- Forest & Finance menemukan bank-bank di dunia memberikan US$37,7 miliar kepada 23 perusahaan pertambangan, yang berisiko menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Lima pemodal teratas yakni Citigroup, BNP Paribas, SMBC Group, MUFG dan Standard Chartered.
- Dari semua kredit yang diberikan sejak 2016, setelah Perjanjian Iklim Paris ditandatangani, sampai 2021, 43% kredit kepada perusahaan di wilayah tropis Asia Tenggara paling banyak (US$ 16,1 miliar). Sisanya, masing-masing US$10.8 miliar untuk perusahaan di Afrika Tengah dan barat, serta Amerika Latin.
- Nasabah bank saat ini makin sadar soal penggunaan dana mereka. Kalau bank terus gunakan simpanan dan deposito nasabah ke sektor yang merusak lingkungan dan memicu perampasan ruang hidup, nasabah akan bergeser ke bank lain yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
- Catatan Walhi 2021, luas pertambangan di Indonesia 97, 767 juta hektar atau setengah dari luas daratan Indonesia telah dikuasai sektor tambang. Paling banyak tambang mineral dan batubara (71%), sisanya migas. Konsesi tambang batubara juga paling banyak berada di kawasan hutan, disusul emas dan nikel.
Koalisi organisasi masyarakat sipil global, Forest & Finance menemukan bank-bank di dunia memberikan US$37,7 miliar kepada 23 perusahaan pertambangan, yang berisiko menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Lima pemodal teratas yakni Citigroup, BNP Paribas, SMBC Group, MUFG dan Standard Chartered.
Dari semua kredit yang diberikan sejak 2016, setelah Perjanjian Iklim Paris ditandatangani, sampai 2021, 43% kredit kepada perusahaan di wilayah tropis Asia Tenggara paling banyak (US$ 16,1 miliar). Sisanya, masing-masing US$10.8 miliar untuk perusahaan di Afrika Tengah dan barat, serta Amerika Latin.
“Kami merilis data ini untuk memperbaiki transparansi lembaga jasa keuangan yang menjadi pendukung perusahaan tambang yang berisiko menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air, dan pelanggaran HAM,” kata Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Forest & Finance.
Data ini, katanya, bisa sebagai alat bagi masyarakat sipil menuntut pertanggungjawaban penyandang dana dan investor atas berbagai dampak proyek yang mereka biayai.
Ada 10 grup perusahaan terbesar menerima kredit ini. Tiga terbesar meliputi: Glencore, berkaitan dengan kondisi kerja buruk dan pencemaran lingkungan di Kongo. Vale, terlibat dalam konflik dengan masyarakat adat di Brasil dan Freeport McMoran, yang mencemari saluran air dan tuai kritik karena memicu konflik bersenjata di Papua dengan sejumlah pelanggaran HAM.
Selain itu, ada Anglo American, Anglocold Ashanti, Gold Fields (ZA), PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Adaro Energy, Rio Tinto, Newmont Mining. Empat nama terakhir bersama Bumi Resources juga disebut dalam laporan ini sebagai penerima kredit terbanyak.
“Inalum ini menarik. Walaupun BUMN namun penguasaan pembiayaan, hanya satu dari bank nasional yakni Bank Mandiri,” kata Edi Sutrisno, Direktur Transparansi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, bagian koalisi Forest & Finance.

Namun, katanya, bank yang memberikan kredit pada perusahaan tambang ini harus segera memperbaiki kebijakan dan menyelaraskan dengan Taksonomi Hijau yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK sebagai leading sector, harus melihat bagaimana pembiayaan yang cair dikaitkan dengan komitmen tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs).
Menanggapi temuan ini, Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies, menilai, bank yang masih terlibat pendanaan ekstraktif merusak alam dan tak peduli industri berkelanjutan, adalah bank yang tertinggal.
“Bank yang ketinggalan zaman,” katanya.
Sejumlah riset terbaru menunjukkan, setiap penyaluran 1% pinjaman ke sektor ramah lingkungan seperti energi terbarukan atau pengolahan limbah yang baik, akan menaikkan pendapatan per kapita suatu negara 0,012%.
“Itu baru 1% naiknya. Kalau kredit bisa naik 10% pendapatan perkapita bisa lebih dari 1%.”
Artinya, kata Bhima, bank salah besar kalau menganggap kenaikan harga batubara, nikel dan tambang lain, adalah kesempatan menyalurkan pinjaman.
“Harusnya berpikirnya ga begitu. Desa yang miskin bukan ditambang, tapi bagaimana kesejahteraan ditingkatkan dengan pertanian, misal.”
Data menunjukkan, setidaknya sampai tahun lalu, bank masih terjebak memberikan penyaluran kredit ke sektor pertambangan dan penggalian hingga tumbuh 15,7%. Lebih tinggi dari rata-rata pinjaman ke sektor lain.
Mengenai konflik agraria, kata Bhima, bank juga harus bertanggungjawab. Perampasan ruang hidup, penggusuruan paksa karena pertambangan yang dibiayainya merupakan kontributor tertinggi konflik agraria dibanding kredit sektor lain.
“Bank tidak bisa cuci tangan.”
Sisi lain, nasabah bank saat ini makin sadar soal penggunaan dana mereka. Kalau bank terus gunakan simpanan dan deposito nasabah ke sektor yang merusak lingkungan dan memicu perampasan ruang hidup, nasabah akan bergeser ke bank lain yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Tak benar kalau nasabah itu tak mau tau. Bahkan di negara berkembang seperti Indonesia, nasabah cuma taunya dapat bunga berapa, itu udah ga zaman. Sekarang, awareness masyarakat terhadap lingkungan makin menguat.”
Dengan kata lain, kalau penyaluran bank tak berubah, akan berpengaruh terhadap dana ketiga mereka dari deposito dan tabungan nasabah.
Bank juga berisiko kehilangan investor karena baik institusi maupun ritel yang akan masuk ke saham perbankan bakal melihat standar environmental, social and governance (ESG) bank.
Kalau ditemukan bank di Amerika Serikat atau Eropa yang menyalurkan pinjaman ke sektor bermasalah di Indonesia, seperti energi fosil, tak menutup kemungkinan berpengaruh terhadap pengelolaan dana investasi.
“Mereka akan mencari bank yang jauh lebih patuh pada standar ESG,” katanya.
Bhima mengingatkan, bank juga wajib waspada pada siklus komoditas pertambangan yang makin pendek. Saat siklus komoditas ini habis, sementara bank sudah memberikan pinjaman, misal untuk alat berat atau modal kerja, akan berujung pada kredit macet atau kredit bermasalah. Hal ini, katanya, pernah terjadi medio 2013-2014.
“Jadi, sustainability finance ini harusnya jadi standar baru perbankan.”
Untuk itu, katanya, perlu ada kajian lebih lanjut yang merinci green asset rasio bank BUMN dan bank swasta di Indonesia. Dari 105 bank di Indonesia, berapa banyak pinjaman mereka ke sektor berkelanjutan dan berapa yang masih mendani sektor ekstraktif.
“Ini akan lebih menarik dari sekedar Taksonomi Hijau.”
Bagaimana sebetulnya dampak pendanaan pertambangan di Indonesia terhadap kerusakan alam?
Studi Center of Economic and Law Studies di sekitar smelter nikel di Morowali menemukan setidaknya ada empat masalah yang akan ditanggung baik pemerintah maupun masyarakat sekitar tambang. Pertama, negara kehilangan pajak ekspor karena orientasi tambang nikel yang utama adalah untuk ekspor.
Kedua, industri ini juga tak membayar pajak pertambagan nilai (PPn).
“Kita loss dari pajak,” kata Bhima.
Ketiga, dari segi tenaga kerja, kajian ini juga menemukan ada tenaga kerja asing masuk melalui visa on arrival atau visa wisatawan. Padahal, kalau tenaga ahli masuk ke Indonesia, wajib membayar pungutan. Artinya, ada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga hilang.
Terakhir, masalah lingkungan akan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Misal, ketika flying ash dampak pembakaran batubara di PLTU milik smelter nikel, mencemari air minum dan sumur warga, selain daerah kehilangan pendapatan, juga harus mengurusi dampak lingkungan yang muncul.
“Kalau mau dicari-cari dampak positifnya tentu ada, terkait tenaga kerja atau warung-warung yang tumbuh di sekitar tambang dan smelter, tapi dampak negatifnya lebih banyak.”

Banyak masalah
Catatan Walhi 2021, luas pertambangan di Indonesia 97, 767 juta hektar atau setengah dari luas daratan Indonesia telah dikuasai sektor tambang. Paling banyak tambang mineral dan batubara (71%), sisanya migas. Konsesi tambang batubara juga paling banyak berada di kawasan hutan, disusul emas dan nikel.
Operasi tambang pada tutupan lahan hutan diperkirakan menyumbang emisi terbesar dengan total lebih 536 juta ton Co2 e. Penggunaan tutupan lahan perkebunan/pertanian oleh sektor tambang diperkirakan menyumbang emisi 160 juta ton CO2.
Penggunaan tutupan lahan semak belukar oleh pertambangan juga menyumbang emisi sebesar 58 juta ton CO2 e.
Sisanya, secara berturut-turut penggunaan tutupan lahan oleh pertambangan diperkirakan menyumbang emisi 13,8 juta ton CO2 e di ekosistem lahan basah, 7,5 juta ton di lahan mangrove, 251.000 ton di tanah terbuka, 468.000 ton di permukiman atau infrastruktur serta 165.000 ton di savana atau padang rumput.
“Tambang juga salah satu penyumbang kriminalisasi terhadap masyarakat dan pejuang lingkungan hidup,” kata Hadi Jatmiko Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional.
Selama 2021, terjadi 58 kasus kriminalisasi, paling banyak di pertambangan (52%) diikuti kehutanan dan perkebunan.
“Praktik tambang di Indonesia mayoritas melanggar HAM yang diduga selalu bekerja sama dengan pihak keamanan,” katanya.
Walhi meminta, bank dan lembaga pembiayaan berhenti mendanai perusahaan tambang yang merusak lingkungan.
Juga meminta, pemerintah evaluasi izin tambang secara keseluruhan dan memastikan pemulihan lingkungan akibat aktivitas tambang.
“Mencabut izin perusahaan yang sudah merampas ruang hidup masyarakat, mencabut UU Minerba baru yang memberi ruang perpanjangan kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup masyarakat dan membuat peraturan untuk perlindungan pejuang lingkungan.”
Pemerintah juga dinilai perlu memperluas wilayah kelola rakyat sebagai jalan pemulihan lingkungan hidup, ekonomi komunitas dan perubahan iklim.
