- Kelangkaan minyak goreng sawit, mendorong pemerintah memberlakukan larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya termasuk minyak sawit mentah. Kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng sawit dalam negeri ini dinilai hanya bersifat jangka pendek, tak menyasar problem mendasar industri sawit yakni karut marut tata kelola.
- Mansuetus Darto, Sekjen Serikat Petani Sawit (SPKS), menilai, masalah kenaikan harga minyak goreng ini akan terjadi ke depan kalau tak ada perubahan sistemik dalam industri sawit di Indonesia. Mengapa? Karena pelaku usaha menguasai hulu hingga hilir industri ini, mulai dari perkebunan hingga proses refinery minyak goreng.
- Fariz Panghegar, Traction Energy Asia mengatakan, selama ini tidak ada regulasi terkait tata niaga industri sawit hingga negara gagap terhadap situasi pasar CPO yang dinamis. Akibatnya, saat harga CPO melonjak tinggi, pengusaha akan memprioritaskan untuk ekspor daripada memenuhi kebutuhan dalam negeri.
- Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, perbaikan tata kelola bisa membuat pemerintah mengurangi konglomerasi lahan dan konsentrasi CPO yang selama ini ada pada kelompok tertentu.
Pemerintah resmi melarang ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng, termasuk minyak sawit mentah (crude palm oil/ minyak sawit mentah) sejak 28 April lalu. Kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng sawit dalam negeri ini dinilai hanya bersifat jangka pendek, tak menyasar problem mendasar industri sawit yakni karut marut tata kelola.
Sonny Mumbunan, ekonom dan peneliti dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia memaklumi keputusan pemerintah namun hal ini tidak bisa dilakukan terus menerus.
“Harus ada perbaikan tata kelola oleh pemerintah,” katanya saat dihubungi Mongabay, Minggu (1/5/22).
Kalau tidak, ketidakberdayaan pemerintah dalam mengontrol harga sawit dan minyak goreng bisa mamangkas hutan yang masih ada saat ini. Sonny bilang, ada keterkaitan antara kenaikan harga sawit dengan deforestasi berdasarkan penelitian 2001-2016.
Penelitian yang dia maksud ini terbit pada 2021 dalam Journal of Environmental Economics and Management. “Intinya ada perbandingan 1:7 antara keduanya. Jika harga sawit naik satu poin standar deviasi, deforestasi akan naik 7%,” kata Sonny.
Efeknya memang baru terasa dalam beberapa tahun ke depan. Kenaikan harga sawit bisa terus terjadi karena berbagai faktor di dalam maupun luar negeri.
Saat ini, pasar luar negeri dipengaruhi konflik antara Rusia-Ukraina. Konflik ini tak hanya memicu kenaikan harga sawit, juga harga pupuk yang membuat biaya produksi di Industri sawit turut meningkat.
Di dalam negeri, kenaikan harga dipicu peningkatan permintaan menjelang hari raya, dalam hal ini Idul Fitri. Namun, katanya, tanpa faktor-faktor itu, kenaikan harga sawit merupakan sebuah keniscayaan di Indonesia.
Sonny menyebut, setidaknya dalam Jurnal yang dia rujuk disebut ada faktor seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) juga bisa memicu kenaikan harga sawit.
Untuk itu, pekerjaan rumah yang besar adalah bagaimana memastikan deforestasi tak terjadi sekalipun ada kenaikan harga sawit.
“Salah satunya dengan intensifikasi, bukan ekstensifikasi. Ini yang sudah sering kita suarakan.”
Baca juga: Pemerintah Kena Somasi, Jokowi Larang Ekspor Bahan Baku dan Minyak Goreng
Sayangnya, saat ini industri sawit masih cenderung menerapkan ekstensifikasi lahan pertanian mereka. Ditambah lagi, keberpihakan pemerintah lewat dana sawit yang lebih menyasar industri besar ketimbang petani.
“Kalau (tata kelola) yang dalam negeri dibenerin, efeknya enggak harus seperti saat ini, (sampai harus) block (ekspor minyak goreng) sama sekali,” katanya.
Perbaikan tata kelola industri sawit juga disuarakan kelompok masyarakat sipil yang memberi somasi pada pemerintah atas kelangkaan dan harga minyak goreng tinggi. Langkah ini, mereka nilai lebih efektif ketimbang menutup keran ekspor yang bersifat sementara.
“Perbaikan tata kelola bisa membuat pemerintah mengurangi konglomerasi lahan dan konsentrasi CPO yang selama ini ada pada kelompok tertentu,” kata Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch.
Penguasaan CPO pada kelompok tertentu ini sangat terasa ketika pemerintah menyerahkan harga minyak goreng ke mekanisme pasar lantaran tidak bisa memcahkan masalah kelangkaan.
“Buktinya ketika harga dilepas ke pasaran setok minyak goreng langsung banjir.”
Sawit buat energi
Keberpihakan pemerintah terhadap Industri sawit sebagaimana dikatakan Sonny bisa terlihat dari dana sawit yang banyak lari ke industri biodiesel yang dikuasai korporasi besar. Serikat Petani Sawit (SPKS) mencatat, dana pungutan sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) yang teralokasi untuk biodiesel mencapai Rp57 triliun hingga 2020.
Dana ini meningkat pada 2021 mencapai Rp107 triliun atau 83% dari total dana yang dihimpun. Sementara dana yang mengalir ke petani untuk program replanting hanya Rp4 triliun.
Edi Suhardi, analis sawit berkelanjutan, menyuarakan hal serupa. Lebih 70% dana BPDPKS lari ke sektor biodiesel.
Dia menilai, dana BPDPKS ini seharusnya bisa terealokasi untuk subsidi minyak goreng. “Jadi, program biodiesel ini seharusnya bisa fleksibel,” katanya.
Dengan demikian, mandatory B30 pada biodiesel bisa disesuaikan di tengah krisis yang sedang terjadi. Biodiesel untuk minyak sawit, kata Edi, bisa diturunkan menjadi B0-B30, tidak perlu ‘harus’ B30.
Edi menyebut, dana BPDPKS sudah lebih dari cukup untuk subsidi minyak goreng. Jadi, prioritas mencegah inflasi dan penurunan harga minyak goreng sesuai keinginan pemerintah bisa lebih mudah tercapai.
Tenny Kristiana, Associate Researcher, International Council on Cean Transportation (ICCT) mengatakan, kengototan pemerintah mendorong biodiesel bisa membuat kelangkaan dan harga minyak goreng tinggi terulang di tahun-tahun mendatang. Apalagi, pemerintah berencana mendorong kebijakan ini menjadi B40.
“Dari mana lagi CPO-nya? Sekarang saja konsumsi CPO dalam negeri lebih tinggi untuk biodiesel ketimbang minyak goreng,” katanya dalam webinar bertajuk impact of Indonesia’s refined palm oil export ban & global bioenergy mandates, baru-baru ini.
Pernyataan Tenny beralasan, Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) sempat mengeluarkan data serupa.
Dalam catatan GAPKI, konsumsi minyak sawit untuk biodiesel melampaui pangan terjadi sejak November 2021. Pada Januari 2022, konsumsi minyak sawit dalam negeri mencapai 1.506 juta ton dengan konsumsi terbesar untuk biodiesel 732.000 ton dan industri pangan hanya 591.000 ton.
Kondisi ini menunjukkan, penting perbaikan tata kelola sawit dari hulu ke hilir. “Harus ada penyelarasan antara pemanfaatan CPO sebagai bahan fuel ‘biodiesel’ atau food ‘minyak goreng’,” katanya.
Dampak ke petani
Belum terang kapan pemerintah akan cabut pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng.
“Begitu kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, saya akan cabut larangan eskpor,” demikian pernyatan Presiden Joko Widodo dalam video yang diunggah di akun Youtube Sekretariat Presiden yang siar langsung Rabu (27/4/22).
Permendag Nomor 22/2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO, refined, bleach and deodorized palm oil, refined, bleach and deodorized palm oil dan used cooking oil hanya menerangkan akan ada evaluasi periodik setiap bulan atau dalam waktu tertentu.
“Saya harap kebijakan ini hanya jangka pendek dan setelah Lebaran bisa dicabut,” ucap Edi.
Kalau berkepanjangan, katanya, petani akan terbebani karena harga tandan buah segara (TBS) sawit jatuh.
Hal ini, katanya, karena keengganan perusahaan membeli TBS dengan harga tinggi yang ditetapkan pemerintah di tengah pelarangan ekspor. “Maka terjadi banyak PKS (pabrik sawit) yang tolak buah petani.”
Sedang petani tak memiliki kemampuan menyimpan buah yang mereka panen. Tidak seperti PKS, bisa menyimpan sampai beberapa minggu.
Dengan demikian, petani harus menelan pil pahit karena merelakan buah dibeli dengan harga murah. “Daripada busuk dalam waktu 2-3 hari,” kata Edi.
Pernyataan Edi ini dibenarkan SPKS. Mansuetus Darto, Sekjen SPKS, menyebut, penurunan harga TBS ini terjadi sejak kebijakan masih wacana.
Berdasarkan catatan terakhir 29 April, harga TBS bervariasi mulai dari Rp2.361-Rp2.900 per kilogram. Padahal, standar TBS disebut Darto berkisar antara Rp3.800-Rp3.900 per kilogram.
“Perusahaan masih bandel, masih tidak mengikuti anjuran pembelian TBS sesuai harga standar,” kata Darto.
Anjuran ini diimbau Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian yang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 165/KB.020/E/04/2022 pada 25 April lalu. Dalam SE itu gubernur daerah penghasil sawit diminta mengirimkan surat edaran pada bupati/walikota sentra sawit agar tak menerapkan harga beli TBS secara sepihak. Adapun acuan harga beli adalah pada penetapan Tim Penetapan Harga TBS tingkat provinsi.
“Ini arena pukul balik dari para taipan sawit,” kata Darto.
Dia yakin hal ini terjadi karena ketidaksukaan para oligarki sawit atas keputusan pemerintah. Pasalnya, harga TBS yang anjlok terjadi di seluruh wilayah penghasil sawit.
Darto meminta, ada tindakan tegas dari pemerintah dan penegak hukum. “Mereka yang membeli TBS murah ini melanggar hukum,”.
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies mengatakan, keputusan ini tak akan menyelesaikan masalah dan akan mengulang kesalahan pemerintah yang memberhentikan ekspor batubara pada Januari 2022.
“Yang harusnya dilakukan pemerintah mengembalikan kebijakan DMO CPO 20% dari total produksi CPO,” katanya.
Kebijakan ini akan membuat Indonesia berpotensi kehilangan devisa ekspor US$3 miliar setara Rp43 triliun.
Fariz Panghegar, Traction Energy Asia mengatakan, selama ini tidak ada regulasi terkait tata niaga industri sawit hingga negara gagap terhadap situasi pasar CPO yang dinamis. Akibatnya, saat harga CPO melonjak tinggi, pengusaha akan memprioritaskan untuk ekspor daripada memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Regulasi kita gagal mengatasi situasi. Misal, tidak ada pembagian jatah CPO untuk ekspor dan kebutuhan domestik pangan, untuk biodiesel.”
Fariz menilai, kebijakan industri sawit saat ini masih bersifat parsial dan reaktif, serta tidak berorientasi terhadap risiko di kemudian hari.
Dia katakan, perlu ada regulasi yang komprehensif untuk kebutuhan domestik dan ekspor apalagi komoditas ini tidak hanya untuk pasar domestik juga internasional.
Perlu perubahan mendasar
Darto mengapresiasi langkah presiden menghentikan sementara ekspor CPO untuk memastikan ketersediaan minyak goreng terjangkau bagi masyarakat.
Namun, dia menilai, masalah kenaikan harga minyak goreng ini akan terjadi ke depan kalau tak ada perubahan sistemik dalam industri sawit di Indonesia. Mengapa? Karena pelaku usaha menguasai hulu hingga hilir industri ini, mulai dari perkebunan hingga proses refinery minyak goreng.
Situasi ini memberi pengaruh untuk mendikte pasar, di mana pengusaha akan lebih memprioritaskan ekspor saat minyak goreng kekurangan pasok dalam negeri.
“Saat harga sawit naik, pengusaha sibuk mengekspor produk olahan ke luar negeri karena lebih menguntungkan dan melupakan tugas dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri,” katanya.
Dia mendorong, pemerintah dan BUMN membangun refinery minyak goreng baik skala kecil maupun besar. Juga perlu memperkuat koperasi-koperasi petani untuk lebih bersuara dalam menentukan harga yang kini disetir perusahaan besar.
“Agar negara tak kalah dengan segelintir orang. Ini juga bahaya bagi keamanan ekonomi dan politik dalam negeri. Dengan kartelisasi saja, bisa memporak-porandakan stabilitas politik dalam negeri.”
Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia sepakat perlu ada pengembangan industri perkebunan yang dikelola rakyat, tak hanya perusahaan besar.
“Perkebunan sawit perusahaan telah mengubah hutan jadi tanaman monokultur, menghilangkan kekayaan sumber daya alam, merampas lahan masyarakat, masyarakat adat dan penduduk lokal. ”
Perusahaan juga sering melanggar hukum, tak membayar pajak adil kepada negara, tak memenuhi peraturan bahkan beroperasi di luar konsesi dan merambah kawasan hutan.
“Negara harus berperan dalam transisi ini dengan melakukan reforma agraria, di mana perkebunan yang luasnya lebih dari 25 hektar masuk dalam program reforma agraria.”
***
Sejak akhir 2021, kenaikan harga minyak goreng menjadi sorotan. Terlebih, Indonesia sebagai negara produsen terbesar sawit di dunia. Kelangkaan mnyak goreng sawit ini berbuntut Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka dari korporasi maupun pemerintah yang tersangkut kasus mafia minyak goreng.
Kejagung menetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana, Komisaris PT Wilmar Nabari Indonesia, Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA dan General Manager PT Musim Mas, Togar Sitanggang sebagai tersangka.
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah mengatakan, penetapan tersangka dampak kebijakan Kemendag menetapkan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) bagi perusahaan yang ingin ekspor CPO dan produk turunannya.
Implementasinya, perusahaan eksportir tak memenuhi DPO namun mendapatkan izin ekspor dari pemerintah.
Jaksa penyidik menemukan perbuatan melawan hukum dalam kasus ini. Upaya ini tidak berpedoman pada pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri. Kejagung mensinyalir ada gratifikasi dari pemberian izin persetujuan ekspor ini.
“Ketika pegajuan ekspor ini memang harus diteliti apakah memang DMO itu sudah ada. Ketika ini lolos seperti yang kita sampaikan bahwa ternyata di lapangan langka, tentunya ini menjadi pertanyaan kita, apalagi penyidik,” katanya.
Proses penyidikan masih terus berjalan dan belum bisa menyampaikan apa yang menjadi kerja sama antara pihak pemohon dan termohon. “Penyidik sudah menetapkan dengan proyek pemeriksaan masalah ekspor dan kewajiban DMO tentunya penyidik sudah memiliki alat bukti. ”
Indonesia menghasilkan 59% dari pasokan global bahan dasar minyak goreng di Indonesia dan bahan bakar nabati. Sejak akhir tahun lalu, kelangkaan minyak goreng jadi persoalan serius.
KPPU bergerak
Ada 14.000-an orang menanda tangani petisi online dengan hastag #TurunkanHargaMinyakGoreng mendesak KPPU untuk mengusut tuntas dugaan kartel minyak goreng yang digalang oleh koalisi masyarakat sipil. Ia terdiri dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Jakarta dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan.
Tulus Abadi, Ketua Harian YLKI mengatakan, publik mendukung pengungkapan dugaan kartel minyak goreng dengan mahalnya harga setelah pemerintah menetapkan HET di tingkat konsumen.
Guntur Saragih, Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan, kali pertama ada dukungan publik kepada lembaga pengawas ini. Karena kasus minyak goreng (sawit) ini, berdampak bagi masyarakat.
“Temuan Kejaksaan Agung justru menguatkan dugaan kami. Semua pihak kami coba jaring karena bekerja dalam penegakan hukum persaingan usaha, Yang melibatkan aktor besar memang membutuhkan energi,” katanya dalam konferensi pers belum lama ini.
Menurut KPPU, ada empat perusahaan menguasai perdagangan minyak goreng di Indonesia dan ada dugaan perusahaan ini melakukan praktik kartel serta bersengkokol dalam menentukan harga bersama.
Egi Primayogha, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW mengatakan, petisi ini disuarakan karena kelangkaan dan minyak goreng mahal berlarut-larut tanpa penanganan efektif dari pemerintah.
“Penetapan tersangka ini seakan mengamini pernyataan Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, yang pernah menyebut mafia sebagai dalang di balik masalah minyak goreng.”