- Masyarakat adat di Lombok, terus mempertahankan tradisi maupun ritual mereka. Meskipun begitu, saat ini ada perubahan penggunaan wadah. Dulu, wadah pakai bahan-bahan alami, kini banyak gunakan plastik.
- Salah satu di Kecamatan Bayan, NTB. Komunitas Muslim Wetu Telu mengeluarkan zakat fitrah berupa hasil bumi, seperti pakai pisang, kelapa, pepaya, singkong dan lain-lain. Zakat dibawa ke mesjid kuno. Pada 2012, saya melihat isi keranjang tempat menaruh zakat fitrah didominasi hasil bumi. Belakangan keranjang zakat fitrah ada yang berganti plastik dan berisi barang-barang dari toko. Ada yang menaruh mie instan, minuman berenergi. Beberapa hasil bumi yang dibeli, seperti buah jeruk juga dibungkus plastik.
- Raden Anggrita Kusuma, tokoh muda Sukadana bilang, ada perubahan dalam bahan-bahan di zakat fitrah itu. Dulu, murni hasil bumi, sekarang dengan bahan-bahan yang dibeli di pasar dan toko. Sangat disayangkan, banyak bahan berbungkus plastik.
- Tak semua berubah pakai plastik, gerakan tak gunakan plastik pun ada. Mahniwati, pemuda adat, mantan puteri pariwisata NTB ini salah satunya. Dia yang biasa ikut kegiatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini kini total mendampingi petani, yang sebagian besar masyarakat adat di Kecamatan Bayan. Mahniwati jadi contoh anak muda adat yang menerapkan prinsip zero waste.
Lombok terkenal kaya dengan berbagai ritual dan tradisi adat maupun keagamaan. Dari yang menyangkut siklus hidup, mulai kelahiran pernikahan, khitanan, hingga kematian sampai ritual atau tradisi terkait keagamaan, seperti maulid adat, ngejot, lebaran adat. Selain itu berbagai bentuk perayaan syukuran, selamatan, syukuran atas panen, selamatan laut. Dari seluruh ritual itu, masih dipertahankan hingga sekarang. Namun, ada yang berubah di berbagai ritual itu, yakni mulai masuk ‘serbuan’ plastik.
Setelah gempa 2018, banyak kebijakan di komunitas berubah, seperti di Sukadana, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, NusaTenggara Barat.
Sukadana adalah satu mesjid kuno, tempat muslim Wetu Telu menjalankan aktivitas keagamaan dan adat. Pada momen lebaran, kiyai dan santri sholat ied di mesjid kuno itu. Waktu pelaksanaan tiga hari setelah lebaran.
Sebelum gempa saya bisa ikut masuk ke mesjid. Pasca gempa 2018, tak boleh lagi.
“Sejak gempa itu memang ada pembatasan,’’ kata Raden Anggrita Kusuma, tokoh muda Sukadana. Dia meminta izin ke tetua adat agar kami bisa masuk, tetapi tetap tak diizinkan.
Penerangan mesjid pun masih pakai dile jojor (lampu bakar berbahan jarak dan kapas). Di samping mesjid sudah diterangi listrik, tetapi di dalam pakai dile jojor.
Muslim Wetu Telu mengeluarkan zakat fitrah. Kebiasaan umat Islam di Indonesia, zakat fitrah itu berupa beras 2,5 kg atau uang seharga itu. Dalam Muslim Wetu Telu zakat fitrah berupa hasil bumi, bukan semata beras atau padi. Warga bisa pakai pisang, kelapa, pepaya, singkong dan lain-lain. Zakat dibawa ke mesjid kuno.
Pada 2012, saya melihat isi keranjang tempat menaruh zakat fitrah didominasi hasil bumi. Nyaris tak ada yang beli. Jagung,pisang, kelapa, singkong, sayuran mengisi keranjang. Belakangan keranjang zakat fitrah ada yang berganti plastik dan berisi barang-barang dari toko. Ada yang menaruh mie instan, minuman berenergi. Beberapa hasil bumi yang dibeli, seperti buah jeruk juga dibungkus plastik.
Setelah dibawa ke mesjid kuno, kata Anggrita, lalu ke kiyai, kemudian dibagi-bagi ke masyarakat.
Saat prosesi serah terima itu warga berzakat fitrah meminta doa kepada kiyai.
Anggrita bilang, ada perubahan dalam bahan-bahan di zakat fitrah itu. Dulu, murni hasil bumi, sekarang dengan bahan-bahan yang dibeli di pasar dan toko. Sangat disayangkan, katanya, banyak bahan berbungkus plastik.
‘’Dulu, dibungkus pakai daun pisang, sekarang plastik,’’ katanya.
Di hutan adat Semokan Ruak berdiri mesjid kuno dan rumah mangku serta kiyai yang memimpin ritual adat dan agama. Di dalam hutan adat ini juga ada kebijakan baru, tak boleh lagi mendokumentasikan aktivitas adat. Kebijakan ini setelah gempa Lombok 2018.
Selama delapan tahun bolak balik mengikuti kegiatan di Semokan Ruak dan kampung adat Sembagik, Kecamatan Bayan, saya melihat perubahan banyak pakai plastik. Begitu juga di perkampungan adat Desa Beleq, Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan.
Soal plastik tak pernah dibahas khusus dalam pertemuan-pertemuan adat berbeda dengan listrik.
Pada 2008, di Desa Beleq tak boleh masuk listrik. Belakangan, listrik masuk. Saya mengikuti proses rapat yang membolehkan masuk listrik. Pada 2021, setelah gempa listrik kembali tidak boleh dinyalakan di rumah-rumah tradisional. Mereka kembali pakai dile jojor.
Suasana alami perkampungan tradisional sangat terasa. Terutama saat malam hari. Begitu melihat barang-barang yang digunakan, banyak bahan plastik.
Masyarakat memanfaatkan hasil alam. Misal, wadah air pakai ceret (kendi dari tanah liat), dan gentong dari buah maja dan labu yang dikeringkan. Wadah ini masih dijumpai dan digunakan. Meskipun begitu, sudah bersanding dengan perabotan plastik. Bahkan botol air mineral berbagai merek.
Satu sisi, di Sembagek, rumah-rumah masih mempertahankan bentuk asli tak boleh ganti bahan besi, beton, dan bata. Dulu, wadah air berupa ceret dari buah maja dan labu, kini kendi plastik.
“Rumah adat di sini sejak zaman dulu seperti ini, termasuk juga tidak boleh ada pagar (pembatas),’’ kata Rediman, tokoh masyarakat Sembagek.
Lenek adalah nama desa dan kecamatan di Lombok Timur. Desa yang dikenal sebagai desa para seniman ini memiliki tradisi unik menjelang lebaran. Satu hari sebelum lebaran, warga ada ritual ngejot.
Dalam ritual ini, anak-anak menyediakan bahan makanan bagi orang tua dan kerabat mereka. Makanan itu ditaruh dalam piring, kemudian di wadah yang lebih besar dengan bagian atas ditutup tembolak, penutup dari daun lontar. Kini, makanan tidak semua hasil masakan tetapi beli di pasar atau toko. Hal ini terlihat dari bungkus plastik, mika, kadang merek masih menempel. Begitu juga dengan penutup tembolak yang jadi ciri khas, kini berganti bahan plastik, walaupun bentuk seperti tembolak.
“Makanan yang diantarkan ini dimasak anak-anak mereka, diserahkan ke orang tua, ke kerabat,’’ kata Tahir Royaldi, pegiat budaya di Lenek.
Kesadaran anak muda
Satu sisi ada perubahan mulai banyak pakai plastik, di bagian lain, gerakan tak gunakan plastik pun muncul Mahniwati, pemuda adat, mantan puteri pariwisata NTB ini salah satunya. Dia yang biasa ikut kegiatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini kini total mendampingi petani, yang sebagian besar masyarakat adat di Kecamatan Bayan.
Dengan merek Kon Bayan (Kopi Nina Bayan), Mahniwati jadi contoh anak muda adat yang menerapkan prinsip zero waste.
Dia membuka kedai kopi di rumahnya dengan gunakan bahan baku dari kopi binaannya. Kopi organik dan minim sampah. Dia juga menerapkan keuntungan yang adil dengan petani. Di kedai kopinya, minim pakai plastik, termasuk kalau ada kegiatan dia sekaligus mengedukasi tamu agar mengurangi sampah.
Dia tak menyediakan air mineral gelasan atau botol. Di berbagai acara, air mineral gelas plastik seakan jadi menu wajib. Mahniwati menyediakan air isi ulang. Tamu mengisi sendiri air dengan gelas kaca maupun botol minuman isi ulang.
“Awalnya memang berat, karena kebiasaan (pakai plastik),’’ katanya.
Saat mengundang para sahabat, termasuk kenalan orangtuanya pada peresmian kedai kopi, sebelum bulan puasa, Mahniwati mencoba prinsip itu. Tidak ada air mineral gelas di hidangan.
Mahni katakan kepada para tamu kalau air minum yang disediakan adalah air isi ulang. Dia meminta maaf kalau tamu kurang nyaman demi mengurangi sampah plastik.
********