Menjaga ‘Laboratorium’ Obat-obatan Bukit Peramun

 

 

 

    • Pulau Belitung, menyimpan kekayaan tumbuhan obat-obatan, salah satu di Bukit Peramun. Sekitar 60% tumbuhan di Bukit Peramun, Desa Air Selumar, Sijuk, Belitung ini merupakan bahan obat-obatan.
    • Bukit Peramun berarti peramu. Berbagai tumbuhan di sana punya khasiat obat. Di Pulau Belitung, bukit ini yang selamat dari penambangan timah, batu granit, perkebunan sawit maupun HTI.
    • Masyarakat sekitar Peramun berusaha terus menjaga dan merawat bukit ini. Mereka sudah dapat izin hutan kemasyarakatan.
    • Bukit Peramun penting jadi laboratorium pengetahuan Suku Melayu. Pengetahuan terkait hubungan harmonis manusia dengan alam.

 

 

Belitung, bukan hanya terkenal dengan keindahan pantai yang memiliki hamparan batuan granit berusia jutaan tahun. Pulau dengan luas sekitar 450.000 hektar ini juga masih menyimpan berbagai pengetahuan terkait obat-obatan Suku Melayu. Salah satu “apoteknya” di Bukit Peramun.

Bukit Peramun berada di Desa Air Selumar, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Bangka Belitung. Di bukit ini ada 147 jenis pohon dan tumbuhan, ratusan batu granit dengan ukuran belasan meter persegi.

“Peramun itu berasal dari kata peramuan atau meramu. Meramu itu mengelola obat-obatan dari tanaman atau meramu untuk kepentingan lain, seperti rumah atau kerajinan,” kata Nurdin.

Nurdin adalah pengurus Hutan Kemasyarakatan (HKm) Bukit Peramun. Ida mengajak melihat hutan yang didominasi ulin [Eusideroxylon zwageri] atau bulin dalam bahasa lokal.

Hutan ulin ini sekitar 10 hektar. Ukuran pohon rata-rata berdiameter 1,5 meter. Terlihat pula ribuan anakan ulin terhampar di tanah.

“Dulu, pohon ulin diambil masyarakat untuk membuat perahu atau dermaga. Sejak kawasan hutan ini menjadi HKm, masyarakat tidak lagi menebang ulin,” kata Nurdin.

Warga mendapatkan surat keputusan HKm Bukit Peramun berdasarkan SK Bupati Belitung No. 522/866/KEP/DKP/2013 seluas 115 hektar.

Ada juga pulai (Alstonia sp.), paharu (Aquilaria malaccensis), balau merah (Shorea belangeran), karai (horea ovalis), serta beragam pohon ara (Ficus spp) seperti ara pencekik (Ficus annulata) atau strangling tree.

Pohon eboni (Diospyros celebica) pun ada. “Yang selama ini diketahui hanya tumbuh di Sulawesi. Tumbuhnya eboni di hutan ini, tengah diteliti orang LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),hasilnya kita belum tahu.”

Beragam satwa pun ada di sini. Tercatat, ada 24 jenis burung di hutan Peramun ini. Ada juga mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), dan beragam jenis ular.

 

Nurdin [61] alias “Pak Itin” menunjukan daun dari tanaman di Bukit Peramun yang dapat dijadikan bahan obat. Foto Nopri Ismi-Mongabay Indonesia
Nurdin [61] alias “Pak Itin” menunjukan daun dari tanaman di Bukit Peramun yang dapat dijadikan bahan obat. Foto Nopri Ismi-Mongabay Indonesia

 

Apotek

Sekitar 60% tanaman di Bukit Peramun merupakan bahan obat-obatan. “Saya percaya, mungkin semua tanaman di bukit ini dapat jadi bahan obat-obatan. Sebab, banyak pengetahuan tentang obat-obatan sudah hilang atau tak kami ketahui dari para orangtua sebelumnya,” kata Nurdin.

Saat ini, sekitar 300-an ramuan obat untuk berbagai penyakit atau minuman sehat, diolah dari tanaman di Bukit Peramun. “Yang jadi bahan obatan itu, mulai dari daun, akar, kulit, buah dan bunga.”

Beberapa ramuan obat banyak diminta masyarakat, baik di Belitung atau luar, misal, dari akar kuning (Fibraurea chloroleuca), upak-apik atau bajakah (Spatholobus littoralis Hassk), pasak bumi (Eurycoma longifolia), bidara putih (Ziziphus mauritiana), maupun simpor (Dillenia suffruticosa).

Di Bukit Peramun, juga ada 12 mata air purba. “Bukit ini usianya sudah jutaan tahun, mata air yang terbentuk di sini usia juga jutaan tahun,” katanya.

Di Belitung, kemungkinan tinggal hutan Bukit Peramun yang masih terjaga baik hingga pengetahuan obat-obatan terjaga. “Saya sendiri mendapatkan pengetahuan obat-obatan ini dari orangtua dan tetua masyarakat,” kata Nurdin.

 

Jaga hutan

Sejak anak-anak, Nurdin hidup di sekitar Bukit Peramun. Mulai dari membantu orangtuanya berkebun, hingga membuka kebun lada dan karet di sekitar Bukit Peramun.

“Sejak remaja saya paling senang masuk hutan di Bukit Peramun. Sendirian. Terkadang saya bermalam di atas batuan granit di sini. Rasanya nikmat sekali masuk ke hutan. Melihat langit penuh bintang di malam hari, membuat saya begitu dekat dengan Tuhan. Saya melakukannya hingga kini,” katanya.

Dari pengalaman bermalam di hutan, Nurdin paham kalau kulit pohon mudah terkelupas saat bulan purnama. “Mereka (pepohonan) seakan ingin menyerahkan diri kepada langit.”

Saat malam biasa, kulit pohon sangat keras menempel di batang.

“Saat siang, saya berbicara dengan pohon-pohon di sini. Mereka seperti terus berdoa atau memuja Tuhan. Itulah yang membuat saya cinta dengan -pohon ini. Sedih jika ada yang melukai atau menebang pohon.”

Nurdin pun menjaga hutan di Bukit Peramun. Dia ingin ada generasi muda yang mewarisi pengetahuan obat-obatan yang dia miliki.

“Tapi pengetahuan itu bukan untuk berbisnis, sebab bisa berdampak rusaknya hutan ini. Semata untuk menjaga pengetahuan leluhur, membantu orang banyak, serta sedikit mencari pendapatan,” katanya.

 

anak ular berbisa berada di atas anak pohon ulin. Foto Nopri Ismi-Mongabay Indonesia
Anak ular berbisa berada di atas anak pohon ulin. Foto Nopri Ismi-Mongabay Indonesia

 

Timah, penambang batu, dan kebun sawit

Setelah reformasi 1998, Pulau Belitung seperti juga Bangka, marak dengan penambangan timah ilegal. Hampir semua wilayah daratan dibuka masyarakat untuk menambang timah.

“Termasuk di sekitar Bukit Peramun,” kata Adie Darmawan, Ketua Komunitas Air Selumar (Arsel Community) Belitung yang mengelola HKm Bukit Peramun, kepada Mongabay, akhir April lalu.

Ancaman lain di Bukit Peramun juga ada penambang batu granit. Banyak batuan granit berusia jutaan tahun ditambang masyarakat baik manual maupun pakai bahan peledak.

Tidak lama kemudian, muncul pula perkebunan sawit di lokasi bekas tambang maupun lahan yang sebelumnya kebun lada atau hutan.

“Pokoknya mengerikan saat itu,” katanya mengenang masa itu.

Lelaki yang akrab disapa Adong ini masih bekerja di Jakarta saat itu. Pada 2006, dia memutuskan berhenti bekerja dan balik kampung kemudian membentuk Arsel (Air Selumar) Community di kampungnya.

Komunitas ini ingin menyelamatkan Bukit Peramun dari kerusakan berbagai aktivitas ekstraktif yang marak di Belitung.

“Saya senang sekali bertemu Pak Itin [Nurdin] yang saat itu menentang segala upaya merusak Bukit Peramun. Komunitas kami juga melibatkan banyak pemuda kampung,” kata Adong.

Mereka pun mulai mengusulkan Bukit Peramun yang secara status masuk kawasan hutan produksi Batu Itam–Air Gelarak ini jadi HKm.

Pada 2013, izin pemanfaatan jasa lingkungan dengan pola HKm dari Pemerintah Belitung kelaur. Pada 2017, lewat surat keputusan bupati,

Bukit Peramun resmi jadi kawasan ekowisata di Belitung.

Selanjutnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] melalui Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem [KSDAE], menetap sebagian hutan di sekitar HKm Bukit Peramun sebagai taman keanekaragaman hayati (Kehati).

Bukit Peramun pun jadi geosite Belitong Unesco Global Geopark pada 2021.

“Bukit Peramun ingin kami kembangkan menjadi laboratorium obat-obatan Suku Melayu hingga bermanfaat bagi bangsa ini, umat manusia,” katanya.

Adong berharap, pemerintah di Belitung dan Belitung Timur mengusulkan berbagai hutan di kawasan bukit di Pulau Belitung untuk jadi kawasan lindung.

“Sebab selama ini yang jadi hutan lindung kebanyakan di pesisir, padahal hutan di bukit sangatlah penting. Selain habitat berbagai flora dan fauna, juga menjaga air, mengatasi banjir dan kekeringan, serta sumber ekonomi non kayu,:

Adong khawatir, kalau tak ada perlindungan terhadap bbukit-bukit ini. hutan bisa habis untuk penambangan timah ilegal, perkebunan kayu maupun kebun sawit.

 

pohon ara di Bukit Peramun, Belitung, yang berusia ratusan tahun. Hutan di Bukit Peramun, salah satu hutan tropis yang masih lestari di Pulau Belitung. Foto Nopri Ismi-Mongabay Indonesia
Pohon ara di Bukit Peramun, Belitung, yang berusia ratusan tahun. Hutan di Bukit Peramun, salah satu hutan tropis yang masih lestari di Pulau Belitung. Foto Nopri Ismi-Mongabay Indonesia

 

Pertahanan terakhir

Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan UIN Raden Fatah Palembang, yang melakukan kajian terkait teks Prasasti Talang Tuwo milik Kedatuan Sriwijaya, menilai, berbagai pengetahuan terkait alam, membuktikan apa titah pemimpin Sriwijaya dari prasasti itu dapat diasumsikan beranjak dari pengetahuan lokal masyarakat Melayu, bukan dari luar nusantara. Dia contohkan, obat-obatan dari tumbuhan di hutan Bangka Belitung, khusus, Pulau Belitung,

“Bisa saja pengetahuan hidup selaras dengan alam ini berasal dari masyarakat Belitung yang jadikan dasar Prasasti Talang Tuwo atau sebaliknya pengetahuan yang bertahan di masyarakat Belitung ini merupakan jejak pengetahuan masyarakat Melayu di masa Sriwijaya.”

Di Pulau Sumatera, sulit menemukan pengetahuan lokal soal pemanfaatan tumbuhan hutan sebagai obat-obatan. “Mungkin di Pulau Sumatera tinggal belasan pengetahuan tentang obat-obatan itu. Jika pengetahuan itu hingga ratusan, sesuatu yang harus disyukuri, dan penting untuk didokumentasikan, dan disebarkan sebagai pengetahuan umum.”

Yenrizal yakin, masih banyak pengetahuan lain dari peninggalan leluhur masyarakat Melayu di Pulau Belitung. “Perlu dikaji dan digali lagi, sebab pengetahuan-pengetahuan itu merupakan pertahanan terakhir Suku Melayu yang saat ini hidupnya mulai tidak lagi harmonis dengan alam. Jadikan Bukit Peramun laboratorium pengetahuan Suku Melayu.”

 

 

 

*******

Artikel yang diterbitkan oleh
,