- Tempat wisata Rammang-rammang, di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan yang menikmati keindahan panorama lanskap pegunungan karst Maros –Pangkep yang menakjubkan
- Sebagai tempat wisata, para pengunjung tentu ingin menikmati sajian makanan dan minuman serta penganan khas dari Rammang-rammang. Sayangnya kuliner di tempat wisata ini masih terbatas karena berbagai kendala
- Ada potensi pangan lokal yang tengah dikembangkan oleh pengelola ekowisata dan warga setempat untuk dijadikan kuliner dan penganan khas Rammang-rammang, seperti umbi sikapa, sayur pappa’ dan keripik ikan mujair
- Pengembangan kuliner dan penganan khas Rammang-rammang butuh proses panjang, pendampingan dan penguatan pengetahuan untuk mengatasi tantangan yang ada demi menghasilkan produk yang bisa dinikmati dan dijadikan buah tangan wisatawan
Hari itu, Rammang-rammang ramai dikunjungi oleh wisatawan. Perahu-perahu wisatawan lalu lalang berpapasan di sepanjang sungai menuju Kampung Berua, pusat ekowisata Rammang-rammang, di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Hari yang cukup cerah di awal Maret lalu itu. Semakin siang semakin terik namun tidak mengurangi antusias wisatawan mengelilingi kawasan ekowisata tersebut. Salah satu titik yang selalu ramai dikunjungi adalah Bukit Ammarung. Di bukit ini berderet warung-warung dengan konsep lesehan.
Konsep warung terbuka tanpa dinding atau sekat sehingga sangat nyaman dijadikan sebagai tempat istirahat oleh wisatawan setelah melalui jalan setapak dan mendaki Bukit Ammarung. Wisatawan dapat singgah sambil menikmati udara sejuk dan pemandangan lanskap karst Rammang-Rammang.
baca : Gemerlap Kunang-kunang, Pesona Wisata Malam Rammang-Rammang
“Ada minuman dingin. Ada juga kelapa muda. Kalau mau makan, ada juga pop mie atau mie siram,” jawab Harlina saat ditanya oleh wisatawan apa saja yang dijual di warungnya.
Harlina adalah salah satu pemilik warung yang ada di Bukit Ammarung. Dia, suami dan tiga anaknya tinggal di warung tersebut sejak 2016 silam.
Awalnya Harlina hanya menyediakan menu kelapa muda. Seiring tahun, dia berinisiatif menyajikan mie instan dan minuman kemasan dingin. Itu pun dia harus menyambung kabel listrik dari rumahnya yang jaraknya sekitar 300 meter agar kulkasnya bisa terus menyala.
Dia mengaku sering mendapat keluhan dari wisatawan karena tidak ada pilihan makanan dan minuman khas setempat, selain mie instan dan minuman yang umum tersedia. Mereka berharap dapat menikmati makanan dan minuman khas Rammang-rammang yang tidak didapatkan selain di lokasi wisata ini.
“Mereka mau makanan segar seperti nasi ikan bakar atau makanan khas lainnya di sini. Bukan kami tidak mau siapkan, tapi susah juga di sini. Paling kita cuma siapkan kelapa muda dan mie instan pakai telur. Kalau di warung sebelah bisa siapkan pisang goreng. Itu saja,” jelas Harlina.
Harlina dan warga setempat bukannya tidak mau atau tidak bisa membuat kuliner khas Rammang-rammang. Mereka pun ingin mengembangkan usaha mereka dan menawarkan berbagai jenis makanan kepada para wisatawan.
“Bahan makanan di sini terbatas. Pasar jauh. Kelapa muda ini saja kami harus angkut dari kebun kami yang ada di luar Kampung Berua naik ke bukit ini. Kadang anak saya yang kecil ini ikut membantu mengangkat kelapa dari bawah naik ke atas sini,” katanya.
baca juga : Dukungan Ragam Kuliner Kembangkan Ekowisata Rammang-Rammang
Selain, jumlah wisatawan yang belum bisa diprediksi menjadi salah satu faktor yang membuat para pemilik warung sulit menyediakan bahan makanan lokal di kawasan wisata tersebut.
“Kadang tiba-tiba sangat ramai wisatawan. Kadang juga hanya beberapa orang saja, meski hari libur. Seperti hari ini. Hari ini ramai mungkin karena hari libur nasional jadi banyak pengunjung. Kadang bahkan tidak ada sama sekali,” tambahnya sambil mempersiapkan kelapa muda pada pengunjung lainnya.
“Kalau kami siapkan makanan seperti nasi ikan bakar atau mungkin pisang goreng tapi ternyata satu dua hari itu tidak ada pengunjung. Kami pasti rugi. Ikannya jadi tidak segar dan pisangnya sudah bonyok. Pengunjung juga pasti tidak mau disediakan makan yang tidak segar. Apalagi susah juga ikan di sini. Jauh pasar untuk beli ikan dan bahan-bahan lainnya. Jadi tambah susah,” lanjutnya.
Menurut Basri, orang tua Harlina yang kebetulan hadir saat itu mengatakan bahwa jangankan untuk kebutuhan bahan makanan segar, untuk kebutuhan kelapa muda saja kurang. Basri kadang harus membeli kelapa muda dari kabupaten lain seperti dari Kabupaten Pangkep atau Bone. Kelapa muda ini lalu diangkut dari Dermaga 1 naik ke Bukit Ammarrung.
Setiap satu batok kelapa dihargai Rp.15.000,-. Saat ramai pengunjung rata-rata, mereka menjual sekitar 15-20 buah kelapa muda. Saat sepi paling banyak hanya 3 – 5 buah. Bahkan kadang tidak ada yang laku sama sekali.
“Jadi bayangkan saja kalau kami harus siapkan makanan segar seperti ikan bakar tapi ternyata tidak ada pengunjung sama sekali. Kami bisa rugi setiap hari,” kata Basri.
baca juga : Jalan Panjang Karst Rammang-Rammang menuju Ekowisata
Hal yang sama dikisahkan oleh Marwah, pemilik warung di Dermaga 2, Rammang-Rammang saat ditemui pada Sabtu, pertengahan Maret lalu. Berbeda dengan Harlina, menu yang disajikan oleh Marwah lebih variatif seperti kopi santan (santan sebagai pengganti susu), es jeruk biru, nasi goreng biru, sup jagung, dan aneka jajanan tradisional lainnya. Meski demikian, Marwah pun masih sering mendapatkan keluhan yang sama dari para wisatawan.
“Sering ada wisatawan mengeluhkan bahwa menu kami tidak khas dan tidak variatif. Kami memang kesulitan menyiapkan menu makanan yang khas karena kita tidak tahu kapan ramai pengunjung. Jadi kalau ada tamu yang mau datang dan ingin makan makanan khas, sebaiknya telepon ke kami dulu. Jadi kami bisa siapkan lebih awal. Karena pasar juga jauh dari sini,” katanya.
Potensi Kuliner Lokal
Rammang-rammang mempunyai banyak potensi pangan lokal yang dapat dikembangkan menjadi menu makanan khas bagi wisatawan atau penganan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga. Ikan mujair, sikapa dan sayur pappa’ adalah beberapa contoh pangan lokal potensial yang banyak tersedia di kawasan wisata ini.
Potensi pangan lokal ini berhasil dikembangkan oleh Kelompok Perempuan Tani (KPT) dan Youth Hub yang terdiri dari para perempuan dan pemuda Rammang-rammang. Kelompok tersebut telah berhasil memproduksi keripik ikan mujair, keripik sayur pappa’, dan keripik sikapa.
Pengembangan pangan lokal menjadi keripik ini diinisiasi setelah mereka mendapatkan pelatihan dari Oxfam tahun 2019 silam. Mereka dilatih mengolah dan mengemas pangan lokal hingga menjadi makanan kemasan yang sehat bergizi dan mempunyai nilai ekonomis.
Harapannya produk ini dapat menjadi sumber penghasilan atau sumber ekonomi masyarakat. Mereka bahkan telah mempunyai rumah produksi sendiri yang diberi nama “Balla Jabiro” yang artinya Rumah Mujair.
menarik dibaca : Berebut Ruang di Rammang-rammang
Setelah pelatihan tersebut mereka ditantang untuk bisa menghasilkan produk yang dapat dikembangkan dan menjadi identitas rumah produksi mereka. Dengan melihat potensi lokal, KPT dan Youth Hub sepakat untuk mengolah anakan ikan mujair menjadi keripik.
Selama ini anakan ikan mujair dianggap hama bagi masyarakat karena merusak tambak dan pertanian mereka. Sering kali anakan mujair ini ditangkap dan dibuang begitu saja sehingga menjadi limbah. KPT dan Youth Hub melihat ini sebagai potensi untuk diolah menjadi keripik ikan mujair.
“Keripik ikan mujair ini dijual sebagai oleh-oleh khas Rammang-rammang,” ujar Nasriani, Ketua KPT Rammang-rammang.
Nasriani bercerita mereka membutuhkan proses sekitar setahun uji coba produksi untuk menghasilkan keripik ikan mujair yang renyah, gurih dan bisa tahan lama hingga sebulan tanpa penambahan bahan pengawet.
“Keunggulan produk kami adalah selain menggunakan bahan dasar pangan lokal, kami tidak menggunakan bahan tambahan penyedap rasa. Jadi rasa dari produk kami alami sesuai dengan bumbu dasar tanpa ada penambahan zat pengawet atau penyedap rasa,” terang Nasriani.
Setelah berhasil membuat keripik ikan mujair, mereka pun mengembangkan keripik sayur pappa’, keripik sikapa, dan bahkan sekarang sudah mulai mengembangkan keripik rebung. Harapannya keripik ini dapat menjadi oleh-oleh khas wisatawan dari Rammang-rammang.
“Sayur pappa’ juga adalah sayuran khas Rammang-rammang dan banyak tumbuh di sekitar sini.” Jelas Nasriani.
Sayur pappa’ atau paku laut banyak tumbuh dan mudah ditemui di hutan bakau, tambak, tepi rawa-rawa, tambak dan sepanjang tepian sungai di kawasan di Rammang-rammang.
baca juga : Menjaga Karst, Menjaga Keanekaragaman Hayati Rammang-rammang
Menurut Sumaenah, seorang warga Rammang-rammang sekaligus pemilik warung di Kawasan Gua Berlian Kampung Berua, sayur pappa’ sangat mudah diolah ketika tidak ada pilihan panganan lainnya.
“Kami sudah biasa makan sayur pappa’ sejak kecil. Biasa dimasak sayur bening. Hanya menambah sedikit garam. Biasa kalau tidak ada sayur lain di rumah, kita cukup petik sayur pappa’ di pinggir empang,” jelasnya.
Sepanjang jalan menuju Gua Berlian, memang banyak sayur pappa’ tumbuh liar di pinggir pematang. Potensi itu membuat KPT dan Youth Hub mencoba mengembangkannya menjadi keripik seperti keripik ikan mujair.
Menurut Nur Alim Bahmid, peneliti pada Sekretariat Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), riset tentang pemanfaatan paku laut (Acrostichum aureum) sebagai bahan pangan masih sangat minim.
“Sejauh ini, sebagian besar riset masih membahas tentang ekologi atau ekosistem paku laut di kawasan mangrove atau hutan. Namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa paku laut ini ternyata memiliki kandungan gizi dan antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan jika dikonsumsi,” katanya saat dihubungi pertengahan Maret lalu.
Daun segar paku laut mengandung protein mencapai 7.5%, kandungan karbohidrat, berupa selulosa (serat) dan pati amilosa, mineral dan air yang cukup tinggi. “Kadar antioksidan juga sangat potensial untuk menangkal radikal bebas dalam tubuh,” lanjutnya.
Meski berpotensi sangat besar, sayangnya paku laut belum dimanfaatkan dengan baik. Bahkan hanya beberapa daerah saja yang mengenal paku laut sebagai makanan yang dapat dikonsumsi.
“Jika melihat karakteristik daun paku laut secara fisik, pengembangan paku laut ini sangat memungkinkan untuk diolah menjadi sayuran dan keripik. Secara kimia, paku laut mengandung senyawa antioksidan dan pati. Antioksidan bisa dijadikan sebagai zat aditif tambahan pangan. Pati pada paku laut bisa juga dibuat diekstrak untuk dimanfaatkan sebagai formulasi kapsul atau tablet karena pati dari paku laut mengandung amylose mencapai 24.42% dengan daya larut mencapai 35%,” tambah Nur Alim.
Sementara itu dalam Daftar Merah Spesies dari International Union for Conservation of Nature’s (IUCN), paku laut berstatus konservasi least concern (konservasi rendah). Tumbuhan paku laut ini kuat, tumbuh cepat dalam jumlah banyak dan tidak ada ancaman berarti bagi kelangsungan spesies ini sehingga dapat digunakan secara bebas oleh masyarakat.
baca juga : Cerita Kemandirian Masyarakat Rammang-rammang
Olahan Umbi Gadung
Potensi pangan lokal lainnya adalah umbi gadung atau ubi hutan (Dioscorea hipsida dennst). Masyarakat sekitar mengenalnya sebagai sikapa yang banyak tumbuh liar merambat di hutan. Umbi sikapa terbentuk di dalam tanah dan berjumlah banyak.
Dulu umbi sikapa ini banyak dimanfaatkan sebagai salah satu makan pokok sumber karbohidrat. Namun, seiring waktu sikapa mulai ditinggalkan berganti dengan nasi.
Zaenab, pemilik warung di Dermaga 2 kawasan Rammang-Rammang mengingat masa kecilnya yang mengkonsumsi umbi sikapa sebagai nasi. Bapaknya memanen umbi sikapa dari hutan, kemudian mengolahnya dengan dicuci bersih, diiris-iris, diberi garam dan dibiarkan semalaman untuk menghilangkan zat-zat racunnya.
“Besoknya baru dicuci di sungai sampai tidak ada bau sama sekali. Baru bisa dimasak dan dimakan,” katanya yang menjual menjual minuman dingin seperti milkshake instan di warungnya itu.
Sikapa sudah jarang dikonsumsi seperti dulu. Selain karena harus dicari di dalam hutan di atas gunung, sekarang ini tidak banyak orang yang tahu cara penanganan sikapa agar bebas dari racun.
“Saya saja masih ingat caranya tapi tetap khawatir. Saya ragu jangan sampai tidak bersih, bisa-bisa keracunan semua yang makan,” jelas Zaenab.
baca juga : Cerita Rammang-rammang di Masa Pandemi
Proses pengolahan sikapa memang membutuhkan keterampilan khusus dan kehatian-hatian untuk menghilangkan zat-zat beracunnya. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sikapa mengandung racun berbahaya seperti sianida dan senyawa alkaloid yang dapat menyebabkan pusing hingga muntah.
“Ada keluarga saya dulu keracunan. Pusing-pusing dan tidak enak indera perasanya. Setelah itu, dia tidak mau makan sikapa lagi,” kata Basri, warga Rammang-rammang lainnya. Penawar obatnya kemudian diberi air kelapa muda.
Meskipun sikapa dikenal sebagai umbi beracun, namun dengan proses pengolahan yang benar justru dapat menjadi sumber pangan bergizi dan dapat menunjang ketahanan pangan dan diversifikasi pangan masyarakat Rammang-rammang.
Menurut Zainab biasanya sikapa diolah menjadi sokko sikapa atau sikapa kukus yang biasa dikonsumsi waktu sarapan sebagai makanan pokok. Selain itu sikapa dapat diolah menjadi makanan kudapan seperti sikapa golla calla.
Sayangnya, sikapa golla calla ini belum dijadikan sebagai salah satu menu tradisional di kawasan wisata karena menurut Zaenab bahan dasarnya tidak selalu tersedia dan kekhawatiran menyebabkan keracunan pada wisatawan.
“Tapi sekarang saya liat sudah banyak lagi yang jual sikapa di pasar. Sudah bersih, sudah dipotong-potong. Mereka jual Rp10 ribu per kantong. Jadi tinggal dimasak saja. Saya biasa beli untuk dibuat kue seperti ini,” katanya sambil memperlihatkan kue tradisional berbahan dasar sikapa, gula merah dan santan.
Maraknya penjualan sikapa yang siap olah di pasar membuat rumah produksi KWT dan Youth Hub berinisiatif untuk mengolah sikapa menjadi keripik seperti keripik bayi ikan mujair dan sayur pappa’.
Sayangnya, kerupuk olahan KPT dan Youth Hub ini tidak banyak dijual di warung-warung yang ada di Rammang-rammang. Selain karena produksi yang masih terbatas, pemilik warung pun belum antusias ikut menjual keripik ini.
Butuh Proses Panjang
Keluhan wisatawan tentang menu makanan dan minuman yang ditawarkan bukan tidak diperhatikan oleh pemilik warung ataupun pengelola wisata Rammang-rammang.
“Semua kami dengarkan. Dan semua telah kami pikirkan dengan baik tentang potensi dan masa depan ekowisata Rammang-rammang. Tapi, semua butuh proses panjang,” jelas Muhammad Ikhwan yang lebih akrab dipanggil Iwan Dento, penggagas dan pengelola ekowisata Rammang-rammang.
Menurut Iwan Dento, ide pengembangan ekowisata Rammang-rammang telah dipikirkan sejak awal termasuk pengembangan pusat oleh-oleh atau pengembangan pangan lokal menjadi makanan khas Rammang-rammang.
“Sama seperti keripik ikan mujair atau keripik sayur pappa’. KPT dan kelompok pemuda Rammang telah berusaha mengembangkan produk ini dengan harapan dapat menjadi oleh-oleh khas Rammang-rammang yang dapat dijual di kawasan ini,” lanjutnya.
perlu dibaca : Iwan Dento, Sang ‘Hero’ Penyelamat Karst Rammang-rammang
Iwan mengakui tidak bisa memaksakan perubahan yang cepat di Rammang-rammang. Butuh proses panjang untuk meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan keterampilan baru bagi masyarakat Rammang-rammang yang sebagian besar hanya mengenyam pendidikan dasar.
Lebih lanjut Iwan menjelaskan bahwa KPT dan Youth Hub membutuhkan waktu setidaknya satu tahun untuk bisa menghasilkan satu jenis keripik yang renyah, tahan sebulan sehingga layak dijual.
“Meskipun sudah jadi produk yang layak konsumsi dan layak jual, namun prosesnya belum berhenti sampai di sini. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mendapatkan Nomor P-IRT dan sertifikat halal,” pungkasnya.
Nasriani menambahkan salah satu kendala yang dihadapi dalam proses pemasaran produknya adalah nomor P-IRT dan sertifikasi halal. “Satu tahun ini kami fokus belajar pada pengembangan keripik. Kami baru mau belajar cara mengajukan P-IRT ke Dinas Kesehatan atau BPOM,” katanya.
Nomor P-IRT (Produksi Industri Rumah Tangga) adalah izin edar yang dikeluarkan oleh BPOM yang menunjukkan keamanan suatu produk pangan. Legalitas nomor P-IRT sangat penting karena menjadi salah satu jaminan kepada konsumen bahwa produk yang dijual jual aman untuk dikonsumsi.
“Kendala dalam pengajuan nomor P-IRT ini memang banyak dikeluhkan oleh industri rumah tangga atau UMKM di berbagai daerah. Bukan hanya di daerah-daerah pinggiran, di daerah seperti Jabodetabek pun masih menghadapi kendala yang sama seperti ini. Padahal akses informasinya relatif lebih mudah.” jelas Khoirul Anwar, seorang dosen yang fokus pada pengembangan pangan lokal sekaligus ketua dari Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI).
Namun kendala itu bisa dibantu dengan beberapa kegiatan antara lain bekerja sama dengan BPOM atau Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat dengan membuat sosialisasi atau pelatihan tentang kriteria produk yang memenuhi izin edar BPOM dan Dinkes. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengajak pihak universitas dalam melakukan riset dan pengabdian masyarakat terkait pengembangan pangan lokal dan pendampingan UMKM hingga mendapatkan izin edar.
Khoirul menjelaskan saat ini pengembangan pangan lokal menjadi hal sangat perlu dilakukan dengan mempertimbangkan mulai dari ketersediaan, keterjangkauan, harga, kemudahan akses dan penerimaan masyarakat. Sehingga pangan lokal tersebut bukan hanya dapat bernilai ekonomis namun juga bernilai gizi yang dapat dikembangkan dalam upaya perbaikan gizi masyarakat.
***
*Nurbaya. Akademisi Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Mamuju, Sulawesi Barat
Tulisan ini merupakan seri liputan Rammang-rammang yang didukung oleh Mongabay Indonesia