- Sejak November 2020, Komisi Eropa mengeluarkan rancangan aturan uji tuntas penyediaan barang komoditas dan produk tertentu di pasar Uni Eropa yang terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan. Proposal ini dikenal dengan EU Due Diligence Regulation (EUDDR) yang mengatur produk daging sapi, sawit, kedelai, kakao, kopi dan kayu.
- Koalisi organisasi masyarakat sipil mengusulkan batas pelaksanaan mundur 31 Desember 2000, mengingat sejak saat itu kehilangan hutan skala besar terjadi dan telah tersedia teknologi pemantauan yang memungkinkan meluasnya partisipasi publik.
- Berbagai organisasi masyarakat sipil juga mengusulkan, bagi petani swadaya dan petani kecil di negara-negara produsen, harus ada safeguards dan insentif pasar langsung. Bentuknya, bisa dukungan pendanaan, akses pasar, harga dan transfer teknologi untuk membantu mereka memenuhi standar uji tuntas.
- Organisasi masyarakat adat dan masyarakat sipil juga menyerukan, aturan hukum terkait anti-deforestasi buatan Uni Eropa seharusnya mewajibkan kalangan bisnis menghormati hak masyarakat tradisional atas wilayah mereka atau menghadapi risiko gagal memenuhi tujuannya.
Komisi Eropa tengah membahas rancangan aturan uji tuntas penyediaan barang komoditas dan produk tertentu di pasar Uni Eropa yang terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan. Proposal yang dibahas sejak November 2020 ini dikenal dengan EU Due Diligence Regulation (EUDDR) yang mengatur produk daging sapi, sawit, kedelai, kakao, kopi dan kayu.
Inisiatif konsumen yang berupaya mengatur produk bebas deforestasi dan bebas degradasi hutan ini disambut baik oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil termasuk di Indonesia. Mereka mengeluarkan pernyataan bersama bulan lalu.
Mereka menilai, konsumen sudah menyadari kalau rantai pasok konsumsi produk ikut berkontribusi terhadap deforestasi dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat, komunitas lokal dan petani di negara-negara produsen. Hingga kini, proposal peraturan ini dibahas oleh Parlemen Eropa sebelum dibawa ke Dewan Uni Eropa.
Namun, organisasi masyarakat sipil ini juga menyayangkan batas pelaksanaan (cut-off date) pada 31 Desember 2020. “Ini juga berarti perusakan hutan besar-besaran pada periode sebelum batas pelaksanaan cut-off date diputihkan begitu saja,” sebut pernyataan itu.
Mereka pun mengusulkan batas pelaksanaan mundur 31 Desember 2000, mengingat sejak saat itu kehilangan hutan skala besar terjadi dan telah tersedia teknologi pemantauan yang memungkinkan meluasnya partisipasi publik.
Mereka juga usulkan proses penilaian risiko negara (benchmarking) dengan melibatkan negara- negara yang akan dinilai terutama dalam perumusan kriteria dan indikator serta pelaksanaan penilaian risiko. Termasuk pihak ketiga yang independen dan kompeten.
Juga pelaksanaan penilaian risiko negara (benchmarking) harus transparan dan memungkinkan seluruh informasi terkait proses dan hasil penilaian risiko tersedia dan terakses publik luas.
Baca juga: Menyoal Aturan Uji Tuntas Uni Eropa bagi Petani Sawit Mandiri
Petani swadaya
Berbagai organisasi masyarakat sipil juga mengusulkan, bagi petani swadaya dan petani kecil di negara-negara produsen, harus ada safeguards dan insentif pasar langsung. Bentuknya, bisa dukungan pendanaan, akses pasar, harga dan transfer teknologi untuk membantu mereka memenuhi standar uji tuntas.
Perlu juga kejelasan definisi petani swadaya dan panduan teknis pemenuhan informasi dalam uji tuntas. Juga perlu tenggat waktu yang mencukupi untuk menjamin kesiapan dan kapasitas petani swadaya dalam memenuhi persyaratan uji tuntas sebelum aturan berlaku.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, dalam upaya melindungi hutan ini tak cukup hanya dengan membersihkan rantai pasokan komoditas dari dan produk ke dalam pasar Uni Eropa semata.
“Kebijakan harus disusun tak bisa hanya dari sudut pandang Uni Eropa sebagai konsumen, juga perlu dilihat dari produsen. Agar kebijakan yang baik ini bisa tepat sasaran,” katanya.
Dia khawatir, kalau kebijakan ini jalan akan ada kelompok masyarakat tercecer karena sawit mereka dinilai tak kompatible dengan prasyarat yang ada.
“Regulasi ini memberi konsekuensi langsung terhadap petani swadaya dalam bentuk pengucilan mereka dari mata rantai pasokan yang membawa akibat ekonomis terhadap mata pencaharian mereka,” katanya.
Selama ini, kata Rambo, petani berupaya mengikuti berbagai skema sertifikasi sawit keberlajutan walau masih minim. Bukan petani swadaya tak mampu, tetapi keberpihakan dan peran pemerintah minim selama ini.
Belum lagi, kata Rambo, definisi petani swadaya harus lebih jelas.
Koalisi juga mengusulkan definisi petani swadaya adalah mereka yang memiliki luasan kebun maksimal 10 hektar yang dikerjakan sendiri dan bertempat tinggal di sekitar perkebunan.
Tak jauh beda dengan Uli Artha Siagian, Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, implementasi kebijakan itu tak akan jalan kalau tak ada peningkatan kapasitas para petani swadaya.
“Jika tidak terjadi penguatan kapasitas ini akan meminggirkan petani swadaya. Apalagi kesenjangan antara petani dan pemodal itu timpang, perlu afirmasi kepada petani swadaya agar bisa meningkatkan kemampuan agar sama dengan prasyarat,” katanya.
Dia berharap, dengan masalah dan kesenjangan petani swadaya di Indonesia ini tak membuat prasyarat turun (down grade). Yang diperbaiki, kapasitas dan akses materil kepada petani swadaya agar memperoleh hak sama dengan perusahaan sesuai prasyarat dalam proposal.
Keberpihakan kepada petani swadaya ini, kata Uli, bisa dilihat terkait keseriusan pemerintah mau mendata jumlah petani swadaya, dan peningkatan produksi.
“Hingga hilirisasi sawit di petani itu bisa mulai terbangun. Persoalan sawit sekarang didominasi grup-grup besar. Sedangkan petani tak menguasai sektor hilir. Perlu juga peningkatan hilirisasi di tingkat petani agar ada peningkatan ekonomi yang dirasakan petani,” kata Uli.
Dokumen: Proposal baru Uni Eropa
Perbaiki tata kelola
Uli mengatakan, kebijakan ini akan tak akan berdampak kalau tak diikuti mekanisme keterlacakan dan komplain yang transparan.
“Artinya, mekanisme ini bisa diakses publik termasuk para petani, koalisi masyarakat sipil, masyarakat lokal maupun masyarakat adat,” katanya.
Tujuannya, agar publik bisa mengawasi kerja-kerja uji tuntas komoditas dari hulu hingga hilir.
Dia berharap, inisiatif ini dapat mendorong pemerintah negara produsen, salah satu, Indonesia, memperbaiki dan memperkuat tata kelola pemerintahan yang baik maupun produksi dari komoditas. Dengan begitu, komoditas bisa diterima di manapun termasuk Uni Eropa.
“Itu bisa menjadi stimulus bagi pemerintah Indonesia memperbaiki tata kelola. Ini masih ada waktu target pemerintah Eropa untuk menyelesaikan proposal pada 2023 dan kemudian diimplementasikan.”
Rambo mengatakan, sebelum ada intervensi datang dari pasar atau negara lain, pemerintah memang harus melakukan tata kelola sawit, termasuk perhatian pada petani swadaya.
“Banyak kebijakan bagus, seperti moratorium yang sebenarnya sejalan dengan due diligence. Pembenahan dengan evaluasi izin, tidak ada ekspansi lagi, peningkatan produktivitas. Sayangnya, kita tidak bisa melihat hasil mortarium secara transparan.”
Deforestasi
Mereka juga memberikan sejumlah catatan soal deforestasi. Deforestasi, katanya, selain sebagai alih fungsi kawasan, juga harus sebagai “hilangnya tutupan hutan, termasuk ekosistem savana, stepa dan gambut. Juga fungsi ekologisnya, baik karena ulah manusia ataupun yang lain.
Hutan juga harus dimaknai sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan alami setidaknya lima tahun dengan luas minimal 0,5 hektar. Ia didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, antara satu dengan lainnya tak dapat terpisahkan.
Begitu juga soal degradasi hutan. Kalau akan masuk dalam peraturan ini, sebut mereka, harus terelaborasi lebih lanjut dengan kriteria, indikator dan metode pengukuran jelas. Dengan begitu, tak memarginalkan petani swadaya dan masyarakat adat maupun komunitas lokal.
“Tantangannya, di Uni Eropa masih banyak masukan perbaikan pasal dan perusahaan yang jadi entitas paling ngotot mendekati parlemen dan kementerian agar bisa turun standar,” kata Uli.
Bicara produk kayu, Indonesia merupakan negara pemegang lisensi forest law enforcement governance and trade (FLEGT). Hingga kini, Indonesia masih aktif dalam kesepakatan FLEGT-VPA (voluntary partnership agreement) dengan Uni Eropa.
Koalisi organisasi ini mengusulkan, harus ada peta jalan bersama untuk memastikan masa depan FLEGT-VPA hingga dampak positif reformasi tata kelola bisa dipertahankan dan diperkuat guna mencapai produksi kayu tak hanya legal juga lestari pada tiap rantai pasoknya.
Uni Eropa dan Indonesia, harus bersama-sama mengeksplorasi klausul terkait kemitraan hutan (forest partnership) dalam usulan proposal Uni Eropa ini dalam konteks FLEGT-VPA.
M Ichwan, Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mengatakan, sebagai satu-satunya pemegang lisensi FLEGT-VPA yang aktif dengan Uni Eropa, diskusi kedua pihak ini mengenai masa depan FLEGT-VPA harus dilakukan untuk mempertahankan pencapaian positif dan memperkuatnya.
“Diskusi harus melibatkan semua pemangku kepentingan dan mengeksplorasi opsi kemitraan hutan dalam peraturan baru dalam konteks FLEGT VPA, hingga Indonesia dapat memperkuat sistem untuk tidak hanya menjamin legalitas kayu juga produk kayu bebas deforestasi dan berkelanjutan,” katanya.
Penghormatan HAM
Koalisi juga memandang pemenuhan legalitas yang mengacu pada peraturan perundang-undangan negara produsen dapat menghasilkan kesenjangan dalam tingkat dan standar pemenuhan, mengingat perbedaan sistem dan standar pemenuhan legalitas tiap negara.
Untuk itu, perlu kriteria dan pemenuhan indikator terkait legalitas, terutama dalam memastikan penghormatan HAM, yang mesti mengacu pada instrumen- instrumen internasional meliputi, Kovenan tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sosial politik. Kemudian, konvesi hak-hak perempuan dan anak, konvensi tentang anti korupsi, konvensi ILO, Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, panduan PBB tentang bisnis dan HAM maupun prinsip free, prior and informed consent (FPIC).
Sebelum itu, Januari lalu sekitar 180 organisasi masyarakat adat, lingkungan, dan hak asasi manusia di 62 negara juga memberikan surat terbuka kepada para pembuat kebijakan Uni Eropa.
Di antara penandatangan surat itu, ada 22 organisasi masyarakat adat dari 33 negara, termasuk mitra dagang utama Uni Eropa seperti Brasil, Indonesia, Malaysia, dan Thailand, selaku produsen utama impor kedelai, minyak sawit, dan karet bagi Uni Eropa. Kelompok-kelompok ini mewakili ratusan ribu masyarakat adat.
Mereka menyerukan, aturan hukum terkait anti-deforestasi buatan Uni Eropa seharusnya mewajibkan kalangan bisnis menghormati hak masyarakat tradisional atas wilayah mereka atau menghadapi risiko gagal memenuhi tujuannya.
Wilayah hunian berbagai komunitas ini menjadi rumah bagi hutan yang terpelihara dengan baik di dunia tetapi menghadapi tekanan dari industri dengan produk dijual di pasar Eropa.
Rancangan peraturan Uni Eropa tentang produk bebas deforestasi memuat usulan membatasi impor komoditas pertanian utama – hewan ternak, cokelat, kopi, sawit, kedelai, dan kayu – yang tumbuh di atas lahan yang mengalami deforestasi setelah 2020, tetapi tak membatasi komoditas yang terkait pelanggaran hak sebagaimana didefinisikan sesuai standar internasional.
Dalam surat terbuka itu, mereka menyebutkan, pertanian industri secara global adalah pendorong utama kehilangan hutan, dan perusakan lingkungan yang sering dikaitkan dengan pelanggaran hak terhadap masyarakat yang bergantung pada hutan.
“Kelemahan penting dalam proposal Uni Eropa ini adalah tidak ada paksaan bagi perusahaan untuk menegakkan standar internasional sehubungan dengan hak atas tanah kami,” kata Puyr Tembé, Koordinator Eksekutif di Pará State Federation of Indigenous Peoples (Federasi Masyarakat Adat Negara Bagian Pará, FEPIPA) dalam rilis kepada media.
Perlindungan minim terhadap hak-hak masyarakat adat, katanya, menjadi bencana bagi Amazon dan membuat para pemimpin masyarakat adat mengalami kekerasan dari peternak, penebang, dan para pendatang lain.
Rukka Sombolinggi, selaku Sekretaris Jenderal dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, di seluruh nusantara, masyarakat adat berada di bawah tekanan besar dari sejumlah perusahaan yang ingin mengeksploitasi hutan mereka. “Termasuk, menanam tanaman untuk konsumen Eropa,” katanya.
Tindakan Uni Eropa bikin kebijakan ini penting, katanya, tetapi para pembuat kebijakan seharusnya juga peduli untuk memastikan agar hal itu tak memicu perpindahan masyarakat adat dari tanah mereka.
Gabungan organisasi ini mendorong negara-negara anggota Uni Eropa memastikan peraturan itu mengharuskan perusahaan menghormati hak milik dan tanah masyarakat. Sebagai bagian dari kewajiban ini, perusahaan juga seharusnya mengidentifikasi dan menangani risiko yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan mereka atau pemasok mereka kepada para pembela hutan.
“Uni Eropa harus memastikan peraturan yang diusulkan melindungi hak-hak [masyarakat adat] itu dengan mengikuti standar internasional,” kata Julia Christian, juru kampanye hutan di organisasi hak dan hutan, Fern.
Sejumlah penelitian menunjukkan, masyarakat adat dan komunitas lokal adalah pelindung terbaik bagi alam.
Masyarakat adat mengelola setengah dari hutan dunia, yang menyimpan lebih banyak karbon dan memiliki tingkat deforestasi dan degradasi lebih rendah dibandingkan dengan kawasan lain. Sayangnya, di seluruh dunia, hak tenurial masyarakat adat dan komunitas lokal terampas dan terabaukan. Mereka juga juga diserang, terancam dibunuh karena mempertahankan wilayah mereka, seringkali dari bermacam kegiatan bisnis.
Luciana Téllez, peneliti lingkungan di Human Rights Watch mengatakan, untuk memastikan pasar Uni Eropa tak lagi terkait berbagai kegiatan yang merampas tanah masyarakat adat dari mereka, peraturan itu seyogianya mewajibkan kalangan bisnis menegakkan hak-hak mereka sesuai dengan standar internasional.
*****