangun proyek Waduk Lambo,” sesalnya.
Manager Bidang Advokasi PPMAN Ermelina Singereta, menjelaskan, pihaknya telah membuatkan laporan atas sikap Polres Nagekeo ke Propam Mabes Polri beberapa waktu lalu.
Ermelina katakan Propam Mabes Polri telah mendelegasikan laporan PPMAN ke Polda NTT, namun pihaknya belum mendapatkan respon atas surat perkembangan laporan yang telah dikirimkan ke Propam Polda NTT.
“Ini menunjukan sikap ketidakpedulian dan ketidakprofesionalnya aparat kepolisian di Polda NTT. Sesungguhnya sikap seperti ini sangat merugikan masyarakat NTT. Kami juga telah membuatkan laporan ke Kompolnas, Komnas HAM dan Komnas Perempuan,” ucapnya.
Ermelina juga mengakui pihaknya kembali akan mengirimkan surat ke Mabes Polri, membuatkan laporan ke Propam Mabes Polri, lembaga negara lainnya dan Komisi III DPR.
“Kami akan terus mengawal dan mendampingi Masyarakat Adat Rendu dan mengambil beberapa tindakan hukum lainnya, agar tercapainya keadilan bagi Masyarakat Adat Rendu yang memiliki hak penuh atas tanah leluhurnya,” tegasnya.
baca juga : AMAN Minta Pengukuran Tanah Adat untuk Waduk Lambo Dihentikan. Kenapa?

Data Selalu Berubah
Dikutip dari kupangtribunnews.com, Selasa (11/1/2022) masyarakat terdampak pembangunan Waduk Lambo dari persekutuan adat Labo, Lele, dan Kawa (Labolewa) kembali mendatangi Kantor Bupati Nagekeo,BPN,DPRD dan Polres Nagekeo, Senin (20/1/2022).
Koordinator aksi, Klemens Lae mengatakan, pemerintah dalam hal ini Balai Sungai Wilayah Nusa Tenggara II (BWS NT II) tidak konsisten mengenai luas genangan Waduk Lambo.
Klemens paparkan, pada masa kepemimpinan Bupati Nagekeo Elias Djo dikatakan bahwa luas genangan mencapai 431,92 hektare dan kembali berubah menjadi 753,92 hektar versi BWS NT II.
“Luas genangan kembali berubah menjadi 592,59 hektare versi penetapan lokasi oleh Gubernur NTT. Menurut Kepala BPN Nagekeo luas genangannya 617 hektare sementara berdasarkan data revisi dari PT. Waskita Karya, luasnya mencapai 847,67 hektare,” tuturnya.
Klemens sebutkan, Pemkab Nagekeo tidak profesional dalam menyelesaikan masalah pembangunan waduk ini. Menurutnya, Bupati Nagekeo selalu membiarkan dan mengabaikan seluruh persoalan yang terjadi di lapangan.
“Berbagai tuntutan masyarakat tidak pernah direspon secara baik. Bahkan Bupati Nagekeo menyampaikan pernyataan yang cenderung menimbulkan konflik di tengah masyarakat dengan menuduh bahwa masalah yang terjadi dalam proses pembangunan waduk ini dipengaruhi oleh adanya penumpang gelap,” sesalnya.
baca juga : Masyarakat Menolak Lokasi Pembangunan Waduk Lambo, Kenapa?

Manfaat Bendungan Lambo
Dikutip dari sda.pu.go.id Kepala BWS NT II Agus Sosiawan saat sosialisasi pelaksanaan pembangunan Bendungan Mbay atau Lambo di Kabupaten Nagekeo tanggal 8-9 September 2021 menyebutkan pekerjaan di lapangan akan dimulai.
Agus menegaskan kontrak Pekerjaan Pembangunan Bendungan Mbay Paket I dan Paket II telah ditandatangani pada tanggal 19 Agustus 2021 dengan waktu pelaksanaan hingga tahun 2024.
Dirinya menjelaskan, bendungan ini membutuhkan lahan sekitar 592 Ha dengan kapasitas 51,74 juta M³ serta memberikan manfaat irigasi terhadap 5.898,6 Ha lahan.
“Bendungan ini bermanfaat bagi penyediaan air baku sebesar 205 liter/detik dan pengendalian banjir dengan debit 283,33 M³/detik pada daerah hilir bendungan di Kecamatan Aesesa,” paparnya.
Agus menerangkan area terdampak meliputi Desa Rendubutowe Kecamatan Aesesa Selatan, Desa Labulewa Kecamatan Aesesa dan Desa Ulupulu Kecamatan Nangaroro.
Lanjutnya, pembayaran ganti rugi lahan akan dilaksanakan oleh Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) Kementerian Keuangan dimana Tim Apprasial bertugas menilai harga tanah, bangunan atau apapun yang ada diatasnya.
“Selanjutnya kami segera mengusulkan kepada Kementerian Keuangan melalui LMAN. Dana yang tersedia cukup dan tinggal menunggu proses. Apabila administrasi sudah lengkap dan dinyatakan clean and clear maka sudah bisa dibayarkan,” terangnya.
Agus jelaskan, bendungan ini memiliki potensi besar untuk destinasi wisata baru yang dikombinasikan dengan rencana Pemkab Nagekeo melakukan penataan Kampung Adat Kawa yang dekat dengan lokasi bendungan.
Melalui Perpres Nomor 109 tahun 2020, ditetapkan Bendungan Mbay/Lambo termasuk Proyek Stategis Nasional (PSN) sehingga pembangunan fisik dan anggarannya dijamin oleh pemerintah pusat sampai selesai.
baca juga : Tolak Rencana Lokasi Awal Waduk Lambo, Masyarakat Adat Rendu Berikan Alternatif

Mendukung Pembangunan
Bupati Nagekeo, Johanes Don Bosco Do dalam kegiatan sosialisasi mengaku mendukung penuh pembangunan bendungan ini yang membawa manfaat besar bagi masyarakat Nagekeo khususnya warga terdampak.
Bupati Don menegaskan, penentuan lokasi merupakan keputusan dari hasil penelitian secara teknik, bukan suka atau tidak suka.
Sebutnya, Nagekeo sebagai salah satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) butuh infrastruktur maupun sarana pendukung diantaranya sumber daya air.
Ia mengajak masyarakat Nagekeo untuk mendukung penuh pelaksanaan pembangunan bendungan yang merupakan bendungan terbesar di NTT ini.
Dia mengharapkan agar dalam pelaksanaan pembangunannya dapat melibatkan pekerja lokal atau yang berasal dari Nagekeo sesuai dengan klasifikasi yang dibutuhkan.
“Untuk penanaman di sabuk hijau akan dikerjasamakan dengan kelompok masyarakat terutama yang terdampak dari pembangunan bendungan ini,” pungkasnya.
Dalam sosialisasi dijelaskan, pembangunan bendungan ini telah melalui proses panjang sejak feasibility study tahun 1999-2000, Detail Desain 2001-2002 hingga AMDAL, LARAP dan Review Desain di tahun 2018.
Tahun 2019 Lanjutan Penyelidikan Geologi, Pembuatan Model Tes, Sertifikasi Desain Bendungan Mbay dan Penetapan Lokasi Bendungan.
Selama pekerjaan berlangsung dibuatkan terowongan pengalih aliran air (saluran pengelak) sepanjang 355 m dengan lebar 5m, sehingga lokasi pekerjaan bangunan utama bendungan tetap kering.
Bendungan utama tipe zonal Inti tegak dengan tinggi 48 m, panjang puncak 380 m, lebar 12 m, saluran pelimpah dengan tipe pelimpah samping dan lebar ambang 50 m.