- Ketahanan mikrobioma adalah kunci untuk menentukan kemampuan karang dalam menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi laut. Pemutihan karang adalah contoh ekstrem dari disfungsi mikrobioma akibat stres akibat perubahan iklim.
- Upaya mengurangi emisi metana dapat mengurangi jejak iklim dari hewan ternak, di sisi lain, tetap dapat mempertahankan pertumbuhan sapi dan produksi susu.
- Pembiakan selektif atau perubahan pola makan sedang dilakukan para peneliti untuk mempromosikan mikrobioma yang kurang metanogenik.
- Pemulihan ruang hijau alami, terutama di daerah seperti perkotaan, dapat mendorong pemulihan mikrobioma dan meningkatkan kesehatan masyarakat dan alam.
Artikel sebelumnya: Mikrobioma, Mahluk Tak Kasat Mata yang Jadi Harapan Pemulihan Dunia
Kasus terumbu karang: Si baik yang berubah jadi jahat
Degradasi lingkungan dapat membentuk kembali dan mengurangi mikrobioma, situasi kebalikannya juga berlaku: Perubahan komposisi mikrobioma dapat memiliki efek pantulan (knock-on) yang serius pada siklus biogeokimia yang diperburuk akibat lepasan emisi gas rumah kaca, yang pada akhirnya mengubah keseimbangan planet ini.
Mikroba jinak atau bahkan menguntungkan dapat menjadi jahat sebagai respons terhadap stres. Ini berarti menghentikan peran bermanfaat mereka, bahkan secara ekstrim ia dapat berubah menjadi parasit bagi inangnya.
Misalnya, kompetisi yang dipicu oleh stres antara inang dan simbion yang bertanggungjawab atas peristiwa pemutihan karang. Fenomena ini telah makin jadi pemandangan umum di daerah tropis akibat adanya gelombang panas dan pemanasan suhu laut.
“Terumbu karang terbentuk melalui simbiosis antara inang karang, yaitu hewan, dan simbion alga, bersama dengan sejumlah besar komunitas bakteri yang terkait dengan karang. Sama seperti simbiosis antara jamur dan virus,” tutur David Bourne, ahli ekologi mikroba laut James Cook University di Queensland, Australia.
Simbion alga karang, anggota keluarga Symbiodiniaceae sebutnya, menyediakan sebagian besar makanan karang. “Namun, kenaikan suhu air telah menghancurkan simbiosis antara karang dan symbiodiniaceae-nya,” jelas Bourne.
Selama gelombang panas, ganggang menjadi terlalu aktif dan parasit memaksa karang mengusir mereka untuk membela diri. Karang dapat bertahan hidup dalam waktu singkat tanpa alga, dan jika suhu air turun lagi, karang dapat mengambil mikroba baru dari lingkungan.
“Tetapi jika hal itu terjadi untuk waktu yang lama maka mereka benar-benar bisa mati kelaparan,” imbuh Bourne.
Ekosistem yang makin mendekati titik kritis
Peristiwa pemutihan karang (coral bleaching) terus menjadi lebih sering, karena suhu laut meningkat. Para peneliti telah memperingatkan bahwa terumbu dapat mencapai titik kritis dimana mereka tidak dapat kembali pulih.
“Saat kita mencapai pemanasan 2oC, di situlah terumbu karang benar-benar menderita,” Bourne memperingatkan. Peningkatan di atas tingkat itu akan memicu peristiwa pemutihan yang makin meluas, tanpa ada waktu yang cukup untuk berpulih. Akibatnya dapat mengakibatkan kematian karang global secara besar-besaran.
“Sistem telah berubah.”
Kegagalan mikrobioma yang meluas ini dapat membunyikan lonceng kematian bagi banyak terumbu karang. Salah satu ekosistem paling beragam di Bumi yang menyediakan sumber pemijahan perikanan komersial dan pangan penting bagi manusia. Contoh ganggang karang ini menunjukkan seberapa jauh dampak bencana destruktif mematikan yang dapat terjadi, akibat terganggunya ekosistem mikrobioma.
Tapi masih ada harapan. Beberapa karang diketahui lebih tahan pemutihan daripada yang lain. Penelitian menunjukkan mikrobioma adalah faktor penting dalam menentukan kemampuan karang dan organisme laut lainnya, dalam menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi laut.
Aklimatisasi beberapa karang terhadap suhu laut yang tinggi telah dikaitkan dengan simbion toleran panas mereka. Beberapa spesies diketahui dapat mengubah mikrobioma mereka demi strain mikroba yang lebih tangguh pada saat suhu meningkat.
Demikian pula, ketahanan jenis spons (spesies kunci lain dalam ekosistem terumbu) dalam pengasaman laut telah dikaitkan dengan toleransi pH simbion mikroba mereka.
Terkait fungsi mikrobiomanya, spons merupakan bagian integral dari siklus nutrisi laut dan penyerapan karbon. Oleh karenanya, mereka merupakan komponen kunci dalam sistem operasi lingkungan di Bumi. Mereka turut membantu menjaga dampak perubahan iklim dan aliran biogeokimia (polusi nitrogen) agar batas planet dapat tetap terkendali.
“Spons, dengan kapasitas penyaringan yang sangat besar mencapai ribuan liter per hari, membentuk hubungan penting antara lingkungan bentik [dasar laut] dan pelagis [laut terbuka]. Mereka terlibat dalam sejumlah proses biogeokimia yang penting,” sebut Heidi Luter, seorang peneliti ilmuwan di Institut Ilmu Kelautan Australia di Queensland.
Simbion mikroba memungkinkan spons mengasimilasi karbon yang terperangkap dalam bahan organik yang membusuk, yang berguna sebagai sumber nutrisi penting bagi seluruh ekosistem terumbu karang. Banyak spons yang juga menjadi tuan rumah bagi archaea, organisme bersel tunggal yang terlibat dalam siklus nitrogen dan fiksasi karbon, jelas Luter.
“Simbion archaeal ini juga dapat meningkatkan ketahanan spons terhadap stresor antropogenik.” Penelitian spons menunjukkan bahwa hubungan antara komposisi mikrobioma dan stabilitas batas planet bersifat timbal balik.
Sementara lingkungan diketahui membentuk mikrobioma dengan cara yang positif dan negatif, mikrobioma yang sehat juga dapat memainkan peran penting dalam fungsi pengaturan ekosistem yang menjaga kestabilan sistem planet secara keseluruhan.
Mikrobioma adalah pusat dari emisi karbon ternak
Contoh dari pertanian menggambarkan lebih lanjut betapa kuatnya pengaruh mikrobioma tertentu terhadap lingkungan Bumi. Sapi adalah penghasil gas rumah kaca utama, dan industri daging dan susu turut menyumbang terjadinya kekacauan batas iklim planet. Adapun penyebab ketidakseimbangan ini adalah pola makan ternak dan dampaknya terhadap mikrobioma mereka.
Sapi dan domba adalah hewan ruminansia (pemamah biak), artinya mereka dapat mencerna materi tumbuhan di dalam perut khusus mereka yang disebut rumen.
“Komunitas mikroba kompleks yang ada dalam rumen sangat penting untuk pencernaan pakan menjadi produk daging dan susu bergizi berkualitas tinggi untuk konsumsi manusia,” jelas Sinead Waters, ahli biologi molekuler dan profesor di Teagasc Animal and Bioscience Research Department di Irlandia.
“Namun, sebagai bagian dari hasil proses pencernaan itu, ada produk sampingan yang disebut gas metana,” tambahnya.
Metana adalah jenis gas rumah kaca yang paling berkontribusi potensial dalam pemanasan iklim selama 20 tahun terakhir ini, dampaknya 84-86 kali lipat dari CO2. Emisinya terdapat dalam sendawa ternak ruminansia, -terutama sapi, yang bertanggung jawab atas 40 persen emisi gas rumah kaca global yang berasal dari peternakan. Produksi metana ini juga tidak efisien, menghabiskan hingga 12 persen asupan energi hewan.
Jadi, upaya mengurangi emisi metana rumen telah menjadi fokus utama para ilmuwan agar dapat mengurangi jejak iklim dari hewan ternak, di sisi lain, tetap dapat mempertahankan pertumbuhan sapi dan produksi susu.
Alternatif solusinya, adalah: pembiakan selektif atau perubahan pola makan untuk mempromosikan mikrobioma yang kurang metanogenik.
“Telah ada proliferasi tentang strategi untuk mengurangi emisi metana dari pertanian,” sebut Waters. “Salah satu pendekatan yang paling menjanjikan dalam jangka pendek adalah pengembangan aditif pakan anti-metanogenik yang secara signifikan dapat mengurangi emisi metana di usus.”
Waters menjelaskan bahwa jenis pakan memainkan peran utama dalam mengubah mikrobioma rumen. Metana yang diproduksi akan lebih rendah jika sapi diberi makan diet konsentrat energi tinggi daripada pakan yang banyak mengandung rumput.
Menariknya, penelitian Waters et al menjumpai bahwa dengan menambahkan semanggi putih ke rumput akan dapat mengurangi kelimpahan bakteri penghasil metana. Sehingga jika dipelihara dengan benar, ternak dan mikrobiomanya berpotensi secara signifikan untuk menghambat perubahan iklim.
Probiotik mikroba dan lainnya
Pemahaman kita yang makin berkembang tentang mikrobioma usus, mengarah pada upaya intervensi pencegahan yang bertujuan untuk memulihkan dan menjaga kesehatan mikrobioma hewan.
Khusus untuk manusia, beberapa terapi mikrobioma pun telah tersedia. Mulai dari makanan probiotik, bakterioterapi tinja, hingga teknik transplantasi mikroba usus dari donor yang sehat untuk mengobati infeksi bakteri berulang.
Namun, pilihan transplantasi mikroba berteknologi tinggi belum tersedia bagi karang atau satwa liar yang sakit di habitat yang terfragmentasi,
Saat ini para peneliti sedang bekerja keras demi mengembangkan pengobatan alternatif dalam mendukung mikrobioma yang sehat dan tangguh di alam liar. Sebagai contoh, inokulasi karang dengan campuran mikroba yang bermanfaat, -dalam uji eksperimen di akuarium, terbukti mengurangi pemutihan karang akibat kenaikan suhu laut.
Ahli biologi berharap dengan merekayasa mikrobioma karang yang lebih tangguh, akan dapat membantu mengurangi tekanan perubahan iklim, pengasaman laut dan polusi terumbu, serta meningkatkan ketahanan dan kelangsungan hidup satwa laut ini.
“Dengan memahami mikroba mana yang bermanfaat bagi ketahanan karang, Anda pada prinsipnya dapat mengemas makanan atau pola makan yang kemudian dapat diserap oleh karang,” jelas Bourne.
Namun ini adalah upaya spesifik penuh tantangan. Sangat sulit untuk mempelajari mikrobioma dan memisahkan hubungan mekanistik dan fungsi diantara spesies tersebut. Hal itu karena banyak mikroba, yang beradaptasi dengan kehidupan di lingkungan yang bebas oksigen,-seperti usus, dan sama sekali tidak dapat dipelajari secara terpisah.
“Banyak mikroba rumen yang tidak dapat dibiakkan di laboratorium,” jelas Waters, yang berarti masih banyak aspek biologi yang belum diketahui.
“Aditif pakan ternak seperti rumput laut dan bovaer diusulkan dapat dipakai untuk menghambat efek enzim yang terlibat dalam produksi metana.”
Bisakah reaksi mikrobioma berhubungan positif dengan alam?
Studi rintisan dengan tikus menunjukkan bahwa pengaruh mikrobioma jauh melampaui usus, bahkan sampai ke pikiran (atau dikenal sebagai sumbu usus-otak). Jalur sinyal biokimia antara saluran pencernaan dan sistem saraf pusat akan mempengaruhi suasana hati dan perilaku kita, termasuk keinginan dan penolakan kita.
Lebih jauh, Breed berpikir mikrobioma kita mungkin mempengaruhi kita. Penelitiannya menunjukkan orang yang menghabiskan banyak waktu dengan alam selama masa kanak-kanak, lebih cenderung menunjukkan sifat cinta alam, atau biofilik, saat dewasa.
“Hipotesis lovebug” menunjukkan bahwa respon positif ini mungkin didorong oleh mikroba usus simbiosis yang kita ambil dari lingkungan luar. Interaksi di luar ruangan ini mungkin tidak hanya bermanfaat bagi manusia, tetapi juga baik untuk mikroorganisme usus, secara timbal balik.
Jika interaksi antara mikro dan makro seperti itu biasa terjadi, maka proyek pembangunan kembali mikrobioma perkotaan, -terutama di daerah padat urban, dapat mengembalikan generasi baru yang memberi penghargaan dan cinta pada alam.
Penelitian mikrobioma mewakili batas baru yang penting untuk dunia sains, dengan setiap studi baru menambah kalimat baru di balik pepatah lama: “Kita adalah apa yang kita makan,” menjadi “Kita adalah apa yang kita hirup,” atau “Kita adalah apa yang kita alami.”
Sumber Referensi:
Amato, K. R., Yeoman, C. J., Kent, A., Righini, N., Carbonero, F., Estrada, A., … Leigh, S. R. (2013). Habitat degradation impacts black howler monkey (Alouatta pigra) gastrointestinal microbiomes. The ISME Journal, 7(7), 1344-1353. doi:10.1038/ismej.2013.16
Dillard, B. A., Chung, A. K., Gunderson, A. R., Campbell-Staton, S. C., & Moeller, A. H. (2022). Humanization of wildlife gut microbiota in urban environments. bioRxiv. doi:10.1101/2022.01.05.475040
Haahtela, T. (2019). A biodiversity hypothesis. Allergy, 74(8), 1445-1456. doi:10.1111/all.13763
Strachan, D. P. (2000). Family size, infection and atopy: The first decade of the “hygiene hypothesis”. Thorax, 55(90001), S2-S10. doi:10.1136/thorax.55.suppl_1.s2
Rook, G. A. W., Lowry, C. A., & Raison, C. L. (2015). Hygiene and other early childhood influences on the subsequent function of the immune system. Brain Research, 1617, 47-62. doi:10.1016/j.brainres.2014.04.004
Rook, G. A. W., & Bloomfield, S. F. (2021). Microbial exposures that establish immunoregulation are compatible with targeted hygiene. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 148(1), 33-39. doi:10.1016/j.jaci.2021.05.008
Franz, M., Whyte, L., Atwood, T. C., Laidre, K. L., Roy, D., Watson, S. E., … McKinney, M. A. (2022). Distinct gut microbiomes in two polar bear subpopulations inhabiting different sea ice ecoregions. Scientific Reports, 12(1), 522. doi:10.1038/s41598-021-04340-2
Grottoli, A. G., Warner, M. E., Levas, S. J., Aschaffenburg, M. D., Schoepf, V., McGinley, M., … Matsui, Y. (2014). The cumulative impact of annual coral bleaching can turn some coral species winners into losers. Global Change Biology, 20(12), 3823-3833. doi:10.1111/gcb.12658
Berkelmans, R., & Van Oppen, M. J. H. (2006). The role of zooxanthellae in the thermal tolerance of corals: a ‘nugget of hope’ for coral reefs in an era of climate change. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 273(1599), 2305-2312. doi:10.1098/rspb.2006.3567
Reisinger, A., Clark, H., Cowie, A. L., Emmet-Booth, J., Gonzalez Fischer, C., Herrero, M., … Leahy, S. (2021). How necessary and feasible are reductions of methane emissions from livestock to support stringent temperature goals? Philosophical Transactions of the Royal Society A: Mathematical, Physical and Engineering Sciences, 379(2210), 20200452. doi:10.1098/rsta.2020.0452
Smith, P. E., Enriquez-Hidalgo, D., Hennessy, D., McCabe, M. S., Kenny, D. A., Kelly, A. K., & Waters, S. M. (2020). Sward type alters the relative abundance of members of the rumen microbial ecosystem in dairy cows. Scientific Reports, 10(1), 9317. doi:10.1038/s41598-020-66028-3
Santoro, E. P., Borges, R. M., Espinoza, J. L., Freire, M., Messias, C. S. M. A., Villela, H. D. M., … Peixoto, R. S. (2021). Coral microbiome manipulation elicits metabolic and genetic restructuring to mitigate heat stress and evade mortality. Science Advances, 7(33). doi:10.1126/sciadv.abg3088
Roslund, M. I., Puhakka, R., Grönroos, M., Nurminen, N., Oikarinen, S., Gazali, A. M., … Sinkkonen, A. (2020). Biodiversity intervention enhances immune regulation and health-associated commensal microbiota among daycare children. Science Advances, 6(42), eaba2578. doi:10.1126/sciadv.aba2578
Liddicoat, C., Sydnor, H., Cando-Dumancela, C., Dresken, R., Liu, J., Gellie, N. J. C., … Breed, M. F. (2020). Naturally-diverse airborne environmental microbial exposures modulate the gut microbiome and may provide anxiolytic benefits in mice. Science of The Total Environment, 701, 134684. doi:10.1016/j.scitotenv.2019.134684
Robinson, J. M., & Breed, M. F. (2020). The Lovebug Effect: Is the human biophilic drive influenced by interactions between the host, the environment, and the microbiome? Science of The Total Environment, 720, 137626. doi:10.1016/j.scitotenv.2020.137626
Gambar utama:
Interaksi antara mikrobioma usus dan kesehatan sudah terbentuk dengan baik. Tetapi karena kita mendapatkan ekosistem mikroba kita melalui paparan mikroba dalam makanan dan lingkungan sekitar kita, maka secara logis bahwa kesehatan dan keragaman mikroba yang berkembang di lingkungan itu akan berdampak besar pada keragaman dan kesehatan flora usus yang dibudidayakan di dalam tubuh kita. Foto: NIAID/Flickr (CC BY 2.0).
***
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Akita A. Verselita. Sumber asli berasal dari artikel: Unseen Crisis: Threatened gut microbiome also offers hope for world