- Kerap kebakaran hutan dan lahan hingga asap polusi udara, mendorong Sadikin berkeinginan sediakan udara bersih di lingkungan tempat tinggalnya di Bengkalis, Riau. Penerima Kalpataru pada 2020 ini mengubah bekas kebun sayur orangtuanya jadi hutan. Dia beri nama tempat itu, Arboretum Gambut Marsawa.
- Tak hanya menanam karet untuk ekonomi keluarga, Sadikin membibit dan menanam berbagai macam pohon, seperti gaharu, meranti, pisang-pisang, bintangor, kelat merah, mahang. Ada juga tumbuhan atau pohon asli di sana, berupa geronggang, timah-timah, gelam, kelat tikus dan kelat merah dan kantong semar. Ditambah beberapa pohon buah, cempedak dan jambu monyet.
- Untuk mengurangi risiko kebakaran, Sadikin dan petani Kampung Jawa memanfaatkan lahan bekas terbakar maupun yang berpotensi terbakar untuk kebun nenas. Pengelolaan dengan sistem tanam jajar legowo. Modelnya, tiap dua tanaman nenas dengan dua tanaman nenas lain dipisah jalan setapak.
- Ada lagi inovasi Sadikin dan kawan-kawan petani di Bengkalis. Mereka mengolah daun nenas menjadi produk anyaman kantong seranas, akronim dari serat nenas. Ia jadi tas, keranjang dan bakul. Mereka pun beralih dari polibag plastik ke serat nenas untuk wadah pembibitan.
Namanya Sadikin. Tempat tinggalnya di Bengkalis, Riau, kerap kebakaran hutan dan lahan hingga asap polusi udara, mendorong Sadikin ingin sediakan udara bersih di lingkungan tempat tinggalnya di Bengkalis, Riau. Dia mengubah bekas kebun sayur orangtuanya jadi hutan. Dia beri nama tempat itu, Arboretum Gambut Marsawa.
Bengkalis, satu dari 12 kabupaten di Riau yang rawan bencana kebakaran hutan dan lahan. Tujuan Sadikit nikin arboretum, ingin memulihkan lingkungan yang sebelumnya telah merenggut nyawa anaknya akibat terpapar asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) itu.
Tak hanya menanam karet untuk ekonomi keluarga, Sadikin membibit dan menanam berbagai macam pohon, seperti gaharu, meranti, pisang-pisang, bintangor, kelat merah, mahang. Dia juga mempertahankan pohon asli di sana, berupa geronggang, timah-timah, gelam, kelat tikus dan kelat merah. Ditambah beberapa pohon buah, cempedak dan jambu monyet.
“Jenis pohon memang tak banyak, tapi jumlah sekarang sudah ratusan,” katanya, sambil mengajak keliling dalam areal bergambut itu, baru-baru ini.
Arboretum Gambut Marsawa terletak di Kampung Jawa, Kelurahan Sungai Pakning, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis, Riau. Itu salah satu areal yang selamat dari karhutla besar-besaran pada 2015. Luas sekitar 1,1 hektar.
Selain ditutupi pohon yang menjulang, arboretum Sadikin juga jadi rumah sejumlah tumbuhan endemik, berupa kantong semar. Semula hanya ada dua jenis. Kini, berkembang menjadi tujuh macam, beberapa terancam punah. Jenis-jenis itu seperti ampullaria, gracilis, rafflesiana, spektabilis, sumatrana, albomarginata dan sumatrana spectabilis. Yang terkahir merupakan persilangan dua jenis tanaman.
“Awalnya saya berpikir itu tumbuhan langka. Kalau tak ada yang mengembangkan mungkin bisa punah. Lagian ia tak ganggu. Kenapa mesti dibasmi?” ujar Sadikin, saat menunjukkan satu persatu jenis kantong semar yang dimilikinya.
Kicauan burung ikut mengisi obrolan kami di tengah hutan gambut, pagi jelang siang itu.

Bertambahnya jenis tanaman pemakan serangga dengan nama latin nepenthes ini, berkat kegigihan Sadikin melakukan pembibitan. Dia juga membangun rumah kayu untuk budidaya jamur tiram. Sayangnya, saat ini kegiatan ini terhenti karena tanaman terserang hama.
Sadikin menjadikan arboretum ini sebagai wisata edukasi. Pelajar dalam dan luar daerah kerap berkunjung. Ia juga jadi pusat penelitian sejumlah akademisi daerah, nasional bahkan mancanegara. Penelitiannya antara lain, penghitungan karbon, gambut, kelembagaan termasuk perputaran ekonomi yang berlangsung sejak tempat itu dibuka untuk umum.
Dibantu PT Pertamina, Arboretum Gambut Marsawa kini tersedia sejumlah fasilitas penunjang, berupa saung, tempat solat dan toilet termasuk track yang terhubung di sekelilingnya. Ada juga kedai yang menyediakan makanan dan minuman serta beberapa olahan petani setempat.
Bermain dalam arboretum juga tak akan nyasar, karena sudah tersedia jalur dengan susunan tapak batu yang mudah dilalui. Di tambah lagi, ada penunjuk arah dan papan pengenal tiap jenis tumbuhan di dalamnya. Sempat ada permainan flying fox namun terhenti sejak pandemi COVID-19.
“Saya terpanggil merehabilitasi udara. Rasanya, memang tidak mungkin tapi saya tetap bertahan memelihara ini. Biarkanlah ini jadi hutan. Kalau ada hutan airnya banyak,” ucap Sadikin.
Rahmad Hidayat, Jr. Officer CSR PT Kilang Pertamina Internasional Unit Sungai Pakning, mengatakan, keterlibatan perusahaan minyak negara tak terlepas dari masalah karhutla saban tahun di wilayah kerja perusahaan ini. Hasil pemetaan mereka juga mendapati sejumlah potensi alam yang dapat dikembangkan.
Pertamina juga menghubungkan Arboretum Gambut Marsawa dengan dunia pendidikan lewat penerapan kurikulum sekolah cinta gambut. Targetnya, murid sekolah dasar tahu tentang gambut sejak dini karena hampir 60% daratan Bengkalis adalah lahan gambut.
Didy Wurjanto, Kapokja Kehumasan, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), bilang lahan gambut kelolaan Sadikin sesuai jadi arboretum. Selain semua spesies penting lahan gambut dapat tumbuh subur di sana, akses juga mudah hingga menarik untuk kunjungan wisata terbatas.
“Arboretum bagus sebagai contoh gambut yang baik seperti apa. Keuntungan dan kelebihan itu pula yang menarik para donor beri pembinaan,” kata Didy, via aplikasi perpesanan.

Arboretum pada dasarnya koleksi tanaman hingga akan diketahui jenis yang cocok pada gambut itu. Praktik Sadikin, bisa jadi pedoman BRGM dalam kegiatan revegetasi gambut rusak yang sudah berhasil mereka basahkan.
“Kami apresiasi karya Pak Sadikin. Diupayakan agar masyarakat dapat manfaat dari arboretum itu.”
Sadikin, peraih Kalpataru kategori perintis dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2020. Penghargaan itu berawal dari partisipasinya mencegah dan mengendalikan karhutla. Dia termasuk anggota Masyarakat Peduli Api (MPA), Sungai Pakning.
“Tahun 2015, tempat kami pernah disebut kampung neraka gara-gara karhutla. Api muncul di berbagai titik sebelum api di lokasi lain berhasil kami padamkan. Begitu terus selama berbulan-bulan,” kata Sadikin di bawah saung dekat gerbang masuk arboretum.
Pengalamannya saat itu, satu hektar areal terbakar terkadang baru bisa padam berminggu-minggu karena keterbatasan peralatan. Bahkan, harus berkali-kali menggali tanah gambut buat sumur dari satu lokasi ke lokasi lain karena sebentar saja air sudah kering. “Berbagai macam usaha dibuat untuk memadamkan api.”
Sejak itulah, Sadikin dan masyarakat petani sekitar tergerak membangun sekat kanal di kebun mereka supaya gambut tak kering. Upaya penataan keluar masuk air dari dalam parit itu turut dibantu United Nations Development Programme (UNDP).
Kesadaran itu berkat sosialisasi dan pendampingan beberapa akademisi. Sadikin bilang, mulanya usaha itu menimbulkan penolakan dari sebagian masyarakat atau petani. Mereka khawatir apabila parit dibendung akan memicu banjir. Meski kelompok yang kontra tetap memberi jalan pada upaya pencegahan karhutla itu, kelompok yang setuju tetap diminta pertanggungjawaban bila kebun masyarakat terendam.
Untuk mengurangi risiko kebakaran, Sadikin dan petani Kampung Jawa memanfaatkan lahan bekas terbakar maupun yang berpotensi terbakar untuk kebun nenas. Pengelolaan dengan sistem tanam jajar legowo. Modelnya, tiap dua tanaman nenas dengan dua tanaman nenas lain dipisah jalan setapak.
Adapun jarak tiap tanam 70-80 cm. Sedangkan lebar jalan dua kali lipat dari jarak tanaman. Misal, bila jarak tanam dua nenas 70 cm, lebar jalan sebagai pemisah antar tanaman dua nenas lain 140 cm.
Cara itu untuk mencegah kebakaran. Jalur pemisah tanaman nenas dianggap sebagai sekat bakar atau antisipasi supaya api tidak menjalar ke tanaman lain. Ia juga memudahkan petani merawat tanaman.
“Biasa orang tanam nenas mau jalan saja susah. Begitu api masuk jadi nenas panggang. Bagaimana supaya nenas ditanam tapi berfungsi sebagai sekat bakar. Umpamanya satu hektar semak belukar terbakar tak bakal nyeberang ke areal lain.”

Anyaman serat nenas
Ide Sadikin dan kawan-kawan petani tak berhenti di situ. Mereka sudah mengolah daun nenas menjadi produk anyaman kantong seranas, akronim dari serat nenas. Ia jadi tas, keranjang dan bakul. Mereka pun beralih dari polibag plastik ke serat nenas untuk wadah pembibitan.
Pembuatan seranas sangat mudah. Duri daun nenas terlebih dahulu dibersihkan. Kemudian belah sesuai lebar yang diinginkan. Selanjutnya direbus dan dijemur. Setelah kering dan berubah warna jadi kuning, daun siap dianyam untuk berbagai keperluan.
Tahun lalu, Pertamina bahkan memanfaatkan kerajinan dari seranas untuk pembagian daging kurban yang biasa pakai kantong plastik. Petani nenas juga tak perlu menyiapkan kantong plastik lagi buat membungkus produk olahan mereka, seperti dodol, selai, wajik, sirup dan keripik nenas, bila ada pengunjung arboretum yang beli oleh-oleh di sana.
Sebelum pandemi COVID-19, petani nenas masih rutin produksi. Hasil olahan mereka juga merambah ke berbagai pasar di daerah, dengan izin dan merek sendiri. Luas kebun nenas petani Kampung Jawa, sekitar 10 hektar. Mereka akan memperluas enam hektar lagi. Tanaman juga diselingi pohon buah.
Hasil olahan seranas maupun produk makanan dari nenas petani yang bernaung dalam Koperasi Tani Tunas Makmur, itu sudah dipamerkan saat Konferensi Perubahan Iklim (COP25) di Madrid. “Kami merasa terbantu dengan program sosial dari Pertamina. Mereka sering bimbing dan fasilitasi ide-ide kami,” kata Sadikin.
Dia mengabdikan diri sepenuhnya terhadap upaya penyelamatan lingkungan. Ide maupun inovasi Sadikin menunjukkan kesungguhan ini. Belakangan ini, dia membuat sumur hydrant portable. Ini alat penyedot air menggunakan pipa paralon dan mesin hisap yang bisa bongkar pasang. Mudah dibawa dan bisa berfungsi di mana pun, terutama di lahan gambut. Pipa tinggal ditancapkan ke tanah sebelum dihubungkan ke mesin.

Sadikin mencobanya setelah mengikuti pelatihan pembuatan sumur hydrant. Hanya saat itu, kedalaman untuk mendapatkan sumber air mencapai 70-80 meter. Karena berpikir gambut banyak menyimpan air dan tidak perlu sampai pada kedalam itut, dia mencoba pada kedalaman 4-7 meter.
Uji coba Sadikin berhasil dan sangat digunakan pada areal gambut. Apalagi saat terjadi kebakaran, dia dan tim MPA tak susah payah lagi mencari sumber air atau menggali tanah buat kolam. Mereka tinggal menggotong alat tadi ke titik api dan menancapkan di sekitar areal yang hendak dipadamkan.
“Tak perlu menunggu sampai puluhan meter lagi. Kalau gitu api sudah menyebar luas sebelum kedalamannya tercapai. Model tanah gambut seperti ini sudah menyimpan air di kedalaman beberapa meter saja, bahkan di sekitar permukaan.”
Sadikin membagikan karya itu ke sejumlah anggota MPA kecamatan lain, Siak Kecil dan Bandar Laksamana. Sejak ada alat itu, katanya, mereka tidak pernah kewalahan lagi. Tiap MPA dari desa sekitar juga bekerjasama memadamkan api meski bukan di wilayah masing-masing.
Sejak 2016, Sungai Pakning, setidaknya bebas dari kebakaran hebat seperti tahun sebelumnya.
Rahmad Hidayat, bilang Pertamina memandang Sadikin sebagai lokal hero, motor penggerak, ulet, pekerja keras dan peduli untuk kelestarian lingkungan lebih baik. Dengan ada Sadikin dan arboretumnya, turut membantu Pertamina dalam memitigasi kebakaran selama ini.

******