- Industri pariwisata termasuk usaha perjalanan, akomodasi, dan restoran memberi andil besar dari meningkatnya food waste, makanan segar atau makanan jadi yang terpaksa jadi limbah.
- Usaha pengurangan atau manajemen pariwisata yang berkelanjutan dinilai masih minim karena belum jadi isu besar.
- Sejumlah strategi dan pengalaman beberapa negara menunjukkan ada jalan untuk solusi pengurangan food waste.
- Solusi yang pernah dipraktikkan di antaranya penelusuran sisa makanan di unit usaha, pengelolaan menu sesuai dengan bahan baku yang tersedia, dan pemetaan sisa makanan.
Industri hospitality dinilai sebagai salah satu sumber produsen makanan jadi limbah (food waste) yang sampai saat ini belum banyak ditanggulangi. Di sisi lain masih ada persoalan pembangunan berkelanjutan untuk mengatasi kelaparan dan kekurangan nutrisi.
Sejumlah peneliti berbagi hasil temuan dan strategi untuk mengurangi food waste dari usaha perjalanan wisata, akomodasi, dan resor-resor wisata berbasis pulau dalam webinar international: Food for Toughts, Waste Free Tourism. Dihelat 22 April 2022 oleh Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Bali, dalam perayaan fakultas ke-37.
Viachaslau Filimonau dari School of Hospitality and Tourism Management University of Surrey, UK mengutip data UNEP 2021 menyebut 31% makanan jadi limbah. Jumlahnya sekitar 1,3 miliar ton per tahun (FAO 2021).
Hal ini menjadi paradoks karena ada kesenjangan seperti produksi berkurang namun konsumsi malah jadi limbah. Di sisi lain, makin berkembang konsep produksi, sesuatu yang dianggap limbah tapi makanan bernutrisi dan bisa dimakan (edible food) seperti biji bunga matahari dan kulit kentang. Ada juga semi edible food seperti tulang yang diolah. Karena itu, menurutnya, limbah makanan berkaitan dengan perilaku makan manusia.
Limbah makanan adalah biaya utama di industri turisme dan hospitality. Inggris Raya memperkirakan nilainya sekitar 3 miliar Euro per tahun pada 2014. Nilai ini dihasilkan dari tahap persiapan dan masak 50%, sisa di piring konsumen 35%, dan penyajian atau penyimpanan 15%. Tiga kelompok limbah ini adalah buah dan sayur, roti, dan daging.
baca : Sisa Makanan Ternyata Memicu Perubahan Iklim. Kok Bisa?
Dari riset Filimonau dan rekannya pada 2021, lebih sedikit makanan terbuang dalam rantai bisnis yang terafiliasi. Fine dining atau makanan mahal lebih banyak terbuang di dapur. Sedangkan di layanan budget atau cepat lebih banyak terbuang di piring. Perusahaan besar lebih sedikit membuang sisa makanan dari tiap konsumen. Mereka dinilai lebih efisien melakukan layanan.
“Pendekatan manajemen biasanya pasif,” ujarnya. Keberlanjutan lingkungan tidak menjadi prioritas. Terlebih dampak pandemi, perusahaan fokus di memaksimalkan keuntungan untuk mengejar pendapatan.
Sejumlah cara praktis untuk mengurangi food waste di antaranya, untuk pihak internal dapur harus memperkirakan permintaan, pelatihan koki untuk mengurangi sisa makanan, dan menu sesuai dengan bahan yang tersedia. Dari sejumlah pengalaman restoran, menurutnya kadang banyak konsumen terkejut karena tidak menduga apa yang akan mereka dapatkan dari menu yang menyesuaikan dengan ketersediaan bahan. Sedangkan di luar dapur, perlu pendekatan konsumen dan komposting di lokasi, seperti hotel dan restoran.
Filimonau juga membagi sebuah konsep gelembung kolaborasi, sebuah kerjasama antara petani, pemilik usaha, dan konsumen. Ada juga beberapa referensi yang bisa jadi panduan dan global roadmap untuk mengurangi sisa makanan dalam sektor pariwisata. Misalnya sejumlah tools referensi untuk keberlanjutan pengelolaan makanan. Di antaranya Building and Understanding for Food Excess in Tourism (BUFFET) dikembangkan oleh The Asia Pacific Asia Travel Ascociation (PATA). Ada juga manual Sustainable Food Tools-Ways Communicate with Guests, University Vienna, Hotel Kitchens-Toolskit dari UNWTO, dan lainnya.
Langkah selanjutnya adalah strategi monitoring, pentingnya mengembangkan riset misalnya dari kuantitas, komposisi sisa makanan, ketersediaan sarana pemilahan, metode pengelompokkan limbah untuk komposting.
baca juga : Habiskan Makanan Lebaran, Biar Tak Jadi Masalah Lingkungan
Jeremy Badgery Parker dari University of Adelaide, Australia, mengulas prinsip keamanan pangan. Prinsip ini meliputi ketersediaan pangan, akses, keamanan, dan stabilitas. Pentingnya keamanan pangan sesuai dengan piramida kebutuhan tiap orang misalnya untuk pertumbuhan, pengakuan dan rasa hormat, hubungan sosial, kesehatan, dan perlindungan.
Sedangkan Azila Asmi dari Faculty of Hotel and Tourism Management Universiti Teknologi MARA, Malaysia membagi hasil penelitian di resor Pulau Langkawi. Gugusan pulau yang menjadi tujuan wisata dengan lanskap alam dan lautan.
Pengelolaan industri hotel berbasis pulau ini menurutnya mirip dengan Bali serta resor-resor wisata kepulauan lain di Indonesia. Industri meliputi usaha perjalanan, penginapan, event, makanan dan minuman, serta rekreasi adalah industri yang paling cepat berkembang. Dari catatanya, produksi limbah sekitar 1 kg per hari per tamu. Di Malaysia hampir 17 ribu ton per hari atau 80% limbah berakhir di TPA (Hashim, 2021). Ia mengatakan kesadaran penurunan limbah dan daur ulang masih rendah.
Ia mengelompokannya menjadi limbah padat termasuk plastik dan limbah basah yakni sisa makanan. Ada juga limbah berbahaya seperti sisa minyak goreng dan lainnya.
Pulau Langkawi luasanya hampir 48 ribu hektar, terdiri dari 99 pulau kecil. Pada 2017, oleh UNESCO dinobatkan sebagai global geopark pertama di Asia Tenggara. Dari 168 hotel, hanya 56 yang menyediakan jasa makanan dan minuman. Karena wisata berbasis pulau, memberi dampak besar, TPA sudah hampir penuh karena produksi sampah turis dua kali lebih banyak dibanding warga.
Riset pada 2019 ini mewawancarai 23 pelaku hotel. Sejumlah hasil pemetaan adalah ada faktor internal seperti rendahnya kebijakan dan pengelolaan limbah, rendahnya keterampilan persiapan masak, dan kurangnya fasilitas seperti tidak tahu cara komposting. Faktor eksternal yang mendorong food waste di antaranya konsumsi turis saat makan bufet dan bahan makanan didistribusikan melalui rantai pasok yang panjang. Mengakibatkan bahan makanan rentan rusak atau tidak segar. Staf hotel juga dinilai tidak punya komunikasi dan kurang edukasi soal pengurangan sisa makanan.
baca juga : Sisa Makanan jadi Limbah Dominan, Ini Cara Mengolahnya.
Asmi memberikan beberapa referensi untuk memulai manajemen makanan yang berkelanjutan dan inisiatif yang sudah dicoba beberapa negara. Misalnya di Thailand ada yang berbasis aktivitas (menu engineering) mampu mengurangi 45% food waste saat periode studi.
Ada juga strategi menelusuri sisa makanan (food waste tracking system) bisa mengurangi 80% limbah. Ada juga pemetaan sisa makanan (food waste mapping) sebagai monitoring atau mengurangi porsi. “Perlu pendekatan menyeluruh di industri seperti edukasi, keterampilan, dan lainnya,” sebutnya.
Yayu Indrawati dan I Nyoman Sunarta, penanggap dari Fakultas Pariwisata Universitas Udayana memberi konteks lokal jika masalah food waste juga terjadi di Bali. Yayu mengutip data, hampir 150 ribu kg makanan dibuang per hari di Kota Denpasar. Untuk mencapai zero hunger dalam SDGs, usaha dari sektor pariwisata sangat berpengaruh.
Yayu mengakui makanan berdampak penting bagi pengalaman turis. Namun ada fakta jika food waste termasuk makanan segar tak hanya sisa makanan. Tapi ada hal lain yang mendorong terbuangnya makanan di industri pariwisata misalnya produksi pertanian yang dianggap tidak layak seperti buah kecil atau sedikit rusak. Hal ini menurutnya perlu kolaborasi petani, konsumen, dan industri pariwisata.
Dari sisi konsumsi, hotel-hotel yang menyediakan bufet juga jadi pendorong banyak makanan terbuang. “Sangat tragis ketika melihat banyaknya sisa makanan dan warga yang masih kelaparan,” keluhnya.