- Sampah jadi masalah angkutan laut di perairan Maluku Utara seperti di Ternate- Tidore atau sebaliknya. Beberapa pulau berdekatan seperti Ternate, Maitara, Tidore, Hiri, Mare Moti, Makeang, Halmahera serta pulau lain merasakan dampak sampah yang bertebaran di laut.
- Muhammad Sjarif, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tidore Kepulauan mengatakan, sampah di daratan setiap hari produksi masyarakat kota ini sampai 45 ton. Sampah yang terangkut gunakan armada dan petugas hanya 25 ton, sisanya, belum terangkut.
- Zulhan Harahap, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun mengatakan, Maluku Utara, sebagai pusat keanekragaman hayati di segitiga terumbu karang dunia mesti jadi perhatian semua pihak. Kekayaan alam itu perlu dilindungi dari berbagai ancaman, termasuk sampah yang bertebaran di laut.
- Laut Malut mulai banyak sampah, di Malang, Jawa Timur, Kali Metro, sungai yang membelah permukiman padat penduduk di Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang juga banyak sampah plastik.
Kapal-kapal cepat (speedboat) khawatir melewati perairan sekitar Maluku Utara karena banyak sampah dari plastik maupun potongan kayu hanyut terlebih selepas hujan seperti medio Juni lalu. Kekhawatiran mereka beralasan, selain mengancam speedboat dan mesin, keselamatan jiwa penumpang juga terancam.
“Torang tara mau kaluar antar penumpang malam (kami tak mau angkut penumpang malam hari) karena tak bisa lihat sampah bertebaran di laut. Berisiko bahkan ancam jiwa penumpang,” kata Ade Muhammad, motoris yang mengantar kami malam itu.
Sampah jadi masalah angkutan laut Ternate- Tidore atau sebaliknya. Beberapa pulau berdekatan seperti Ternate, Maitara, Tidore, Hiri, Mare Moti, Makeang, Halmahera serta pulau lain merasakan dampak sampah yang bertebaran di laut.
Masalah ini dibahas dalam diskusi Forum Studi Halmahera (Foshal) Maluku Utara bersama Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) Kota Tidore Kepulauan Sabtu dan Mongabay, pertengahan pertengahan Juni.
Muhammad Sjarif, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tidore Kepulauan mengatakan, sampah di daratan setiap hari produksi masyarakat kota ini sampai 45 ton. Sampah yang terangkut gunakan armada dan petugas hanya 25 ton. Sisanya, belum terangkut.
Namun, mereka belum punya data berapa banyak sampah masuk ke laut. “Kita belum tahu karena belum ada kajian atau riset,” katanya.

Meskipun begitu, katanya, persoalan sampah laut di Tidore masuk dalam kategori darurat walau belum ada kajian. Apalagi, katanya, di Kota Tidore, air hujan lari ke laut.
Soal sampah dan pengelolaanya ada 5 hal penting yang butuh dukungan. Pertama regulasi, sarana, sumberdaya, aggaran dan manusia.
“Masalah sarana mengatasi sampah laut kami sudah minta pengelolaan di DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) baik perahu maupun jaring menangkap sampah. Kita sudah coba tetapi belum berhasil.”
Saat ini , Ternate, Tidore, Maitara, menjadi pintu masuk wisata dan aktivitas masyarakat tinggi hingga sampah laut jadi masalah krusial. “Perlu ada langkah cepat, tidak hanya kebijakan tetapi dengan sarana prasarana.”
Bicara sampah juga berhubungan dengan perilaku. Sesuai data indeks ketidakpedulian masyarakat , kepedulian sangat rendah hanya 0,72% kalau dibaca sesuai data BPS. Dengan begitu , partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah di laut juga rendah.
Pemerintah Tidore, katanya, punya kebijakan dan strategi pengelolaan sampah (jakstrada). Dalam penanganan sampah dikenal dengam pilah sampai proses akhir, dengan pengurangan, pembatasan dan daur ulang tetapi belum berjalan maksimal.
“Kami sadar, orang di DLH tak mampu mengatasi masalah sampah ini kalau tanpa ada kolaborasi,” katanya.
Dalam jakstrada ditetapkan pencegahan 30% dan penanganan 70%. “Dalam catatan kami, timbulan sampah 45,9 ton per hari di darat, pengelolaan baru 10% dari 30% target. Penanganan 51,18% atau 23 ton. Masih jauh dari harapan.”

DLH Tidore Kepulauan bekerjasama dengan PT PLN terkait pengganti batubara karena dipastikan 2030 tak digunakan lagi, yakni dari sampah. Pemerintah Tikep membuat nota kesepahaman dengan PLTU/PLN Tidore untuk kerjasama dalam biomassa. Ada juga komunikasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang akan membantu mesin penghancur sampah. Ia bisa dipakai hancurkan sampah jadi pelet. untuk bahan bakar.
Abdul Khalis AR dari Kelompok Pelestari Terumbu Karang (Poster) mengatakan, sampah laut ini perlu ada gerakan semesta. Budaya mahe se kolfino (budaya malu dan takut) perlu diterapkan dalam penanganan sampah di Tidore.
Meski begitu, katanya, perkembangan Kota Tidore dalam penanganan sampah sudah luar biasa.
Saat ini, perlu memulai kampanye tak buang sampah ke laut, saluran air maupun sembarang tempat.
Ratna Namzah, Ketua Komisi III DPRD Kota Tidore Kepulauan bilang, perlu ada langkah penanganan sampah termasuk lewat regulasi. Saat ini, katanya, perlu sosialisasi masif. Setiap kegiatan, katanya, harus ada evaluasi supaya diketahui hasilnya.
Soal sampah laut di Tidore, katanya, perlu penanganan dan pencegahan. Harus ada langkah nyata, evaluasi berbagai kegiatan yang sudah dilakukan.”
Step ke depannya seperti apa harus ada evaluasi sehingga diketahui perkembagannya. Tidak terkesan hanya menggugurkan kewajiban. Koordinasi diserahkan ke kelurahan dan kelompok kelompok di bawah sehingga ada penanganan dan proses preventif.

Ririn A Marsaoly bersyukur, di bawah laut Tidore sampah terbilang minim. Meskipun begitu, dengan makin banyak produksi sampah di daratan beralhir ke laut jadi ancaman perairan Tidore Kepulauan, yang memiliki lokasi penyelaman indah. Titik-titik selam itu antara lain di Maitara, Filonga, maupun Pasi.
“Aset ini perlu dijaga karena bawah laut jadi destinasi penting,” katanya, seraya bilang, kalau memandingkan dengan pulau sebelah, Ternate, bawah laut banyak sampah.
Hatta Hamzah, tokoh pemuda Pulau Mare Kota Tidore Kepulauan mengatakan, sampah paling banyak juga di kawasan wisata pantai di Kota Tidore maupun Ternate.
Di Mare, masuk kawasan konservasi perairan (KKP). Dulu, di perairan ini banyak lumba-lumba tetapi sudah tidak muncul lagi.
“Jangan- jangan masalah ini juga berhubungan dengan banyaknya sampah laut yang menumpuk di sepanjang pantai Pulau Mare. Sampah laut datang dari berbagai penjuru dan terdampar di pulau ini.”
Zulhan Harahap, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun melihat, paling urgen adalah data untuk menganalisis dan intervensi persoalan sampah laut. “Butuh data dan informasi menyelesaikan masalah ini. Juga edukasi baik kepada masyarakat.”
Maluku Utara, sebagai pusat keanekragaman hayati di segitiga terumbu karang dunia mesti jadi perhatian semua pihak. “Ini perlu dilindungi dari berbagai ancaman, termasuk sampah yang bertebaran di laut.”

Sampah di Kali Metro Malang
Laut Malut mulai banyak sampah, di Malang, Jawa Timur, Kali Metro, sungai yang membelah permukiman padat penduduk di Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang juga alami serupa.
Pada penghujung Juni, mahasiswa dan muda-mudi bersama- memunguti beragam sampah di badan sungai.
“Kami berharap kegiatan ini memicu warga Kota Malang untuk menjaga agar Kali Metro tetap lestari dan bersih,” kata Alaika Rahmatullah, Koordinator Komunitas Envigreen Society.
Mereka juga membersihkan sampah plastik juga “bertengger” di ranting pohon dan rumpun bambu di tepi Kali Metro. Sampah plastik dan kain nyangkut pepohonan dan bambu saat terjadi banjir.
Hasilnya dalam tempo tiga jam, terkumpul 10 karung sampah seberat 103,5 kilogram. Komposisi sampah yang terkumpul terdiri atas sampah plastik 52% dan 48% pakaian dan kain bekas. “Prihatin, banyak sampah domestik mengotori Kali Metro,” katanya .
Sebanyak 30-an pemuda yang terlibat dalam aktivitas bersih Kali Metro. Terdiri atas Ecoton, Envigreen Society, Paragon Technology And Innovation, River Warrior, Brigade Evakuasi Popok. Program bertajuk Clean Up and Brand Audit untuk mengidentifikasi sampah yang mengotori Kali Metro.
Audit merek bertujuan mengetahui produsen yang paling berkontribusi mengotori Kali Metro. Hasilnya, lima produsen menyumbang sampah plastik kemasan sekali pakai di Kali Metro, yakni, Unilever 32%, Wings 24%, Indofood 20%, Garuda Food 12% dan Siantar Top 12%.
“Kemasan dari kelima produsen yang paling banyak ditemui di Kali Metro,” kata Alaika.
Sejak dua tahun lalu, mereka mulai bersih-bersih, lantaran banyak sampah plastik yang mencemari sungai. Bahkan membelit ranting pohon dan bambu di bantaran sungai.

Mereka gunakan metode transek sampah, dengan transek ukuran satu meter persegi dengan panjang area 15 meter. Diambil 15 titik transek untuk menentukan luasan sampah yang diambil. “Banyak warga sekitar Kali Metro yang sering membuang sampah domestik di sini,” katanya.
Dia mengajak masyarakat tak gunakan produk kemasan sachet yang sulit didaurulang. Bahkan sebagian berakhir mencemari sungai.
Sejarawan Suwardono mengatakan, kalau masyarakat zaman dulu menganggap Kali Metro sebagai sungai suci. Penghormatan atas sungai dengan hulu berada di Junrejo, Kota Batu ini dipengaruhi ajaran Agama Hindu saat masa Kerajaan Kanjuruhan (abad 7-8 Masehi).
Dalam ajaran Hindu, lokasi kerajaan harus memiliki dua sumber yakni, maskulin, yang berarti gunung dan feminim berupa samudera atau sumber air.
Tanggungjawab produsen
Sesuai Pasal 15 UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang menyebutkan produsen wajib mengelola kemasan dan barang yang diproduksi yang tidak dapat atau sulit terurai. “Produsen yang seharusnya bertanggungjawab,” katanya.
Produsen, katanya, perlu mengambil peran dalam pengelolaan sampah dengan mengambil kembali sampah produk mereka.
Selain itu, mendorong perusahaan meredesain kemasan lebih ramah lingkungan, seperti pakai kemasan berbahan kertas yang bisa terurai di alam dan didaurulang maupun menyediakan gerai pengisian ulang (refill). Jadi bisa mengurangi penggunaan kemasan sekali pakai.
Dia juga mengajak warga terlibat dalam mengurangi sampah plastik dan mengolah sampah. Caranya, memilah sampah organik dan anorganik sejak dari rumah. Sedangkan pemerintah menyediakan fasilitas angkutan sampah sesuai kategori sampah hingga memudahkan proses pengolahan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
“Sebagian kampung belum terlayani pengumpulan sampah,” katanya.
Mereka juga mendesak Pemerintah Kota Malang membuat peraturan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan memberikan sanksi bagi yang melanggar.

Rafika Aprilia dari Ecoton mengatakan, kegiatan membersihkan sampah sejak dua tahun lalu lantaran banyak plastik mencemari sungai. Mereka pakai metode transek sampah, dengan transek ukuran satu meter persegi dengan panjang area 15 meter.
Ujang Solihin Sidik, Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendorong produsen bertanggung jawab mengurangi sampah, kemasan, wadah atau kontainer mulai dalam proses desain, produksi, distribusi, ritel, konsumsi, dan pasca konsumsi.
Sesuai UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen atau Extended Producer Responsibility (EPR), produsen harus menyusun dokumen perencanaan pengurangan sampah. Targetnya, produsen mengurangi 30% dari timbulan sampah.
“Kepatuhan relatif rendah. Target tahun ini 100 produsen segera kirim dokumen peta jalan,” katanya secara daring dalam peluncuran bumbu masakan Ajinomoto kemasan kertas, belum lama ini. Untuk tahap awal tak ada sanksi.
Sampah plastik, katanya, menjadi persoalan global. Data The World Bank 2021, Indonesia menghasilkan sekitar 7,8 juta ton sampah plastik setiap tahun. Sebanyak 4,9 juta ton sampah plastik tidak dikelola dengan tepat.
Produsen bumbu masak, PT Ajinomoto Indonesia meluncurkan MSG kemasan kertas (paper packaging). MSG kemasan kertas diklaim mengurangi penggunaan plastik hingga 30%.