- Nasib karnivora saat ini berada pada tubir kepunahan yang paling cepat.
- Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), tak lagi mendapat tempat di hutan-hutan tersisa di pulau Sumatera. Sedangkan macan tutul jawa (Panthera pardus melas), susah payah hidup ditengah hutan Jawa yang kopong.
- Dibutuhkan langkah konservasi yang tepat dan tidak salah kaprah agar dapat menghambat kepunahan.
- Menakar peluang hidup pemuncak rantai makananan membutuhkan komitmen berkesinambungan.
Nasib macan tutul jawa (Panthera pardus melas) selangkah lebih mujur ketimbang spesies kunci lainnya seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Sekalipun, hanya mengisi ruang-ruang belantara Jawa yang kopong, keberadaan mereka relatif masih diharapkan kelestariannya. Namun, berbeda dengan harimau Sumatera, agaknya, mereka tak lagi mendapat tempat di hutan-hutan tersisa di pulau Sumatera.
Kasus tiga individu harimau mati dengan kepala dan kaki terlilit kawat baja (sling), Minggu (24/4/2022) lalu adalah buktinya. Apalagi tiga harimau itu diduga kuat satu keturunan. Terdiri dari induk betina, jantan dewasa, dan anakan harimau jantan.
Berdasarkan data yang dihimpun, sepanjang 2021, tercatat 31 konflik harimau pecah. Kasus terbaru ini mengingatkan pada konflik 2018 lalu, dimana satu individu harimau Sumatera tumbang oleh jerat dalam kondisi hamil dan siap dilahirkan dalam waktu dekat.
Hampir semua dalih para pemburu yang ditangkap aparat selalu tentang menjerat babi hutan. Akan tetapi, herannya peristiwa itu selalu berlangsung di area hutan konsesi perkebunan sawit dan areal penggunaan lain (APL).
Terbaru, mantan Bupati Bener Meriah yang tertangkap tangan memperjualbelikan kulit dan organ tubuh harimau Sumatera. Akan tetapi pelaku tidak ditahan karena tidak cukup bukti. Jelas saja keputusan itu memicu keraguan komitmen penegakan hukum terkait kasus perdagangan satwa dilindungi.
baca : Jual Kulit Harimau, Mantan Bupati Bener Meriah Hanya Dikenai Wajib Lapor
Dibalik kasus itu kian menguatkan jika hilangnya hutan berbanding lurus dengan kemunduran moral manusianya. Hal tersebut bertolak belakang dengan kisah masa silam.
Berdasarkan catatan Sejarawan Peter Boomgaard dalam bukunya Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, 1600-1950. Boomgaard menuliskan bagaimana orang Jawa, Bali dan Sumatera memiliki hubungan unik dengan harimau.
Jika diterjemahkan ke masa kini, hubungan itulah yang menjadi konservasi alami satwa tersebut selama ratusan tahun. Dimana kisah-kisah kearifan lokal selalu menempatkan harimau sebagai satwa terhormat yang berhubungan erat dengan buyut mereka. Sebagai ganjarannya, alam memberikan mencukupi kebutuhan dasar manusia. Air dan kesuburan bercocok tanam.
Bahkan secara budaya, harimau merupakan sedikit dari binatang yang dihadirkan dalam wayang kulit. Harimau identik dengan kebijaksanaan seorang pemimpin pada masa kerajaan.
Akan tetapi realitas telah berubah. Kini harimau dipandang tak lebih dari satwa pengganggu, padahal dulu keberadaan mereka adalah simbol kemakmuran.
baca juga : Klaim Penampakan Harimau di Banjarnegara, BKSDA Pastikan Bukan
Dikutip dari kompas.id, seiring pembukaan hutan untuk perkebunan secara besar-besaran membuat pertarungan antara harimau dengan manusia menguat. Hal itu, lantaran pada tahun-tahun kolonialiasi, Belanda memang menetapkan harimau sebagai binatang buruan yang harus dimusnahkan.
Pemerintah kolonial Belanda, yang tidak dicekam mitos-mitos tentang harimau memimpin pembantaian besar-besaran harimau di Jawa dan Bali, seiring dengan pembukaan lahan pertanian dan permukiman yang merangsek ke hutan. Sialnya, “kebiasaan” ini diteruskan setelah era Belanda seperti saat ini.
Melihat masifnya konflik antara harimau dan manusia di Sumatera akhir-akhir ini, sepertinya hanya soal waktu Panthera tigris sumatrae juga akan menyusul dua kerabatnya yang telah lebih dulu punah, Panthera tigris sondaica, karnivora endemik Jawa.
Penguasa “Terakhir” Gunung di Jawa
Di Jawa Barat, ancaman kepunahan lokal karnivora terakhir semakin terantuk. Pelepasliaran sepasang macan tutul di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), pada 2019 dan 2022 seolah menguatkan adanya fenomena kekosongan habitat. Karena hanya 2 individu hasil rehabilitasi itu yang kini menjadi penghuni baru.
Pemerhati Macan Tutul Jawa, Anton Ario, beranggapan bahwa kekosongan habitat butuh respon semua pihak ihwal masa depan konservasi kucing besar di Pulau Jawa. Fenomena hilangnya top predator di TNGC menjadi alarm tentang keberlangsungan populasi mereka di alam. Katanya, tidak menutup kemungkinan, fenomena serupa terjadi di kantong-kantong populasi yang tersisa lainnya.
baca juga : Macan Tutul Jawa, Sang “Penjaga” Hutan yang Semakin Terdesak Hidupnya
Anton juga menyoroti perihal perhatian terhadap macan tutul yang kerap muncul hanya ketika pecah konflik saja. Padahal, persoalan krusial yang belum termitigasi ada pada degradasi habitatnya.
Tahun 2013 lalu, Anton melakukan pengamatan macan tutul di TNGC. Hasilnya, ditemukan satu individu macan tutul yang terekam kamera jebak. Karena penasaran, Anton menambah durasi pemantauan, “Namun jika dilihat pada pola rosette (totol), dipastikan tidak ada individu macan tutul lain di sana.”
Gunung dengan ketinggian mencapai 3.078 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu dinilai memang sudah lama diketahui menjadi habitat alami macan tutul. Memiliki luas hutan 14.841 hektar, minimalnya dihuni 4-6 pasangan. Dengan asumsi jelajah macan tutul 5-15 kilometer persegi.
Namun, Anton menduga TNGC sudah kehilangan macan tutul sejak 2015. “Ini berdasarkan rasio umur. Sebab pada waktu pengamatan awal diperkirakaan usia sudah 15 tahun. Itu termasuk pejantan tua,” katanya.
baca juga : Konflik Manusia dengan Macan Tutul Jawa Belum Berakhir
Penguatan Populasi
Program Manager, Conservation International Indonesia itu, sempat merekomendasikan untuk melakukan translokasi ataupun introduksi macan tutul di Ciremai pada 2015. Sekalipun hal tersebut terbilang baru dalam konservasi karnivora di Indonesia, tapi mau bagaimana lagi sudah didesak keadaan, katanya.
“Tujuannya untuk penguatan populasi secara alami,” imbuhnya.
Sementara, pelepasliaran Rasi, macan tutul betina di kawasan Ciremai membawa rasa penasaran Anton. Penulis Buku Kucing-Kucing Liar itu, menganggap pelepasliaran dua individu macan tutul korban konflik memberi peluang agar upaya konservasi tak jalan ditempat.
Seharusnya pelepasliaran sepasang macan tutul yang kini mengisi kekosongan habitat di Ciremai dijadikan bahan literasi baru,” jelas Anton.
Perkawinan diantara mereka adalah harapan yang dinantikan terwujud. Tapi Anton beragumen bahwa penjodohan di alam belum tentu berhasil.
Terlebih, sistem perkawinan macan tutul adalah promiscuity atau kawin dengan lebih dari satu pasangan. Betina akan kawin dengan jantan yang memiliki home range (jelajah) overlap dengannya. Macan tutul tidak memiliki musim berkembang biak khusus tetapi bisa kawin kapapun di sepanjang tahun.
Tiga puluh tahun mengamati macan tutul, Anton mafhum tentang pola kawin mereka. Cakaran macan tutul pada pohon selain penanda teritori juga berfungsi untuk mencari pasangan. Kebiasaan mendenguskan mulut ke tanah adalah cara komunkasi diantara mereka.
“Dari cakaran itu macan tutul bisa mencium aroma. Semisal aroma itu berasal dari betina, si jantan akan mencari betina hingga kawin. Jika itu aroma berasal dari pejatan, dua kemungkinannya adalah mereka berkelahi atau menghindar,” terangnya.
baca juga : Pertaruhan Nasib Macan Tutul Jawa dengan Manusia
Karena sebetulnya ruang jelajah macan tutul dibatasi oleh teritori pejantan lain. Alasanya kenapa jantan mesti overlap yakni bertujuan untuk menemukan betina, “Dan Slamet Ramadhan berpeluang besar bertemu Rasi karena hanya dia satu-satunya pejantan di Ciremai. Hanya tinggal menunggu waktu saja kalau menurut saya.”
Kata Anton, perkawinan macan tutul berlangsung selama dua sampai tujuh hari. Ritual perkawinan mereka ditandai dengan berbagi mangsa bersama maupun menjilati satu sama lain seperti halnya kucing.
Setelah musim kawin berakhir, jantan dan betina akan berpisah. Sebab pada dasarnya macan tutul adalah satwa soliter.
Berdarkan buku Manusia dan Macan Tutul, macan tutul betina akan matang seksual pada umur rata-rata 2.5 tahun. Masa kehamilan rata-rata 96 hari, melahirkan dua anak per kelahiran,kadang-kadang tiga atau empat, tetapi juga ada yang melaporkan sampai enam ekor setiap kelahiran. Angka kematian anak macan tutul 40-50%, sehingga biasanya jarang dijumpai induk bersama anak lebih dari 1 – 2 ekor.
Sedianya Rasi dan Slamet tidak kawin, pemilihan TNGC sebagai tempat pelepasliaran macan tutul korban konflik dinilai solusi jangka panjang. Setidaknya, kata Anton, tak kelimbungan menentukan tempat rilis bagi macan.
Menurut Anton, saat ini penanganan konflik masih tak jelas arahnya. Kadang, satwa yang hendak rilis, tidak dititiprawatkan di tempat yang tepat. Padahal kekeliruan semacam itu berdampak fatal.
baca juga : Bisakah Manusia Berdamai dengan Macan Tutul Jawa?
Kekhawatiran Anton memang berdasar. Banyak macan tutul justru berakhir di kandang display. Sepanjang hidup mereka dihabiskan sebagai satwa koleksi lembaga konservasi eksitu seperti kebun binatang.
Dibutuhkan prasyarat utama agar penanganan tak gelagapan menentukan nasib si kucing besar itu jauh dari tubir kepunahan. “Kadang saya mengamati kegagapan kita menentukan pilihan antara rilis dan tidak, atau bahkan lambat memilih tempat pelepasliaran itu menjadi politis sekali. Dan itu masalah yang klasik banget,” ucap Anton.
Agaknya, menakar peluang hidup macan tutul jawa bermuara pada langkah konservasi tepat. Jangan sampai arah perlindungan pemuncak rantai makan itu salah kaprah akibat ketiadaan rujukan yang jelas.
Di ujung telepon, Anton bilang, sekalipun TNGC bakal dijadikan tempat pelepasliaran macan tutul korban konflik mesti diimbangi literasi lain yang lebih komperhensif. Semisal, penyesuaian jelajah macan tutul dengan luas wilayah, dan area penunjang di sekitar hutan yang bisa menghubungkan habitat satu sama lain. Selain daya dukung lingkungan wajib terpenuhi, ada yang paling penting yaitu dukungan sosial dari masyarakat setempat. Karena koridor paling efektif membatasi konflik adalah kesadaran manusia membagi ruang.