- Walhi Jatim mendesak pemerintah untuk menyelesaikan kasus pencemaran akibat tumpahnya muatan batubara dari Kapal Ponton Woodman 37 pada Februari 2022 di kawasan perairan Desa Sukajeruk, Masalembu, Kecamatan Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur
- Walhi Jatim bersama warga telah melaporkan kasus tersebut kepada Penegakan Hukum (Gakkum) Jabal Nusra, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Timur, dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur, pada bulan Maret 2022.
- Pihak DLH Jatim kemudian melakukan koordinasi dan upaya lanjutan dengan berbagai pihak terkait. Sedangkan petugas Satuan Pengawas SDKP Jawa Timur telah datang ke Pulau Masalembu pada 28 Maret 2022 untuk bertemu dengan dengan masyarakat dan melakukan assessment terkait dugaan pencemaran.
- Walhi Jatim meminta kementerian terkait untuk mengumumkan hasil temuan dan melakukan tindakan sesegera mungkin untuk mengatasi pencemaran akibat tumpahan batubara di perairan Masalembu. Dan segera melakukan mitigasi dan melokalisir dampak cemaran batubara yang tumpah dan merehabilitasi kawasan yang tercemar untuk dipulihkan.
Sampai saat ini, kasus pencemaran di kawasan perairan Desa Sukajeruk, Masalembu, Kecamatan Masalembu, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur yang diakibatkan tumpahnya muatan batubara dari Kapal Ponton Woodman 37 pada Februari 2022 lalu masih belum juga diselesaikan. Hal itu disayangkan oleh aktivis lingkungan, karena peristiwa ini mengakibatkan pencemaran di wilayah perairan yang kaya dengan sumber daya ikan tersebut.
Direktur Eksekutif Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan mengatakan, warga setempat yang telah berhasil mengumpulkan bukti berupa foto, menyatakan batubara yang tenggelam ke laut mengakibatkan warna air laut berubah menjadi hitam pekat. Selain itu, ikan menjauh dari wilayah perairan yang terpapar tersebut. Dampaknya, nelayan tradisional tidak bisa mencari ikan.
“Jika dampak tumpahan tersebut tidak segera diatasi, maka akan meningkatkan resiko kerusakan ekosistem, terutama ancaman pada keberlanjutan terumbu karang yang menjadi penanda penting keseimbangan ekosistem perairan,” ungkapnya, Minggu (24/4/2022)
WALHI Jawa Timur bersama warga, tambahnya, telah melakukan pelaporan tentang tumpahan batubara ini ke sejumlah pihak terkait, yaitu: Penegakan Hukum (Gakkum) Jabal Nusra, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Timur, dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur, pada bulan Maret 2022.
baca : Nelayan Resahkan Kapal Pengangkut Batubara yang Kandas Mencemari di Perairan Masalembu
Dia bilang, laporan tersebut baru mendapatkan respons pada bulan April 2022. Dari respon tersebut, pelapor menerima keterangan bahwa DLH Jatim sedang melakukan koordinasi dan upaya lanjutan dengan berbagai pihak terkait. Sebelumnya, petugas Satuan Pengawas SDKP Jawa Timur telah datang ke Pulau Masalembu pada 28 Maret 2022 untuk bertemu dengan dengan masyarakat dan melakukan assessment terkait dugaan pencemaran.
“Kami menyayangkan respons yang sangat lambat dan tidak ada keterbukaan ke publik mengenai persoalan ini. Hal ini akan jadi preseden buruk bagi penegakkan hukum lingkungan karena berlarut-larutnya penyelesaian kasus dan upaya rehabilitasi,” katanya.
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI menegaskan, bahwa seharusnya pemerintah perlu membuka sumber dan tujuan pengiriman batu bara yang tumpah di perairan Masalembu ini.
“Pemerintah bertanggungjawab untuk segera menindak tegas perusahaan yang terbukti mencemari laut oleh tumpahan batubara di perairan Masalembu. Jika itu dibiarkan, sama saja membiarkan keteledoran yang mengorbankan ekosistem dan juga menghambat aktivitas nelayan. Di sana kan hidup nelayan bergantung lautanya. Sementara, kalau lautnya tercemar, otomatis pendapat ikan tangkap akan sulit,” jelasnya, dikonfirmasi Mongabay Indonesia, Jum’at (22/4/2022).
Menurutnya, desakan tersebut juga didasarkan pada sejumlah undang-undang terkait. Pertama, UU No. 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 35 poin c menyebutkan larangan untuk menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang
baca juga : Menyoal Perpanjangan dan Cabut Izin Usaha Mineral dan Batubara
Selanjutnya, dalam pasal 75 ayat 1 poin a menyebut, dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar setiap Orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
Kedua, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 98 ayat 1 menyebut, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.
Dalam Pasal 98 ayat 2 disebutkan, apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp4 miliar dan paling banyak Rp12 miliar.
Dia menambahkan, Pasal 103 menyebut, Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp3 miliar.
Selanjutnya, Pasal 104 menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
baca juga : Menanti Keseriusan Bank di Indonesia Lepas dari Batubara
“Sampai saat ini, penanganan kasus tumpahan batubara ini mengambang, terhitung sejak bulan Februari 2022 lalu. Atas dasar itu, WALHI bersama dengan masyarakat Masalembu mendesak supaya pemerintah segera menuntaskan kasus pencemaran akibat tumpahan batu bara yang terjadi di perairan Masalembu ini. Penting untuk segera menegakkan hukum bagi pelaku sekaligus memberikan sanksi pidana sebagai sarana menegakan hukum agar kejadian seperti ini tidak terus terulang di kemudian hari. Selain itu, semua proses serta temuan juga harus disampaikan kepada publik,” jelasnya.
Bersama warga Masalembu, ungkap Parid, Walhi juga meminta kepada pihak pemerintah terutama yang memiliki tugas di wilayah lingkungan hidup dan kelautan seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta instansi terkait untuk segera mengumumkan hasil temuan dan melakukan tindakan sesegera mungkin untuk mengatasi pencemaran akibat tumpahan batubara di perairan Masalembu. Kedua, Segera melakukan mitigasi dan melokalisir dampak cemaran batubara yang tumpah dan merehabilitasi kawasan yang tercemar untuk dipulihkan.
Ketiga, melakukan langkah preventif agar kejadian serupa tidak terjadi lagi dan menindak perusahaan yang melakukan pencemaran dengan hukuman berat sesuai dengan UU PPLH No 32 Tahun 2009, UU 27 tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014, dan aturan terkait lainnya agar dikemudian hari tidak terjadi kejadian serupa.
“Selain itu, pemerintah harus melakukan pengawasan yang ketat kepada perusahaan jasa angkutan untuk lebih memperhatikan keamanan pengangkutan dan standar pencegahan pencemaran lingkungan hidup. Hal yang tidak kalah penting juga bahwa pemerintah untuk segera menetapkan wilayah perairan pulau-pulau kecil sebagai kawasan ekosistem esensial dan kawasan tangkapan nelayan tradisional serta tidak menjadikannya sebagai kawasan industri ekstraktif serta kawasan lintasan untuk kapal-kapal pengangkut batu bara,” tegas Parid.