- Konflik manusia dengan satwa liar masih sering terjadi di Provinsi Aceh.
- Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh menunjukkan, konflik manusia dengan harimau sumatera sejak 2017 hingga 2021 terjadi sebanyak 76 kasus.
- Sementara konflik manusia dengan gajah sejak 2017-2021 sebanyak 344 kali. Wilayah kejadian di Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, Pidie Jaya, Aceh Besar, Aceh Utara, Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, dan Kota Subulussalam.
- Sejumlah akademisi Universitas Syiah Kuala [Unsyiah] tengah mendampingi penyusunan rancangan Peraturan Gubernur Aceh tentang kriteria dan penetapan kejadian bencana luar biasa akibat konflik manusia dan satwa liar.
Konflik manusia dengan satwa liar masih sering terjadi di Provinsi Aceh.
Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh menunjukkan, konflik manusia dengan harimau sumatera sejak 2017 hingga 2021 terjadi sebanyak 76 kasus. Daerah-daerah yang menjadi konflik adalah Kabupaten Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Singkil, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Barat, dan Kota Subulussalam.
Sementara konflik manusia dengan gajah sejak 2017-2021 sebanyak 344 kali. Wilayah kejadian di Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, Pidie Jaya, Aceh Besar, Aceh Utara, Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, dan Kota Subulussalam.
Untuk konflik manusia dengan orangutan periode 2017-2021 sebanyak 109 kali.
“Data ini menjelaskan intensitas konflik masih cukup tinggi,” ujar Agus Irianto, Kepala BKSDA Aceh, Kamis [30/06/2022].
Baca: Instruksi Penyelamatan Satwa Liar dari Jerat dan Perburuan Telah Dikeluarkan, Implementasi Lapangan?
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh, Muhammad Daud, mengatakan, penanganan konflik satwa liar, terutama gajah, terkendala adanya kegiatan pertanian dan perkebunan sangat membutuhkan lahan.
“Tantangan lain, sekitar 80 persen berada di luar kawasan konservasi yaitu di area penggunaan lain, kawasan hutan produksi, dan hutan lindung,” ujarnya, Rabu [29/06/2022].
Daud menambahkan, konflik manusia dengan satwa liar belum masuk kategori bencana, sehingga lembaga pemerintah di tingkat daerah tidak bisa melakukan penanganan. Dikhawatirkan berbenturan dengan aturan yang ada.
“Di Badan Penanggulangan Bencana Daerah misalnya, kategori ini belum ada.”
Aceh telah memiliki Qanun atau Perda Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh dan Qanun Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Satwa Liar. Gubernur Aceh juga telah mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Aceh dengan Nomor: 522.51/1519/2020 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Aceh Nomor: 522.51/1097/2015 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar Aceh.
“DLHK Aceh bersama lembaga terkait, akademisi, dan LSM tengah menyelesaikan Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan [SRAP] Satwa Liar,” jelasnya.
Baca: Konflik Manusia dengan Harimau Sumatera Belum Berakhir
Konflik satwa jadi bencana luar biasa
Sejumlah akademisi Universitas Syiah Kuala [Unsyiah] tengah mendampingi penyusunan rancangan Peraturan Gubernur Aceh tentang kriteria dan penetapan kejadian bencana luar biasa akibat konflik manusia dan satwa liar.
“Racangan tersebut disusun Tim Pengabdian Kepada Masyarakat Berbasis Produk [PKMBP] Unsyiah. Pengabdian kami lakukan untuk menyikapi tingginya konflik satwa liar dengan masyarakat,” ujar Kurniawan, Ketua Tim PKMBP, Kamis [21/07/2022].
Kurniawan yang juga pengajar Fakultas Hukum Unsyiah mengatakan, tim PKMBP diisi juga oleh dua dosen Fakultas Hukum Unsyiah lain, yaitu Rosmawati dan Chadijah Rizki Lestari.
Penyusunan rancangan pergub merupakan perintah Pasal 18 ayat [5] Qanun atau Perda Aceh Nomor: 11 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar yang mengamanatkan bahwa konflik satwa liar sebagaimana dimaksud pada ayat [1] dapat ditetapkan sebagai kejadian bencana luar biasa oleh Pemerintah Aceh, sesuai kewenangannya.
“Dalam Pasal 18 ayat [5] Qanun Aceh No. 11 Tahun 2019, juga menjelaskan Kriteria dan Penetapan Kejadian Bencana Luar Biasa Akibat Konflik Satwa Liar sebagaimana dimaksud ayat [4] yang diatur dengan Pergub Aceh.
Kami juga melakukan monitoring terkait dampak konflik satwa liar terhadap masyarakat di dua kabupaten/kota di Aceh yang dinilai rentan. “Aceh Besar dan Kabupaten Nagan Raya,” papar Rosmawati.
Chadijah Rizki Lestari menambahkan, dengan ditetapkannya rancangan tersebut menjadi Pergub Aceh, diharapkan menjadi dasar penanganan konflik satwa liar, termasuk bantuan atau santunan terhadap masyarakat yang terkena dampak langsung.
“Setelah semua proses selesai, draf akan diserahkan kepada Satuan Kerja Perangkat Aceh [SKPA] terkait, yaitu Badan Penanggulangan Bencana Aceh [BPBA] dan DLHK Aceh,” tegasnya.