- Permasalahan alat tangkap ikan cantrang terus terjadi di Indonesia. Termasuk setelah ada aturan cantrang diganti menjadi jaring tarik berkantong karena sama merusaknya terhadap sumber daya ikan laut
- Nelayan dan beberapa pengamat perikanan menilai perubahan nama tidak menyelesaikan masalah. Karena banyak kapal yang mengakali mengganti alat tangkap jaring tarik berkantong dengan cantrang di tengah laut untuk perikanan tangkap.
- Perubahan nama itu disebut bukanlah solusi, apalagi pengawasan laut Indonesia tidak bisa maksimal dilakukan aparat, selain keterbatasan armada juga karena laut Indonesia yang terlalu luas.
- Pengamat menilai memberhentikan penggunaan cantrang secara menyeluruh harus menjadi solusi. Agar ekosistem laut dan sumber daya ikan Indonesia tetap terjaga.
Permasalahan alat tangkap ikan cantrang masih menjadi polemik sampai saat ini. Meskipun pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menawarkan solusi dalam bentuk modifikasi cantrang, menjadi jaring tarik berkantong, solusi itu tidak membuahkan hasil sempurna. Hal itu masih banyak diprotes kalangan nelayan karena menimbulkan permasalahan baru.
Seperti diketahui, KKP mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.18/2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan terutama tentang jaring tarik berkantong. Aturan ini merevisi Permen KP No.59/2020, yang mengizinkan operasional kapal cantrang cantrang di Laut Natuna Utara. Sehingga cantrang dilarang digunakan dan digantikan jaring tarik berkantong.
Sulitnya pengawasan gerak kapal ikan di laut Indonesia membuat aturan sering dilanggar. Seperti yang terjadi di beberapa daerah, misalnya di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Kapal cantrang dari Pati, Jawa Tengah ditangkap karena melanggar wilayah tangkap pada Maret 2022. Selain itu nelayan setempat meradang karena di atas kapal itu juga ada cantrang, padahal izinnya pukat jaring tarik berkantong.
Begitu juga di Kalimantan Selatan (Kalsel). Sebuah kapal pukat dibakar di perairan tersebut karena dituduh menggunakan cantrang. Pelaku membantah, alat yang digunakan mereka adalah alat tangkap jaring tarik berkantong yang diizinkan KKP.
baca : Tepatkah Operasional Kapal Cantrang Sekarang?
Peneliti dari Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI) Oktavianto Darmono menceritakan sejarah panjang tentang perjalanan polemik alat tangkap cantrang sejak beberapa tahun belakangan. Tarik ulur aturan cantrang sudah terjadi sejak masa Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti, menandakan politik sosialnya sangat tinggi.
Pada masa Susi, alat cantrang sempat dilarang, namun dilegalkan kembali dengan berbagai aturan akibat adanya tekanan nelayan. Kemudian pada masa Menteri KP Edhy Prabowo cantrang kembali dilegalkan, akhirnya kemudian dilarang kembali. “Sekarang diganti dengan alat tangkap jaring tarik berkantong,” kata pria yang akrab disapa Tejo itu kepada Mongabay, awal Juli 2022.
Lulusan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu mengatakan, jaring tarik berkantong sama merusaknya dengan cantrang. Salah satu perbedaan menonjol, dari mata jaring yang berbentuk kotak yang sebelumnya berbentuk diamond.
“Jadi kalau jaring tarik diamond, ketika ditarik itu akan mengempis sehingga tidak ada celah ikan kecil lolos. Sedangkan mata jaring kotak ketika ditarik dia akan terbuka, sehingga ikan kecil masih bisa selamat,” katanya.
Ia melanjutkan jaring tarik berkantong sesuai metode standar nasional tidak akan menjadi ancaman, namun faktanya di lapangan jika kapal menarik jaring ini sedikit saja alat otomatis berubah menjadi cantrang bahkan menjadi trawl. “Apalagi bila nahkoda kapal nakal, apakah KKP bisa mengawasi hal teknis seperti itu?” kata Tejo.
Tejo melanjutkan, seharusnya kapal juga ikut diubah, jika alat tangkap dimodifikasi. Kapal akan mempengaruhi alat tangkapnya.
baca juga : Nelayan Natuna Protes Jaring Tarik Berkantong mirip Cantrang
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim Indonesia Abdul Halim menyebut mengganti alat tangkap cantrang menjadi jaring tarik berkantong hanya perubahan nama. Kedua alat tersebut tetap saja merusak ekosistem laut Indonesia. “Itu hanyalah pembodohan, bukan mencerdaskan masyarakat untuk melestarikan sumber daya ikan dengan cara menggunakan alat tangkap yang lebih aman,” kata Halim.
Karena alat tangkap yang merusak, apapun variasinya tetap akan merusak. “Perubahan nama jaring tarik berkantong dari cantrang bukanlah solusi,” katanya.
Menurut Halim, keputusan Menteri KP hari ini berjalan maju dari menteri sebelumnya. “Kita tahu pada masa Menteri Susi hanya mengeluarkan kebijakan larangan menggunakan cantrang, mestinya menteri hari ini bertindak lebih maju, bukan berarti mengganti nama (cantrang) dan membolehkannya,” katanya.
Belum lagi soal pengawasan, di Indonesia yang sangat lemah. Padahal, penggunaan jaring tarik berkantong memiliki potensi penyimpangan sangat besar terjadi di laut yang dilakukan oleh kapal-kapal cantrang. “Apalagi mengingat laut kita sangat luas, dan KKP memiliki keterbatasan armada, sumberdaya dan daya dukung anggaran yang sangat minim,” katanya.
Political Will Cantrang
Permasalahan alat tangkap cantrang tidak hanya persoalan kerusakan lingkungan. Tetapi, diduga kepentingan politik dan sosial sangat besar dalam kebijakan pemerintah satu ini. Banyaknya nelayan bergantung kepada kapal cantrang, dijadikan lumbung suara beberapa elit politik, sehingga membahayakan ekosistem laut tanah air.
Halim menilai politik itu wajar, tetapi tetap berlandaskan idealisme keberlangsungan sumber daya perikanan kedepannya. “Hal itu (kepentingan politik dan sosial) sah-sah saja, sepanjang idealisme sumber daya perikanan yang bertanggung jawab itu seharusnya diprioritaskan, politik perlu diperjuangkan sesuai organisasi yang mereka naungi,” katanya.
perlu dibaca : Aturan Jaring Tarik Berkantong Butuh Sosialisasi
Melihat kerusakan ekosistem di masa depan akibat penggunaan cantrang, Halim bilang, semestinya pemerintah mencari solusi konkrit. Tidak bisa lagi sekadar mengganti nama cantrang menjadi jaring tarik berkantong.
Solusinya adalah pemerintah harus menghentikan penggunaan cantrang secara bertahap. Penggantian alat tangkap bisa dilakukan dimulai dari nelayan skala kecil. “Sedangkan nelayan besar, pemerintah harus memberikan kompensasi kepada pengusaha,” katanya.
Halim melanjutkan, penggantian alat tangkap bisa diterapkan sesuai alat tangkap di wilayah masing-masing, karena di setiap laut Indonesia memiliki alat tangkap yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi lautnya. “Alat tangkap itu sudah ditentukan setiap WPP RI, tinggal mengikuti itu,” katanya.
Halim menyadari banyak nelayan yang bergantung bekerja di kapal cantrang. Begitu juga banyak modal yang sudah dikeluarkan pengusaha kapal cantrang dalam bisnis ini. “Namun, cara berpikirnya bukan begitu, sekarang hitung sudah berapa lama alat tangkap itu digunakan, otomatis selama beroperasi sudah menggantikan modal yang dikeluarkan,” katanya.
Pengusaha dan nelayan cantrang, menurutnya, sudah lebih dari surplus. “Potensi merusaknya yang harus dipikirkan, karena ada kemungkinan kita kehabisan stok ikan, Makanya harus dilarang,” katanya.
Politik sosial tersebut termasuk terbentuknya jaringan pengusaha besar dalam korporat bisnis yang tidak terlihat di belakang nelayan cantrang. “Tidak hanya terkait dengan (hutang) kepada perbankan, tetapi juga terkait kepada partai politik dan banyak hal,” katanya.
baca juga : Kapal Cantrang Asal Luar Madura Kembali Resahkan Nelayan Masalembu
Sejalan dengan Abdul Halim, Peneliti FRCI Irfan Yulianto mengatakan, tarik ulur kepentingan terjadi di kasus cantrang, secara politik sosial persoalan cantrang sangatlah kompleks. “Artinya banyak ruang negosiasi dalam persoalan ini, pertanyaannya bisa atau mampukah kita secara politik sosial menghilangkan cantrang,” katanya.
Ia melanjutkan, persoalan perbankan hanya persoalan normatif, sedangkan banyak masalah informal yang tidak kita lihat di dalam kasus cantrang ini. Bandingkan saja, kata Irfan, kasus cantrang dan lobster di tubuh KKP.
Kasus lobster secara tekanan politik tidak terlalu kuat, padahal secara bisnis ini adalah kepentingan ekspor. “Lobster effort-nya kecil uangnya besar, cantrang tidak begitu (politik sosialnya besar, uangnya kecil). Kalau dari sisi mafia lebih kencang lobster sedangkan dari sisi politik sosial lebih kencang cantrang,” kata Irfan.
Menurutnya, ada dua solusi permasalahan cantrang yaitu alat tangkapnya dihilangkan, atau dilegalkan tetapi dibatasi dan diawasi. “Beranikah kita menghilangkan alat tangkap cantrang? Kalau tidak, menurut saya harus diatur jumlah dan lokasi penangkapannya,” katanya
Irfan melanjutkan, perubahan cantrang menjadi jaring tarik berkantung secara teori bisa dijadikan solusi. “Tetapi harus diuji lagi dampaknya seperti apa,” ujarnya.
Sedangkan Aliansi Nelayan Natuna (ANN) Hendri angkat bicara persoalan solusi cantrang, pasalnya nelayan Natuna menjadi korban pergerakan kapal cantrang oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Bahkan menurut Hendri sampai saat ini masih ada kapal cantrang yang melaut ke pesisir Natuna, padahal secara aturan kapal cantrang hanya boleh melaut di atas 30 mil.
“Kepentingan politik memang tinggi di lingkaran pengusaha cantrang. Contohnya saja (Menteri KP) Susi tidak akan mungkin digantikan (jabatannya) kalau tidak mengeluarkan keputusan larangan cantrang,” katanya.
baca juga : Dialog Dengan Jokowi, Nelayan Curhat Ketidakstabilan Harga Ikan dan Isu Cantrang
Solusinya, menurut Hendri, cantrang harus dimoratorium tidak hanya alat tangkap tetapi juga kapal yang sekarang menggunakan jaring tarik berkantong. Nelayan seluruh Indonesia harus bergerak sama-sama menolak cantrang meskipun berganti nama menjadi jaring tarik berkantong karena tetap menghancurkan laut Indonesia.
“Contohnya saja Natuna, terumbu karang sudah banyak yang rusak akibat cantrang. Tentunya kapal cantrang itu akan mencari kawasan baru, karena stok ikan di WPP 711 (Natuna) hanya bisa bertahan 3 tahun saja,” katanya.
Hendri mengatakan, bisa saja kapal cantrang akan mencari wilayah baru misalnya ke daerah Indonesia timur. Pada akhirnya semua laut Indonesia akan rusak.
Hendri membantah, ada alasan bahwa ribuan nelayan bergantung kepada kapal cantrang. Menurutnya jika dihitung, lebih banyak jumlah nelayan pesisir yang akan terdampak ketika laut rusak akibat cantrang, dibandingkan jumlah nelayan cantrang itu sendiri. “Pada akhirnya kalau tidak ada solusi, kita bisa main hakim sendiri melindungi laut (Natuna) ini,” katanya.