- Studi terbaru di Jurnal Nature, edisi 27 April 2022, menjelaskan bahwa sekitar 21 persen dari semua spesies reptil di seluruh penjuru Bumi berisiko terancam punah.
- Penelitian ini dilakukan pada 24 negara di enam benua. Sebanyak 196 spesies reptil dianalisis dan hasilnya sekitar 1.829 dari jumlah tersebut hidupnya terancam. Dengan kata lain, satu dari lima spesies reptil hidup dalam risiko terancam punah.
- Reptil dalam penelitian ini antara lain berasal dari Ordo Testudines [kura-kura], Ordo Crocodolia [buaya], Ordo Squamata [kadal, ular], dan Ordo Rhynchocephalia [tuatara].
- Reptil sangat berguna dalam upaya pengendalian hama. Kepunahan reptil ini juga berdampak pada hilangnya 15,6 miliar tahun sejarah evolusinya.
Studi terbaru yang dipublikasikan di Jurnal Nature, edisi 27 April 2022, menjelaskan tentang analisis penilaian kepunahan reptil. Diperkirakan, sekitar 21 persen dari semua spesies reptil di seluruh penjuru Bumi berisiko terancam punah.
Penelitian ini dilakukan pada 24 negara di enam benua. Sebanyak 10.196 spesies reptil dianalisis dan hasilnya sekitar 1.829 dari jumlah tersebut hidupnya terancam. Sederhananya, satu dari lima spesies reptil hidup dalam risiko terancam punah.
Studi ini juga menyoroti apa yang akan hilang jika kita gagal melindungi reptil, yaitu perubahan ekosistem. Sebab, reptil sangat berguna dalam upaya pengendalian hama. Tak hanya itu, kepunahan reptil ini juga berdampak pada hilangnya 15,6 miliar tahun sejarah evolusinya.
Reptil dalam penelitian ini antara lain berasal dari Ordo Testudines [kura-kura], Ordo Crocodolia [buaya], Ordo Squamata [kadal, ular], dan Ordo Rhynchocephalia [tuatara].
Spesies kadal dan ular menjadi kelompok terbesar dalam penelitian ini, yaitu 9.820 spesies. Sedangkan kura-kura sekitar 351 spesies dan buaya sejumlah 24 spesies.
Hasilnya, sebanyak 57.9 persen penyu terancam punah, sementara buaya sekitar 50,0 persen terancam. Artinya, setengah dari semua jenis buaya [11 dari 23 spesies] dianggap terancam dan masuk dalam Daftar Merah IUCN.
Presentasi dua hewan tersebut jauh lebih tinggi dari ancaman kepuanahan kadal dan ular [19,6%], serta tuatara [0%]. Sementara, ancaman kepunahan penyu dan buaya diimbangi oleh salamander [57,0%].
Baca: Tidak Bergerak 7 Tahun, Salamander Ini Tetap Hidup
Neil Cox, Manajer Unit Penilaian Keanekaragaman Hayati Internasional IUCN-Conservation, menegaskan hasil penilaian reptil secara global ini menandakan perlunya kita meningkatkan upaya bersama untuk melestarikannya.
“Reptil sangat beragam, mereka menghadapi berbagai ancaman di berbagai habitat,” kata Neil Cox, yang merupakan penulis lapaoran tersebut, dikutip IUCN.
Sean T. O’Brien, Presiden dan CEO NatureServe menjalaskan, reptil memang tidak sering menginspirasi tindakan konservasi, tetapi mereka adalah makhluk yang menarik dan memiliki peran penting dalam ekosistem di seluruh planet ini.
“Kita semua mendapat manfaat dari peran mereka dalam mengendalikan spesies hama dan menjadi mangsa burung beserta hewan lainnya,” katanya.
Dia menegaskan, analisis penilaian reptil global ini memungkinkan para peneliti untuk menentukan di mana reptil paling membutuhkan bantuan dan berfungsi sebagai langkah besar untuk melawan krisis kepunahan global.
“Upaya konservasi untuk hewan lain kemungkinan besar telah membantu melindungi banyak spesies reptil,” jelasnya.
Baca: Rahasia Tardigrada Sebagai Hewan Terkuat di Dunia Terungkap
Hilangnya habitat
Peneliti juga mengalisis ancaman penyebab kepunahan reptil tersebut. Jawabannya tak lain karena hilangnya habitat yang disebabkan oleh perluasan lahan pertanian, penggundulan hutan [penebangan], dan pembangunan perkotaan.
Ancaman ini sama di setiap negara di seluruh dunia, terutama di pusat keanekaragaman reptil, yaitu di kawasan Asia Selatan dan Tenggara. Sedangkan ancaman substansial lain adalah dampak spesies asing invasif, terutama predator, dan perburuan.
Namun ancaman paling serius adalah perusakan habitat dan konflik dengan manusia. Misalnya, gharial [buaya pemakan ikan] di India dan Nepal, yang terancam punah karena bendungan dan konstruksi telah memecah sungai tempat hidupnya. Pengambilan air untuk irigasi telah mengurangi aliran sungai dan menurunkan kualitas habitat tersisa.
Baca juga: Perubahan Iklim dan Ancaman Kepunahan Komodo
Perubahan iklim juga turut mempercepat kepunahan reptil. Terbukti, komodo juga mengalami ancaman serius.
Spesies asli dari Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, itu menurut IUCN, naik dari status Rentan [Vulnerable/VU] menjadi Genting [Endangered/EN] atau dua Langkah menuju kepunahan di alam liar.
“Naiknya suhu global dan permukaan air laut akan mengurangi habitat yang cocok bagi komodo setidaknya 30% dalam 45 tahun ke depan,” demikian rilis IUCN pada 4 September 2021 lalu.
Dalam penelitian ini juga disebutkan pertanian telah mempengaruhi kepunahan reptil di hutan sebanyak 65,9 persen. Pembangunan perkotaan mempengaruhi sebanyak 34,8 persen, dan penebangansekiatr 27,9 persen.
Begitu juga reptil yang hidup di lingkungan kering seperti gurun dan semak belukar, ancaman mereka tetaplah penebangan dan konversi lahan untuk pertanian.
Dengan demikian, 30 persen reptil yang tinggal di hutan berisiko punah, dibandingkan dengan 14 persen di habitat kering. Begitu juga ulat king kobra [Ophiophagus hannah] yang terancam rusaknya hutan. Ancaman hewan melata ini tak lain adalah perburuan, hingga perubahan fungsi habitat.
Craig Hilton-Taylor, Kepala Unit Daftar Merah IUCN menjelaskan dengan adanya penilaian reptil dunia dalam Daftar Merah IUCN, membuat pihaknya memahami lebih detil dari sebelumnya tentang bagaimana reptil hidup dan ancaman apa yang mereka hadapi.
“Meskipun hasil penilaian sangat memprihatinkan, penelitian ini sebagai tonggak panduan untuk tindakan konservasi di tempat yang paling membutuhkannya,” paparnya.