- Sudah bertahun-tahun perairan batas Negara antara Indonesia dengan negara tetangga selalu mengundang masalah yang tak bisa dihentikan ataupun diselesaikan karena alot dan kompleksnya negosiasi perairan batas antarnegara. Perairan yang secara tradisional masuk zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) selalu menjadi rebutan klaim bagi negara tetangga seperti China, Vietnam dan Malaysia untuk menangkap ikan dan rentan aktivitas kejahatan transnasional terorganisir
- Negara tetangga yang selalu mengklaim kepemilikan perairan adalah Cina yang mengklaim 80 persen wilayah Laut Cina Selatan adalah milik mereka. Klaim itu didasarkan pada sembilan garis putus-putus (NDL) versi Cina yang memicu kapal-kapal ikan mereka mencari ikan di ZEE Indonesia
- Selain Cina, sengketa juga masih berjalan dengan Malaysia dan Vietnam. Kedua negara tersebut sampai sekarang hanya bersepakat untuk batas dasar laut. Sebaliknya, Indonesia juga mengklaim ZEEI yang belum diakui oleh Malaysia dan Vietnam
- Namun demikian, Cina dan Vietnam dinilai sebagai negara paling berbahaya, banyaknya kapal-kapal mereka karena didampingi kapal penjaganya beraktivitas di perairan ZEE Indonesia. Khusus kapal dari Vietnam, bahkan disebut sudah memicu Laut Natuna Utara masuk level kritis karena aktivitas perikanan tangkap ilegal yang terus dilakukan mereka
Ancaman kapal ikan asing (KIA) masuk ke perairan Indonesia masih akan terus terjadi, selama situasi geopolitik di wilayah perbatasan Indonesia dengan negara sekitarnya belum mencapai kesepakatan yang baru. Salah satunya, adalah Cina yang sejak lama sudah memiliki ikatan tradisional dengan Indonesia.
Selain dengan Negeri Tirai Bambu, sengketa di wilayah perairan yang menjadi batas Negara, juga beririsan dengan dua negara tetangga, yaitu Malaysia dan Vietnam. Ketiga negara tersebut, selama bertahun-tahun selalu menjadi kawasan sekaligus lawan di wilayah perbatasan negara.
Bagi Indonesia, sengketa di perbatasan Negara menjadi permasalahan yang sulit untuk dicari jalan keluar. Penyebabnya, belum ada kesepahaman yang tegas dan jelas di antara empat negara yang sedang bersengkat.
Indonesia sendiri, sudah sejak 1982 mengadopsi prinsip kepulauan di seluruh Nusantara berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Sesuai ketentuan UNCLOS, negara pihak konvensi bisa mengajukan klaim perluasan landas kontinen di luar 200 mil laut maksimal hingga 350 mil laut dari garis pangkal.
Klaim perluasan tersebut bisa dilakukan dengan dibuktikan secara ilmiah di hadapan Komisi Batas Landas Kontinen PBB (UN-CLCS). Proses yang dilakukan Indonesia dengan mengklaim perluasan landas kontinen tersebut, merupakan ketentuan dari UNCLOS.
Khusus dengan Cina, Indonesia bersengketa di wilayah perbatasan yang ada di Laut Cina Selatan atau Laut Natuna Utara. Di perairan tersebut, Cina mengklaim bahwa 80 persen wilayah Laut Cina Selatan adalah milik mereka.
Klaim tersebut muncul berdasarkan sembilan garis putus-putus atau nine dash line (NDL) yang dipetakan ada sebagai bagian dari sejarah negara tersebut dan ada di dalam Laut Cina Selatan. Sayangnya, klaim tersebut tidak didukung oleh batas koordinat dan geografis, sehingga menjadi sangat elastis klaimnya.
baca : Mengapa Kapal Asing Pencuri Ikan Marak di Perairan Natuna?
Selain itu, dalam menancapkan kekuatannya di Laut Cina Selatan, Cina juga menggunakan klaim NDL sebagai bagian dari wilayah penangkapan ikan tradisional (traditional fishing ground). Karenanya, hak menangkap ikan secara tradisional (traditional fishing right) selalu diklaim legal oleh Cina selama dilaksanakan di wilayah perairan NDL.
Semua penjelasan di atas tersebut dipaparkan Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP) Pung Nugroho Saksono belum lama ini.
Menurut dia, persoalan geopolitik di wilayah perairan yang menjadi batas Negara, sampai kini juga melibatkan Malaysia dan Vietnam. Kedua negara tersebut sampai sekarang hanya bersepakat untuk batas dasar laut.
“Sebaliknya, Indonesia juga mengklaim ZEE (zona ekonomi eksklusif) yang belum diakui oleh Malaysia dan Vietnam,” ungkap dia.
Di lain pihak, Indonesia juga menghadapi persoalan yang hingga kini belum berhasil dipecahkan, yaitu kapal ikan yang beroparasi di ZEE. Padahal, semakin banyak kapal ikan yang beroperasi di sana, maka kedaulatan Negara juga akan semakin kuat ditegakkan.
Pung Nugroho menyebutkan, selama periode Januari hingga Desember 2021 saja, jumlah kapal ikan asal Indonesia yang beroperasi di ZEE yang ada di wilayah perairan Laut Natuna Utara hanya sebanyak tiga unit saja.
Padahal, pada periode yang sama, KIA yang beroperasi di wilayah perairan batas Negara justru jumlahnya sangat banyak. Cina contohnya, mereka memiliki 126 kapal yang beroperasi sepanjang Januari hingga Desember 2021. Mereka beroperasi ditemani lima kapal penjaga pantai (coast guard).
Kemudian, pada periode yang sama Vietnam juga memiliki 35 kapal ikan yang beroperasi di wilayah perairan batas negara. Demikian juga dengan Malaysia, Taiwan, dan Afrika Selatan yang masing-masing memilki 19, 8, dan 8 kapal yang beroperasi di perairan tersebut.
baca juga : KIA Vietnam Makin Berani di Natuna, Nelayan: Kami Mau Makan Apa?
Selain kapal ikan berbendera lima negara di atas, wilayah perairan batas negara juga menarik minat 44 KIA berbendera negara lain. Dengan demikian, total ada 240 KIA yang beroperasi di wilayah perairan yang masih menjadi sengketa.
Dari seluruh wilayah perairan Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain, Laut Natuna Utara nampaknya sudah menjadi lokasi tujuan paling banyak diincar oleh KIA. Terbukti, sepanjang Januari-Desember 2021 ada sebanyak 56 KIA yang sudah mencari dan menangkap ikan di sana.
Rinciannya, sebanyak 33 KIA diketahui berbendera Vietnam, 13 KIA berbendera Cina, 5 KIA berbendera Taiwan, dan 5 KIA berbendera negara lainnya. Di Laut Natuna Utara pula, lima kapal coast guard milik Cina diketahui beroperasi sepanjang 2021.
Selain itu, dari hasil pemantauan satelit radar dan radio detection finder (RDF) dari Pusat Pengendalian (Pusdal) KKP, kapal ikan, baik asing ataupun Indonesia yang beroperasi di wilayah ZEE Indonesia, ada 133 kapal yang menggunakan alat sistem identifikasi otomatis (AIS) dan 141 kapal menggunakan alat radio komunikasi.
Ancaman Intrusi
Dari hasil pemantauan Pusdal KKP, juga diketahui ada kapal riset milik Cina yang beroperasi perairan Laut Natuna Utara. Kapal tersebut adalah kapal riset seismik bernama Hai Yang Di Zhi yang sudah beroperasi sejak 31 Agustus 2021 lalu.
CEO Indonesia Ocean Justice Inititive (IOJI) Mas Achmad Santosa mengakui kalau wilayah perairan Indonesia masih akan menghadapi berbagai ancaman terhadap hak berdaulat dari KIA dan kapal ikan lainnya dari berbagai negara.
Dari sejumlah bendera negara lain yang dipakai kapal ikan, kapal berbendera Vietnam menjadi ancaman besar karena mereka beroperasi dengan didampingi kapal Fisheries Resources Surveillance (VFRS). Kemudian, kapal berbendera Cina karena didampingi oleh kapal coastguard.
baca juga : Catatan Akhir Tahun: Masa Depan Laut Natuna Utara
Khusus di Laut Natuna Utara, IOJI bahkan berani menyebut kalau perairan tersebut menjadi yang paling kritis dari serbuan KIA untuk melaksanakan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF).
KIA yang banyak menggunakan Laut Natuna Utara sebagai basis penangkapan ikan, adalah kapal yang berbendera Vietnam. Bahkan, Mas Achmad Santosa menyebut ada sembilan KIA Vietnam yang sudah melakukan operasi secara berulang pada 2021 dan 2022.
Kesembilan kapal berbendera Vietnam yang melakukan intrusi berulang kali tersebut di perairan Laut Natuna Utara, menegaskan bahwa tidak ada tindakan yang tegas dan konsisten yang ditegakkan oleh instansi penegak hukum Indonesia.
Lebih spesifik, KIA berbendera Vietnam yang melakukan intrusi di ZEEI pada Februari 2022 jumlahnya mencapai 26 kapal. Dibandingkan periode sama pada 2021, jumlah tersebut mengalami penurunan, karena tahun lalu jumlahnya mencapai 51 kapal dan bahkan 100 kapal pada April 2021.
Dari hasil pengamatan, Mas Achmad Santosa menjelaskan bahwa pola KIA Vietnam yang beroperasi di ZEEI untuk menangkap ikan, dilakukan dengan cara kapal berpasangan. Tujuannya, agar alat tangkap pair trawl bisa digunakan dengan kecepatan kapal yang tetap dan lambat.
Di lain pihak, dia juga mengatakan kalau kehadiran kapal-kapal ikan asing ke perairan ZEEI juga membawa masalah lain. Selain melakukan IUUF, mereka juga melakukan tindak pidana ilegal lainnya seperti perdagangan orang, perbudakan, penghindaran pembayaran pajak, korupsi, pencurian uang, transaksi bahan bakar minyak (BBM) ilegal, serta penyelundupan barang dan orang.
perlu dibaca : Pengawasan di Laut Indonesia Masih Lemah?
Dengan semua ancaman tersebut, tindakan yang harus dilakukan adalah pemberantasan kejahatan lintas batas negara. Faktor tersebut mutlak harus bisa menjadi pembelajaran bagi satuan tugas (Satgas) yang bertugas untuk mengamankan perairan batas negara.
IOJI melihat ada lima poin yang harus menjadi pembelajaran bagi satgas. Pertama, kepemimpinan nasional untuk menangani kejahatan transnasional terorganisir di bidang perikanan (TOFC). Kedua, koordinasi antarlembaga nasional dan kerja sama internasional untuk mengatasi TOFC.
Ketiga, kapasitas lembaga penegakan hukum nasional dan lembaga peradilan pidana, khususnya untuk menerapkan multi rezim hukum dalam pertanggungjawaban pidana korporasi. Keempat, transparansi pada kolaborasi antara sektor perikanan dan finansial tingkat nasional dan global untuk keperluan investigasi TOFC.
Kelima, kecukupan ketentuan pidana dalam Undang-Undang (UU) yang relevan dan kerangka hukum acara pidana, termasuk perjanjian ekstradisi bilateral, dan prinsip jangkauan ekstrateritorial. Keenam, kolaborasi antara state dan non state actors di tingkat nasional dan internasional.
Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Kemaritiman Universitas Diponegoro Eddy Pratomo mengatakan, penetapan batas maritim Indonesia menjadi persoalan yang krusial, karena itu bisa menjaga kedaulatan Negara. Tetapi, dia menyadari bahwa penetapan batas maritim juga bukan menjadi perkara yang gampang dan bisa dikerjakan dengan cepat oleh Negara.
“Ada kompleksitas tersendiri dalam penetapan batas maritim, karena bukan hanya fakta geografis Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara saja, namun juga karena ada status hukum Indonesia sebagai negara kepulauan,” jelas dia.
Eddy mengungkapkan, dalam membahas penetapan batas maritim dengan negara tetangga, sering kali dihadapi perbedaan prinsip antara status Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara tetangga yang merupakan negara kontinen. Perbedaan tersebut tidak jarang menjadi isu perdebatan utama saat dilaksanakan penerapan metode penarikan garis batas.
“Sehingga sering kali menyebabkan perundingan berjalan dalam waktu yang lama,” tutur dia.
baca juga : Apakah Efektif Pola Baru Pengawasan dan Penegakan Hukum di Laut Indonesia?
Mengingat beratnya medan perundingan yang harus dijalani saat proses pembahasan batas maritim dengan negara tetangga, Eddy meminta Pemerintah bisa memperkuat barisan negosiator yang akan bertarung dengan diberikan pelatihan khusus terkait dengan delimitasi batas maritim. Cara tersebut diharapkan bisa melahirkan negosiator ulung yang berkelanjutan untuk Indonesia.
Para negosiator yang akan bekerja sebagai tim perunding, juga tak melulu harus berasal dari disiplin ahli hukum laut. Melainkan, harus juga diisi dengan para negosiator yang berasal dari berbagai disiplin ilmu sesuai dengan kebutuhan perundingan.
Perlunya variasi latar belakang disiplin ilmu untuk negosiator, menurut Eddy, karena dalam proses perundingan penetapan batas maritim akan terjadi sebuah proses diskusi yang menggabungkan berbagai bidang kelimuan yang berbeda. Misalnya, bidang hukum politik, ilmu kebumian, ekonomi, sumber daya alam, dan geospasial.
“Semua itu harus diramu oleh tim perunding menjadi sebuah posisi yang diharapkan dapat menjadi sebuah garis yang dapat diterima oleh para pihak terkait, dan hal tersebut tidaklah mudah,” tambahnya.