- Habituasi atas dukungan dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) melalui Burung Indonesia melakukan survei pemetaan spesies dan pemberdayaan nelayan di Pulau Jampea, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
- Dalam surveinya, Habituasi menemukan adanya fauna yang masuk dalam kategori terancam punah seperti burung Kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea). Dan burung Kehicap tanahjampea (Symposiachrus everetti), burung endemik Pulau Tanah Jampea yang dilindungi serta jumlahnya semakin berkurang.
- Hasil rapid assessment menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang perairan Pulau Tanah Jampea di 4 stasiun pengamatan berada dalam kategori buruk. Sedangkan satu stasiun dalam kategori rusak sedang, dan hanya satu stasiun pengamatan yang dalam masuk dalam kriteria baik dengan tutupan karang 57 persen.
- Diharapkan agar Undang-undang No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah bisa direvisi, dan kewenangan di bidang kelautan yang saat ini berada di pemerintah provinsi bisa dikembalikan ke daerah agar pemerintah kabupaten bisa melakukan pengawasan ataupun tindakan terhadap illegal fishing.
Habituasi sebagai sebuah environmental enterprise yang mengambil bagian dalam menciptakan kesehatan yang berkelanjutan dan kemakmuran bagi manusia dan alam, telah melakukan survei untuk mengetahui biota laut dan binatang penting dan dilindungi yang terdapat di Pulau Tanah Jampea, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
Hasilnya antara lain adalah terdapat sejumlah biota laut penting di perairan Jampea, seperti ikan Napoleon, ikan Kakatua, dan Kima.
“Selain itu, kami juga menemukan fauna lain yang masuk dalam kategori terancam punah seperti burung Kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea). Selain itu, burung Kehicap tanahjampea (Symposiachrus everetti) yang merupakan burung endemik Pulau Jampea yang dilindungi jumlahnya semakin berkurang,” ungkap Najemia T, Direktur Eksekutif Habituasi, di Benteng Jampea, Kepulauan Selayar, Selasa (28/6/2022).
Selain survei, Habituasi juga melakukan kegiatan pemetaan potensi kelautan partisipatif secara rapid assessment untuk menilai kondisi ekologi pendukung pengelolaan sumber daya ikan (SDI) skala kecil di enam stasiun pengamatan terumbu karang/inventarisasi tutupan ikan dan demersal/dasar laut, tiga stasiun pengamatan Padang Lamun dan tiga stasiun pengamatan hutan mangrove.
Hasil rapid assessment menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang perairan Pulau Tanah Jampea di empat stasiun pengamatan berada dalam kategori buruk. Sedangkan satu stasiun dalam kategori rusak sedang, dan hanya satu stasiun pengamatan yang dalam masuk dalam kriteria baik dengan tutupan karang 57,07 persen.
“Kami juga menemukan bahwa rata-rata penutupan lamun di lokasi pengamatan padang Lamun tergolong dalam kondisi sedang sampai padat dengan nilai persentase berkisar 36,3 – 53,9 persen. Selain itu, stasiun pengamatan hutan Mangrove di Pulau Tanah Jampea merupakan hutan alami dengan kondisi baik,” jelas Najemia.
baca : Muhammad Al Amin: dari Tambang Pasir Laut hingga Krisis Ekologi di Sulsel
Terkait kerusakan parah yang ditemukan di sejumlah titik, menurut Najemia, penyebabnya adalah illegal fishing, yang dilakukan nelayan karena alasan terdesak masalah ekonomi dan kurangnya pemahaman dan kesadaran nelayan akan dampak dari berbagai tindakan destructive tersebut.
“Terkait hal ini, kami berupaya melakukan edukasi dengan memperkenalkan alat tangkap yang ramah lingkungan, serta melatih para nelayan beserta keluarganya, agar mereka memiliki kemampuan mengolah potensi yang ada dan bisa bernilai tinggi. Ada jenis ikan yang kalau dijual hanya dihargai Rp.2.000 per kilogramnya. Lalu kami latih bagaimana ikan itu diolah sehingga bisa bernilai lebih. Sekarang ini, ada lima produk olahan yang sementara kita ujicoba,” jelas Najemia.
Di Pulau Tanah Jampea sendiri terdiri dari dua kecamatan, yaitu Pasimasunggu dan Pasimasunggu Timur. Untuk pengelolaan sumber daya ikan skala kecil, Habituasi fokus mendampingi nelayan di dua desa di Kecamatan Pasimasunggu, yaitu desa Kembang Ragi dan Labuang Pamajang. Desa Kembang Ragi adalah ibukota kecamatan Pasimasunggu, di mana kegiatan ekonomi Pulau Tanah Jampea terkonsentrasi di desa ini. Sedangkan Desa Labuang Pamajang merupakan desa yang tertinggal meski letak geografisnya bersebelahan dengan Desa Kembang Ragi.
“Hal ini disebabkan karena kondisi jalan yang buruk dan medan yang harus dilalui cukup menantang dibanding desa yang lain saat ini. Sinyal ponsel juga sangat terbatas di desa Labuang Pamajang, demikian juga dengan sinyal internet. Untuk berkomunikasi dengan ponsel, sebagian besar masyarakat harus ke perbatasan desa atau ke desa Kembang Ragi,” jelas Najemia.
Pendampingan Masyarakat Nelayan
Beragam kegiatan yang dilakukan Habituasi di Kabupaten Kepulauan Selayar adalah bagian dari program Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Pulau Tanah Jampea yang disingkat Peka Laut Jampea, yang mendapat dukungan dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) melalui Burung Indonesia selaku organisasi representatif di Indonesia.
Menurut Najemia, program ini akan dilakukan selama 5 tahun secara bertahap, di mana tahap pertama telah dilakukan dari April 2021 – Juni 2022
baca juga : Penting dalam Ekosistem Laut, Hiu dan Pari di Indonesia Justru Terancam
Dalam program tahap pertama ini, jelas Najemia, Habituasi menitikberatkan kegiatan pada pemetaan potensi kelautan partisipatif dan pengelolaan sumber daya ikan skala kecil, di mana terdapat satu kelompok nelayan dampingan untuk masing-masing desa, yaitu kelompok nelayan Kembang Ragi di Desa Kembang Ragi, dan kelompok nelayan Bajangan di Desa Labuang Pamajang. Total nelayan yang didampingi di dua desa ini adalah 35 nelayan beserta pasangannya.
“Setiap pelatihan yang diberikan oleh Habituasi, termasuk pelatihan praktik penangkapan ramah lingkungan dilakukan untuk nelayan dan istri mereka secara terpisah. Hal ini ditujukan untuk memastikan akses pengetahuan yang sama untuk pengarusutamaan gender dalam sektor pengelolaan sumber daya ikan skala kecil ramah lingkungan,” jelas Najemia.
Penandatanganan MoU
Menurut Najemia, dalam pelaksanaan kegiatannya, Habituasi mendapat dukungan penuh dari Pemkab Kepulauan Selayar, mulai dari tingkat kabupaten hingga desa. Wakil Bupati Kepulauan Selayar, Saiful Arif bahkan secara khusus mendampingi proses pelaksanaan program sejak Mei 2021 silam dengan memberikan arahan dan masukan pelaksanaan, baik ke Habituasi maupun ke instansi terkait yang terlibat.
Untuk semakin menguatkan kerja sama ini, Habituasi dan Pemda Kepulauan Selayar kemudian melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pada 28 Juni 2022 bersamaan dengan kegiatan kampanye perlindungan laut yang dilaksanakan Habituasi. Di kegiatan ini, Habituasi juga memperkenalkan lima produk alternatif hasil pengelolaan SDI skala kecil ramah lingkungan dari pendampingan kelompok nelayan di dua desa di kecamatan Pasimasunggu.
Syaiful Arief, Wakil Bupati Kepulauan Selayar, mengaku siap bersinergi dengan Habituasi dalam program Peka Laut Jampea dan melanjutkan program tersebut hingga beberapa tahun ke depan. Ia mengakui pentingnya terus mendorong isu lingkungan, selain untuk keberlanjutan ekosistem juga karena isu lingkungan telah menjadi concern bersama berbagai pihak tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga global.
“Habituasi tentunya tidak bisa jalan sendiri, sehingga di-back up oleh semua stakeholders. Kami harap Habituasi akan bersinergi dengan semua institusi dan lembaga, sehingga ini menjadi keberhasilan bersama,” kata Syaiful.
Selain melakukan penandatanganan MoU dengan Pemda Kepulauan Selayar, sehari sebelumnya Habituasi juga melakukan penandatanganan MoU dengan Pemerintah Kecamatan Pasimasunggu dan dua kelompok nelayan dampingan program. Penandatanganan dilakukan oleh Nur Mawing selaku Camat Pasimasunggu, Ahmad Ridwan sebagai Ketua kelompok nelayan Kembang Ragi dan Daeng Sibali sebagai Ketua kelompok nelayan Bajangan.
baca : Pulau di Selayar Dijual? Begini Ceritanya
Terkait maraknya illegal fishing yang terjadi di wilayahnya, Nur Mawing menilai hal itu banyak dilakukan oleh nelayan dari daerah lain, yang sulit terawasi karena terkait regulasi yang ada yang tidak lagi memberi kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan. Sehingga, Ia berharap agar UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah bisa direvisi, dan kewenangan di bidang kelautan yang saat ini berada di pemerintah provinsi bisa dikembalikan ke daerah agar pemerintah kabupaten bisa melakukan pengawasan ataupun tindakan terhadap illegal fishing.
“Jika semula kewenangan provinsi dari 4-12 mil kini diperluas menjadi 0-12 mil. Salah satu implikasi dari kebijakan ini adalah semakin sulitnya pengawasan di laut. Illegal fishing terjadi di depan mata, tapi kita hanya jadi penonton, tidak bisa apa-apa,” katanya.
Di samping kegiatan kampanye dan penandatanganan MoU, Habituasi juga menggelar pementasan seni tari mari lindungi laut, lomba mewarnai Peka Laut Jampea tingkat anak-anak, talk show dan diskusi tentang pembelajaran dan tantangan melindungi laut Jampea.