- Pertemuan negara-negara dunia dalam Konferensi Laut Global Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNOC), pekan lalu di Lisboa, Portugal, menjadi ajang untuk saling memamerkan hasil program masing-masing dan sekaligus menawarkannya kepada investor dunia.
- Salah satu yang melakukan hal tersebut, adalah Indonesia yang memamerkan hasil kerjanya di laut selama ini. Termasuk, rencana penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur berbasis kuota yang akan diterapkan pada 2022 ini
- Apa yang dilakukan Indonesia tersebut, dinilai hanya akan semakin mendorong perampasan ruang laut dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dan masyarakat adat
- Ancaman tersebut bisa muncul, karena intervensi kepentingan korporasi multinasional dalam penyusunan tata kelola laut dunia sangat dominan. Aksi tersebut disusun dengan tujuan untuk melaksanakan ekstraksi sumber daya laut dengan banyak
Agenda tata kelola ekonomi biru yang sedang dikampanyekan secara global pada saat ini, dituding akan semakin mendorong perampasan ruang laut dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dan masyarakat adat.
Tudingan tersebut diungkapkan kelompok masyarakat sipil Indonesia Focal Point for Corporate Accountability (Koalisi IFP) atas pembahasan detail dan teknis agenda tersebut yang sudah dilaksanakan dalam Konferensi Laut Global Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNOC), pekan lalu di Lisboa, Portugal.
Salah satu hal yang dipersoalkan, adalah dominasi intervensi kepentingan korporasi multinasional dalam penyusunan tata kelola laut dunia. Aksi tersebut disusun dengan tujuan untuk melaksanakan ekstraksi sumber daya laut dengan banyak.
Koalisi IFP menilai, komersialisasi oleh korporasi transnasional tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada peran Negara dalam pengawasan dan penindakan terhadap aksi besar-besaran tersebut. Oleh karenanya, para pihak di lapangan internasional harus segera mengambil tindakan nyata.
“Mereka harus segera mendesakkan tanggung gugat atau liability atas kerusakan ruang dan sumber daya laut yang diakibatkan oleh komersialisasi besar-besaran dari agenda ekonomi biru global,” demikian pernyataan resmi koalisi yang dipublikasikan secara virtual, akhir pekan lalu.
Peneliti Transnasional Institute Carsten Pedersen yang hadir langsung di Lisboa, pada kesempatan tersebut langsung memberikan pendapatnya tentang kegiatan yang melibatkan negara-negara dunia tersebut.
Menurut dia, sebanyak 100 perusahaan transnasional yang ada di dunia saat ini mengendalikan kendali politik ekonomi kelautan global. Semua perusahaan tersebut menyumbang hingga 60 persen dari modal yang terakumulasi dalam ekonomi laut.
“Sebanyak 86 persen berasal dari perusahaan minyak dan gas lepas pantai, serta industri perkapalan,” ucap dia.
baca : Perikanan Skala Kecil dan Peran Tak Terbatas di Pesisir
Dominasi yang begitu kuat dari perusahaan-perusahaan tersebut, memperkuat keterlibatan mereka dalam setiap pengambilan kebijakan di level dunia. Termasuk, pada pengambilan dalam sistem PBB yang terbukti sudah memperparah praktik perampasan laut.
Kooptasi yang sudah kuat tersebut, mendorong banyak hal dilakukan oleh mereka. Misalnya, berkaitan dengan investasi dan pembiayaan ekonomi biru. Untuk memudahkannya, mereka bahkan membentuk blue action fund dengan nilai USD1 miliar.
Dari penilaian Carsten Pedersen, pengumpulan dana tersebut hanya akan menjadi bentuk pencucian biru (blue washing) saja dan bukan bentuk tanggung jawab korporasi terhadap hak-hak masyarakat yang sudah dilanggar secara sengaja ataupun tidak.
Itu berarti, legalitas mereka untuk terus melaksanakan kerusakan lingkungan semakin kuat dengan hadirnya pembiayaan biru. Meski korbannya akan semakin banyak berjatuhan, namun mereka seolah tidak peduli, walaupun akan ada ancaman kepunahan ekosistem laut di masa mendatang.
Kritikan tentang agenda tata kelola ekonomi biru dunia juga disuarakan aktivis dari India, Jesu Rathinam. Aktivis yang bergabung dengan National Fisherworkers Forum tersebut, menyatakan kekecewaan atas apa yang sudah dibahas di forum UNOC, pekan lalu.
Ia menilai, pembahasan tata kelola laut di forum tersebut sudah mengalami pergeseran dari isu perlindungan terhadap nelayan tradisional dan masyarakat pesisir, menjadi isu tentang ekstraksi pelaksanaan secara detail dan teknis tentang ekonomi biru.
Isu yang terus dikampanyekan selama forum berlangsung, tidak lain adalah tentang investasi dan ekonomi biru. Kedua isu tersebut digaungkan dengan tujuan untuk mendatangkan keuntungan dengan lebih banyak dibandingkan sebelumnya.
baca juga : Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia
Kelompok perusahaan yang menggaungkan dua kampanye tersebut didominasi oleh perusahaan energi angin, energi solar dan perusahaan-perusahaan minyak dan gas lepas pantai. Mereka semua terus berkampanye agar beragam kegiatan di pesisir dan lepas pantai bisa terus berjalan dengan keuntungan yang semakin besar.
Akibatnya, Deklarasi Kawasan Lindung Laut yang sudah ada sebelumnya, diabaikan demi bisa terus melaksanakan kegiatan eksplorasi migas di kawasan lindung laut. Sementara, pada saat yang sama, nelayan justru tidak boleh menangkap ikan di kawasan yang sama.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Parid Ridwanudin pada kesempatan yang sama juga memberikan penilaiannya tentang bahasan yang sudah dilakukan oleh UNOC pada pekan lalu.
Dia menilai, apa yang sudah berlangsung di Lisboa akan berdampak signifikan kepada Indonesia. Pasalnya, saat ini saja tata kelola laut di Indonesia sudah disusun untuk melayani kepentingan korporasi skala besar.
Karenanya, apa yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia pada forum UNOC juga tidak jauh dari apa yang sudah dijalankan sebelumnya. Sejauh ini, agenda strategi ekonomi biru yang Indonesia rencanakan memang tidak berpihak pada perlindungan masyarakat pesisir.
baca juga : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut
Parid menyebutkan, bukti bahwa Indonesia membuat kebijakan yang berpihak pada korporasi, adalah penyusunan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang rencananya akan diterapkan pada 2022 ini.
Kebijakan tersebut adalah peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dan dinilai akan memberikan kemudahan bagi korporasi skala besar untuk melakukan eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan.
Dengan fakta tersebut, dia meyakini kalau kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang diklaim Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ada di bawah payung ekonomi biru tersebut, hanya akan memberi keuntungan kepada para pihak korporasi yang memiliki modal besar.
“Padahal jika merujuk pada status pemanfaatan sumber daya ikan, statusnya merah dan kuning,” terang dia.
Pemulihan, Bukan Eksploitasi
Status tersebut menjelaskan bahwa sumber daya ikan (SDI) Indonesia sudah fully exploited dan over exploited. Itu artinya, kebijakan yang didorong Pemerintah tersebut, seharusnya bisa memulihkan kondisi SDI dan bukan mendorong eksploitasi.
Saat UNOC berlangsung di Lisboa, seharusnya Pemerintah Indonesia mengevaluasi tata kelola laut di dalam negeri yang selama ini memprioritaskan kepentingan korporasi, tetapi pada saat yang sama tidak menyejahterakan masyarakat pesisir.
Tanpa ada perubahan kebijakan, Parid Ridwanudin memprediksi kalau pemanfaatan ruang laut untuk kepentingan ekstraksi pekerjaan para korporasi juga akan terjadi pada kawasan konservasi laut. Kawasan tersebut akan dengan mudah diubah peruntukannya demi kepentingan proyek korporasi seperti pertambangan.
“Juga, bisa mudah diubah untuk kawasan neo ekstraktif seperti pariwisata skala besar,” tambah dia.
Proyeksi perubahan tersebut sudah diatur dalam UU No.11/2020, Peraturan Presiden (PP) No.109/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden No.3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, dan PP No.27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Bagi dia, seluruh peraturan tersebut tidak lain adalah bentuk perampasan ruang laut yang direncanakan (planned ocean grabbed) dan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Ocean grabbing sendiri adalah perampasan kendali dan akses terhadap sumber daya kelautan dan perikanan yang menjadi hak masyarakat.
“Itu dilakukan melalui proses tata kelola yang tidak tepat serta merusak kesejahteraan sosial-ekologis masyarakat,” pungkas dia.
baca juga : Hidup Nelayan Skala Kecil terancam Pencabutan Subsidi WTO
Senada dengan Parid Ridwanudin, ungkapan kekecewaan juga disuarakan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati di momen yang sama. Ia mengatakan, forum UNOC di Lisbon hanya menjadi simbol saja untuk pertemuan negara PBB tentang isu kelautan dan perikanan.
Faktanya, pertemuan tersebut sebenarnya adalah momen yang dinanti Indonesia untuk bertemu negara-negara maju. Dengan tujuan, negara-negara tersebut diharapkan bisa menanamkan investasinya di Indonesia, utamanya wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang berbasis korporasi.
Pernyataan Susan Herawati tersebut kemudian diperkuat dengan merujuk pada sejumlah regulasi yang sudah diterbitkan di Indonesia, baik oleh Pemerintah Indonesia ataupun Pemerintah Provinsi. Sebut saja, Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Wilayah, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K).
Perda tersebut tidak lain adalah pengakuan secara resmi atas kehadiran para korporasi untuk penguasaan ruang pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Kehadiran mereka, tentu saja untuk kepentingan modal mereka dan sekaligus bentuk peminggiran masyarakat lokal dengan sah melalui regulasi.
Menurut Susan Herawati, kebijakan di atas sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mendorong terwujudnya kawasan perlindungan laut (marine protected area/MPA), pengembangan kawasan konservasi, rehabilitasi pesisir dan laut, pengembangan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di tujuh pulau, serta pengurangan sampah.
Semua komitmen tersebut, walau terkesan positif dan berpihak pada perlindungan laut dan masyarakat pesisir, namun sebenarnya tidak. Karena, yang sesungguhnya adalah itu bisa menjadi kedok untuk pengusiran masyarakat pesisir dan pulau-pulau dari ruang hidup yang sudah dikelola mereka secara turun temurun.
baca juga : Perikanan Skala Kecil dan Peran Tak Terbatas di Pesisir
Terakhir, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rahmat Maulana Sidik juga membeberkan sikap tidak setuju atas apa yang sudah ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia. Ia mengatakan, pertemuan UNOC hanya bertujuan untuk memperkuat kendali korporasi pada penguasaan sumber daya laut global dan nasional.
Penguatan tersebut dinilai selaras dengan rencana dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menghapus subsidi perikanan, khususnya yang diberikan oleh negara-negara industri perikanan maju. Walaupun, rencana tersebut menemui kegagalan saat ditawarkan pada Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-13 di Jenewa, Swiss, pada Juni lalu.
Dengan kata lain, pertemuan UNOC dan WTO secara sengaja sudah mengesahkan kepemilikan laut dari kepemilikan publik menjadi kepemilikan tertutup (closed ownership). Padahal, yang harus menjadi pelaku utama sebenarnya adalah nelayan kecil dan tradisional.
“Mereka yang seharusnya dijaga hak dan kedaulatannya,” tegas dia.
Diketahui Koalisi IPF beranggotakan WALHI, IGJ, Koalisi Rakyat untuk hak atas Air (KRuHA), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), KIARA, FIAN Indonesia, Solidaritas Perempuan, KontraS, Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lokataru, dan IILH-apintlaw.
Di sisi lain, kekhawatiran akan terjadinya penawaran ruang laut untuk pemanfaatan oleh korporasi, ternyata memang terjadi saat UNOC berlangsung di Lisboa. Pada pertemuan tersebut, KKP dengan terang-terangan sudah mengakui kalau kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota sudah diminati investor.
Ketertarikan para investor yang adalah peserta forum UNOC tersebut, muncul setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono memperkenalkan sejumlah program berbasis ekonomi biru di Indonesia, salah satunya penangkapan ikan terukur.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi di Lisboa mengatakan, ada banyak investor yang menyampaikan minatnya d bidang perikanan tangkap di Indonesia. Mereka banyak berminat untuk berinvestasi pada penangkapan ikan terukur berbasis kuota.
baca juga : Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur
Dia menyebutkan, SDI yang dapat dimanfaatkan mencapai 5,6 juta ton di empat zona penangkapan ikan terukur untuk industri. Nilai produksinya ditaksir mencapai Rp180 triliun, dengan nilai penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp18 triliun.
“Penangkapan ikan terukur akan memberikan dampak multiplier effect positif,” terang dia.
Para Investor nantinya akan memanfaatkan kuota penangkapan ikan di empat zona penangkapan ikan untuk industri. Titik lokasinya di Laut Natuna Utara pada zona 2, Laut Aru, Arafura dan Laut Timor pada zona 3, serta Samudera Hindia pada zona 5.
Menurut dia, penangkapan ikan terukur akan menggantikan sistem perikanan yang sudah lama diterapkan, dari yang semula input control menjadi output control. Kebijakan tersebut menjadi solusi agar penangkapan ikan di lautan tetap terkendali dan ekosistem terjaga.